By : Catrella2
***
“Katanya rumah itu tak berpenghuni,” ucap seorang gadis dengan gaya rambut ponytail. Lawan bicaranya hanya menggeleng enggan, menyadari ke mana arah pembicaraan mereka.
“Jangan bilang kamu ingin....” Ucapannya terhenti, ia ragu melanjutkannya. Gadis ponytail itu mengangguk. Ia paham kalimat terakhir yang ingin lawan bicaranya kemukakan.
“Yep. Ayo, kita menjelajahnya!” perintah tak terbantah, gadis itu menyeret lawan bicaranya. Sedangkan sang lawan bicara, wajahnya pucat. Seakan-akan sumber kehidupannya di ambil paksa. Di belakang mereka, berjalan dua gadis lainnya. Mereka bagai nyamuk kala menyimak percakapan gadis ponytail itu.
***
“Lucia, kita pulang saja, ya?” gadis yang di panggil Lucia itu menggeleng, membuat ikatan rambutnya ikut bergoyang pelan.“Ayolah, Rina. Mau sampai kapan kamu takut begini?” gadis bernama Rina itu tertunduk. Ucapan Lucia benar sih, cuma kan tidak sampai ke rumah dengan rumor hantu piano begini juga! Batinnya kesal. Gadis surai gelap itu akhirnya hanya diam. Percuma saja membantah, toh akhirnya dia akan tetap di paksa ikut.
“Ehem! Kayaknya kami jadi nyamuk nih!” seorang gadis dengan potongan rambut pendek. Gadis di sebelahnya mengangguk, menyetujui ucapan sahabatnya itu.
“Hehehe, maaf deh, Glisa, Grisel.” Lucia menggaruk tengkuknya tak enak hati. Kedua gadis yang sempat terabaikan itu hanya saling memandang. Mereka mirip, ya wajar saja. Mereka kan kembar identik. Yang jadi pembeda hanya gaya berpakaian mereka. Glisa, gadis rambut pendek itu lebih sering menggunakan baju berbahan kaos di padu dengan jaket bertudung hitam. Sedangkan Grisel, gadis itu lebih memilih mengenakan dress simpel yang menampilkan kesan feminin. Pinang di belah dua dengan kepribadian yang bertentangan. Yah, itulah mereka berdua.
“Jadi, kita benaran bakal masuk ke rumah ini?” Grisel angkat suara. Manik gadis surai coklat itu memandang rumah kosong datar. Yah, kesan horor rumah itu hanya karena rumor dan penampilannya yang berantakan. Sayang sekali rumah ini di katakan berhantu. Padahal rumahnya luas dan megah.
“Ayolah kalian, kita pulang saja, ya?” Rina masih membujuk, berharap yang lain mengurungkan niat mereka. Namun, mengingat bagaimana hanya dirinya yang membantah tegas usulan ini, mustahil yang lainnya akan mengikuti bujukannya.
“Hah. Pada akhirnya, aku tetap harus mengikuti mereka juga,” gumamnya sembari melihat ketiga temannya melangkah ke dalam rumah dan tak lama kemudian, ia mengekor dalam diam. Sungguh, keputusan yang sangat tak bijak, masuk tanpa memikirkan hal apa yang akan terjadi di dalam sana.
***
“Permisi?” Lucia mengedarkan pandangan, maniknya tak menemukan apa pun selain kekosongan di sana. Hanya ada tangga yang berbentuk kotak —mirip seperti tangga di film Harry Potter— menuju ke lantai atas di sebelah kiri ruangan, sebuah pintu ke ruangan yang dia yakini ruang tamu, serta piano di tengah ruangan depan.Cahaya bulan masuk dari kaca mozaik yang panjangnya sampai ke lantai 3. Motif bunga mawar menambah keindahan kaca itu.
"Indahnya," gumaman Rina di balas ketiga temannya dengan cekikikan pelan. Mereka tahu gadis itu akan selalu terpesona oleh hal-hal semacam ini.
"Hm, tampaknya tak ada hal apa pun yang menarik di sini," ucap Glisa. Gadis itu memandang sekitar. Ya, tak ada apa pun. Jadi, buat apa mereka ada di sini?
"Ya, ya! Tampaknya tak ada hal menarik. Ayo, kita pulang saja sekarang. Sudah malam." Rina menimpali, gadis itu segera berjalan ke arah pintu dari kayu jati dengan dua daun di sisi kanan dan kiri.