BAGIAN 1

605 22 0
                                    

Tak biasanya, Bukit Tunjang di pagi ini terselimut kabut tebal. Sehingga tempat itu bagaikan tertindih gumpalan awan besar yang turun ke bumi. Memang bukit yang mirip seperti sebuah gunung kecil itu setiap hari senantiasa terselimut kabut. Namun kabut yang menyelimutinya saat ini lebih tebal dan pekat. Bahkan hampir menutupi sebagian desa yang berada di kakinya. Sehingga dalam keadaan begini, tak seorang penduduk pun yang berani keluar jauh-jauh dari rumah. Mereka lebih suka berkerudung sarung di dalam rumah, berkumpul dengan anak istri.
Sebenarnya bukan hanya kabut saja yang membuat Bukit Tunjang kelihatan angker. Tetapi, ada hal lain yang lebih mengerikan. Di lereng-lereng bukit yang luas dan lebar, banyak dihuni binatang-binatang berbisa beraneka ragam. Apalagi di sekitar kaki bukit juga masih dipenuhi semak belukar, serta pepohonan tinggi yang menyimpan perangkap maut berupa rawa terapung, sumur-sumur yang dalamnya tak terukur, serta kubangan pasir yang bisa menyedot apa saja bila masuk ke dalamnya.
Di tengah keangkeran itu, tampak lima orang bertubuh besar dan bertampang seram seperti tak mempedulikan keadaan sekitarnya. Mereka terus berlari ke arah Bukit Tunjang sambil sesekali menoleh ke belakang.
"Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kita telah berada cukup jauh dari mereka!" kata salah seorang yang memiliki cambang cukup tebal. Dia sering dipanggil dengan nama Gumanda. Sebuah senjata golok, tampak terselip di pinggang kirinya.
"Ya... Kurasa demikian," sahut kawannya yang berikat kepala merah. Laki-laki yang mata kirinya picak ini bernama Rumaksa.
"Huh! Suatu saat, kita harus balas perlakuan mereka! Akan kupecahkan batok kepalanya!" geram yang bertubuh agak pendek dan berperut sedikit gendut. Namanya, Kalingka.
"Benar! Aku pun ingin sekali menghancurkan perguruan yang sok pahlawan kesiangan itu. Tunggu saja pembalasan kita Lima Rampok Hutan Gundul akan kembali untuk menghancurkan dan membumihanguskan Perguruan Watu Digul keparat itu!" timpal laki-laki yang bersenjatakan pedang di punggung. Dia bertubuh lebih besar dari keempat kawannya, dan sering dipanggil dengan nama Danang.
Sedangkan seorang lagi yang oleh kawan-kawannya dipanggil Sukmajaya, hanya diam membisu. Sepertinya, ada sesuatu yang tengah dipikirkan. Mendadak Sukmajaya berhenti, ketika mereka telah berada di kaki bukit itu.
"Kawan-kawan! Sebaiknya kita berhenti dulu!" ujar Sukmajaya, sambil memandang ke sekeliling dengan tatapan curiga.
"Kenapa, Sukmajaya? Apakah kau mencurigai sesuatu?" tanya Danang, dengan wajah dalam.
"Entahlah! Suasana di sini sangat sepi. Aku tak yakin kalau tempat ini aman bagi kita. Sepertinya, ada bahaya yang mengintai dari tempat tersembunyi!" desis Sukmajaya, masih tetap memandang ke sekeliling tempat itu dengan wajah curiga.
"Alaaah! Kau penakut sekali!" sentak Kalingka. Laki-laki bertubuh paling pendek itu lalu melompat ke depan, dan mengajak kawan-kawannya untuk terus maju.
"Betul! Apa yang mesti dikhawatirkan? Di atas sana banyak berkumpul kawan kita yang lain. Mana mungkin mereka mau mencelakakan kita!" teriak Gumanda, menyokong usul kawannya.
"Jangan...!" teriak Sukmajaya memperingatkan, namun terlambat. Ternyata dua dari Lima Rampok Hutan Gundul itu sudah menerobos semak belukar tinggi di depan. Maka mendadak...
Bruusss...!
"Hei, apa ini?! Tolooong...! Tolooong, aku tak bisa keluar!" teriak Kalingka, kalap ketika kedua kakinya menginjak rawa terapung. Dan kakinya terus melesak hingga ke betis.
Hal yang sama juga menimpa Gumanda. Mereka berteriak-teriak ketakutan, seraya menggerak-gerakkan tubuh untuk bisa keluar dari rawa terapung yang dipijak. Namun semakin cepat bergerak, tubuh mereka semakin melesak ke dalam.
"Kalingka...! Gumanda...! Jangan bergerak! Aku akan menolong kalian!" teriak Danang mulai ikut-ikutan kalap.
Laki-laki bertubuh paling besar itu menoleh ke kanan dan kiri. Dan ketika melihat seutas tali kayu yang tergantung di bawah cabang sebuah pohon, tanpa pikir panjang lagi ditariknya. Namun...
Sing! Sing!
"Awaaas...!" teriak Sukmajaya memperingatkan.
Memang, tiba-tiba saja beberapa buah bambu runcing sebesar jari tangan melesat kencang ke arah mereka bagai lesatan anak panah begitu Danang menarik tali yang menjuntai di pohon.
Sukmajaya terus melompat menghindar dari serangan gelap dan terus bergulingan ke kiri. Namun malang bagi Danang yang terlambat menyelamatkan diri. Ternyata salah satu bambu runcing itu lebih cepat menembus dada kirinya hingga kepunggung.
Crappp!
"Aaa...!"
Danang kontan menjerit setinggi langit dan tubuhnya langsung ambruk ke tanah dengan kulit mulai membiru. Agaknya, bambu runcing itu telah dibubuhi racun ganas di seluruh batangnya.
"Danaaang...!" Sukmajaya terkejut bukan main dan bermaksud menghampiri kawannya. Namun....
"Sukma! Aku... aku...," rintih Rumaksa rintih, sambil menutupi lengan kiri yang ternyata juga terserempet salah satu bambu beracun itu.
"Rumaksa...!" kembali Sukmajaya tersentak, dan buru-buru mengalihkan perhatian ke arah Rumaksa.
Sring...!
Sukmajaya langsung mencabut goloknya. Seketika, ditebasnya lengan kawannya pada pangkalnya.
Crasss!
"Aaakh...!"
Rumaksa menjerit kesakitan sambil menggigit bibirnya.
"Maaf, Kawan. Aku tak punya pilihan lagi untuk menyelamatkanmu. Bambu itu mengandung racun ganas...," keluh Sukmajaya sambil merobek bajunya untuk mengikat luka di lengan Rumaksa. Dan baru saja Sukmajaya selesai mengikat lengan Rumaksa, mendadak...
"Tolong...! Tolooong...!"
"Hih?!"
Sukmajaya mulai gelagapan ketika Kalingka dan Gumanda telah terbenam sampai sebatas leher. Mereka semakin kalut dan terus bergerak-gerak melepaskan diri dari sedotan rawa terapung itu.
"Tunggu sebentar!" teriak Sukmajaya, seraya meninggalkan Rumaksa. Dan matanya langsung mencari-cari sesuatu untuk menolong kedua kawannya.
Ketika melihat sebuah cabang pohon yang panjang tak jauh dari tempatnya berdiri, Sukmajaya mendekatinya. Dan dengan hati-hati sekali diperhatikan cabang pohon itu. Dia khawatir disitu terdapat jebakan. Tak lama kemudian...
Tras!
Dengan cepat Sukmajaya menebas cabang itu dengan goloknya. Tapi bersamaan dengan itu...
Werrr!
Tiba-tiba melesat dua ekor ular pohon berwarna hijau sebesar jempol kaki ke arahnya. Sukmajaya yang sejak tadi telah bersiaga langsung mengayunkan goloknya.
Crasss, crasss!
Sekali tebas saja putuslah tubuh ular-ular itu. Namun baru saja bermaksud akan menolong kawannya...
"Wuaaa...!" Tiba-tiba Rumaksa menjerit keras.
"Celaka! Kalajengking beracun!" desis Sukmajaya, geram.
Memang di tubuh Rumaksa telah dipenuhi kalajengking berwarna hitam berkilat, yang memiliki racun amat dahsyat.
Tubuh Rumaksa berguling-gulingan ke sana kemari, sambil mengibas-ngibaskan sebelah tangannya ke seluruh tubuh untuk mengusir kalajengking-kalajengking beracun itu. Sukmajaya bermaksud menolong. Namun belum lagi berlari lima langkah, tubuh Rumaksa terjerumus ke dalam semak belukar dan terus terperosok ke sebuah sumur yang dalam. Sumur itu sendiri semula tak terlihat, karena permukaannya dipenuhi gerumbulan semak.
"Rumaksaaa...!" pekik Sukmajaya.
Laki-laki itu berusaha menangkap lengan Rumaksa yang terjulur ke atas, namun terlambat. Nyatanya, tubuh Rumaksa telah meluncur deras ke bawah.
"To.... Blep! Hop..., hop!"
Kembali Sukmajaya dibuat terkejut mendengar jeritan tertahan kedua kawannya yang masih terperosok ke dalam rawa terapung. Bahkan tubuh Kalingka telah lenyap tanpa bekas. Memang sejak tadi dialah yang paling kalap dan terus bergerak-gerak. Sehingga, lumpur di bawahnya terus menyedot kencang tubuhnya. Sedangkan tubuh Gumanda sudah terbenam sebatas hidung. Dicobanya mendongakkan wajah ke atas, sambil bergerak-gerak pelan memberi tanda pada Sukmajaya.
"Gumanda! Jangan banyak bergerak! Tangkap ujung kayu ini!" teriak Sukmajaya sambil menjulurkan kayu yang sudah ada di tangannya.
"Hop...! Hop...!"
Gumdanda berusaha meraih sekuat tenaga ujung kayu itu yang dijulurkan Sukmajaya. Memang, ujung kayu itu kurang setengah jengkal lagi dari jangkauan tangannya. Namun, mendadak pada saat itu melesat tiga sosok tubuh ke tempat itu. Bahkan salah seorang langsung melemparkan senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil ke arah Sukmajaya.
Swing...!
"Heh?!"
Bukan main terkejutnya Sukmajaya melihatnya. Buru-buru dia melompat, sambil mengibaskan kayu yang dipegangnya ke arah pisau pisau itu.
"Hup...!"
"Uts!"
Beberapa buah berhasil dihantam dan rontok seketika, sementara sisanya dapat dihindari dengan lompatannya. Namun dalam keadaan begitu, salah seorang langsung melompat menyerang.
"Yeaaa..!"
"Tunggu! Tunggu dulu! Kami ingin bertemu Tiga Setan Bukit Tunjang untuk bergabung dengannya!" teriak Sukmajaya, mencoba menjelaskan. Dan dia terus berkelit, menghindari serangan berikut.
Tiga orang itu langsung menghentikan serangan, dan memandang ke arah Sukmajaya dengan seksama. Dan kesempatan itu digunakan Sukmajaya untuk kembali menjelaskan maksud kedatangannya ke sini.
"Kami berlima dijuluki sebagai Lima Rampok Hutan Gundul. Kedatangan kami ke sini, untuk bergabung dengan Tiga Setan Bukit Tunjang. Namun kami telah mendapat kesulitan, seperti yang kau saksikan tiga orang temanku telah tewas. Hanya dia dan aku yang masih hidup," Sukmajaya lalu menunjuk ke arah Gumanda." Tolonglah kawanku. Dia hampir tenggelam dan kehabisan napas...."
Wajah Sukmajaya semakin memelas ketika melihat tubuh Gumanda hampir terbenam sebatas dahi. Namun, kedua tangannya masih bergerak-gerak.
Ketiga orang itu tak menjawab, dan hanya menganggukkan kepala. Hal itu sudah cukup bagi Sukmajaya untuk bertindak menyelamatkan Gumanda. Namun seperti tadi, ujung kayu itu hanya tinggal sedikit lagi menyentuh tangan Gumanda. Kalau tadi kawannya bisa melihat dan berusaha menggapai, tapi kini tak tahu dan tak bisa mendengar teriakan Sukmajaya yang memerintahkan agar meraih ujung kayu yang dijulurkannya.
Melihat hal itu, salah seorang dari tiga orang yang baru datang itu membantu dengan memegang kedua kaki Sukmajaya. Kini, Sukmajaya berhasil menjulurkan ujung kayu di tangan kanannya. Dan Gumanda langsung menangkapnya erat-erat. Kemudian perlahan-lahan dua orang yang memegangi kaki Sukmajaya menariknya, hingga Gumanda terbebas dari perangkap alam. Laki-laki bercambang itu segera naik, dan langsung terduduk lesu, dibersihkan seluruh rubuhnya yang kotor. Sedangkan napasnya terengah-engah menghirup udara sebanyak-banyaknya.
"Kalian ikut kami!" ujar salah seorang dari tiga orang yang baru datang, ketika Gumanda telah membersihkan seluruh tubuhnya.
"Ke mana?" tanya Sukmajaya.
"Bukankah kalian ingin bergabung dengan Tiga Setan Bukit Tunjang?"
"Ah, iya! lya...!" sahut Sukmajaya dan Gumana bersemangat.
"Mari ikut kami!" ajak orang itu lagi sambil berjalan hati-hati.
Sukmajaya dan Gumanda langsung bangkit. Sukmajaya memapah tubuh kawannya yang masih lemah. Dan bersama ketiga orang itu mereka kini aman dari perangkap alam maupun yang sengaja dibuat para penghuni Bukit Tunjang!

113. Pendekar Rajawali Sakti : Pembalasan Iblis SesatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang