BAGIAN 7

301 19 0
                                    

Bukit Tunjung memang tempat yang mengerikan. Kalaupun ada desa-desa yang berada di bawah kaki bukit itu, tapi para penduduknya tak ada yang berani menuju ke puncaknya Bukit Tunjang sendiri, sebenarnya termasuk daerah tak bertuan. Letaknya, diapit oleh Kerajaan Karang Setra dengan kerajaan tetangganya. Dan setelah hampir seharian Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang menunggang kuda, barulah dari kejauhan terlihat Bukit Tunjang yang gagah perkasa berdiri tegak dengan angkuhnya.
"Paman, di depan sanalah Bukit Tunjang...," kata Rangga pelan sambil memandang bukit yang jauh di depan sana.
"Gusti Prabu, masih ada kesempatan untuk mengurungkan niat ke sana...," ujar Ki Lanang pelan seperti mengingatkan pemuda itu.
"Paman, keputusanku telah bulat..."
"Tapi menurut orang-orang yang kita temui di sepanjang perjalanan, tempat itu adalah sarang para perampok dan bajingan-bajingan. Jumlah mereka lebih dari seratus orang, Gusti!"
"Hal itulah yang kukhawatirkan, Paman."
"Syukurlah kalau memang Gusti Prabu bisa menyadarinya...," sahut Ki Lanang lega.
"Maksudku jika mereka turun semua dan membuat kekacauan di mana-mana, tentu rakyat yang akan menderita. Bukankah menjadi kewajibanku untuk memberi peringatan pada mereka...?" kata Rangga, enteng.
Jawaban tak diduga dari Pendekar Rajawali Sakti membuat wajah Paman Lanang kembali lesu. "Gusti Prabu! Bukankah hal ini bisa diselesaikan oleh prajurit kerajaan? Gusti Prabu tak perlu turun tangan sendiri...," usul Paman Lanang.
"Benar! Hal ini memang bisa dikerjakan prajurit-prajurit kerajaan. Tapi, apakah aku harus berpangku tangan saja bila ternyata kejadian buruk itu berada di depan mataku sendiri...?" sergah Pendekar Rajawali Sakti.
"Maaf, Gusti Prabu. Hamba tak bermaksud menggurui...," ucap Paman Lanang dengan wajah bersalah.
"Tidak perlu minta maaf, Paman. Aku mengerti kekhawatiranmu padaku. Tapi percayalah, mudah-mudahan aku mampu mengatasi persoalan ini," ujar Rangga.
"Dengan seorang diri, Gusti Prabu?"
Rangga tersenyum dan memandang punggawanya itu dalam-dalam. Kemudian terlihat kepalanya mengangguk mantap. "Ya, kurasa memang sebaiknya begitu!"
Pada saat itu, mereka berpapasan dengan beberapa orang penduduk yang baru kembali dari sawah dan ladang. Mereka memandang Rangga dan Paman Lanang dengan wajah cemas. Terbayang cerita-cerita mengerikan dan kecemasan dalam pandangan mereka. Tentu saja hal itu membuat Rangga dan Paman Lanang jadi tidak enak hati.
"Kisanak! Kenapa kalian memandang kami demikian? Apakah ada sesuatu yang aneh pada kami?" tanya Paman Lanang pada salah seorang yang berada di depannya.
"Kisanak berdua, ke manakah tujuan kalian?" laki-laki tua berkulit gelap itu balik bertanya.
"Kami bermaksud menuju Bukit Tunjang...."
"Astaga! Sebaiknya urungkan saja niat kalian!" sentak laki-laki itu, semakin cemas.
"Kenapa, Kisanak?" tanya Rangga.
"Tempat itu memiliki banyak perangkap maut!" jelas laki-laki itu.
"Perangkap maut bagaimana?" tanya Rangga kembali.
"Banyak terdapat rawa terapung, sumur yang dalam, dan jebakan maut yang dibuat perampok serta bajingan yang banyak berkumpul di sana!"
Rangga mengangguk-anggukkan kepala. "Kalau memang banyak perangkap maut di tempat itu, bagaimana mereka dapat mencapai bukit dan lereng-lereng di atasnya?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Kisanak! Apakah kau bersungguh-sungguh akan ke bukit itu?" tanya laki-laki itu, semakin cemas.
"Ya! Ada yang harus kukerjakan di Sana."
"Apakah kau ingin bergabung dengan mereka?"
"Tidak, justru sebaliknya..."
"Oh! Kau ingin memerangi mereka?!" lanjut penduduk desa itu dengan wajah tak percaya.
Rangga mengangguk pelan sambil tersenyum tipis.
"Bagaimana mungkin? Jumlah mereka banyak, sedangkan kalian hanya berdua?"
"Aku akan memikirkan caranya, Kisanak..."
"Kisanak! Usahamu akan sia-sia saja. Mereka terlalu tangguh dan berjumlah banyak!"
Rangga hanya tersenyum mendengarnya. "Yah, mudah-mudahan saja Yang Maha Kuasa selalu melindungiku. Kami permisi dulu, Kisanak semua," pamit Rangga.
Dan tak lama kemudian Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang menggebah kudanya perlahan-lahan untuk melanjutkan perjalanan. Sementara penduduk desa memandang mereka sambil menggeleng-geleng kepala.
"Ya, Jagat Dewa Batara. Mudah-mudahan Kau melindungi mereka yang mempunyai niat mulia!" desah salah seorang penduduk desa.
"Mereka pasti tak akan selamat...," gumam seorang kawannya.
"Paling tidak, mereka selamat dari perangkap-perangkap maut itu. Aku telah memberitahukan jalan yang benar agar tiba di lereng bukit itu dengan aman...," jelas laki-laki yang tadi berbicara dengan Rangga.
Sampai Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang lenyap dari pandangan, penduduk desa itu belum juga beranjak.

113. Pendekar Rajawali Sakti : Pembalasan Iblis SesatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang