BAGIAN 2

377 16 0
                                    

Sementara orang tua berbaju putih bersih itu berhenti sejenak, ketika kedua pemburu itu telah jauh. Tapi, sebenarnya bukan karena itu langkahnya terhenti. Masalahnya di depan dia melihat semak belukar membentang. Memang terlihat ada jalan setapak yang ditutupi daun-daunan kering bagai permadani coklat menghampar. Tapi orang tua itu tak percaya. Maka diambilnya sebuah batu yang cukup besar dan dilemparkannya ke depan.
Brosss!
Batu itu langsung terperosok ke dalam rawa terapung dan terus tenggelam.
"He he he...! Kalian pikir aku bisa diperdayai oleh mainan anak kecil seperti ini?!" gumam orang tua itu.
Kemudian orang tua itu berjalan tenang sambil memungut kerikil-kerikil kecil yang berserakan di tanah. Beberapa kali kerikil itu digunakan untuk mengungkap perangkap-perangkap alam yang tersembunyi di balik semak-semak maupun kumpulan dedaunan kering. Dalam keadaan demikian, mendadak bahu kanan orang tua itu menyenggol seutas oyot pohon yang menggantung rendah. Maka saat itu juga melesat beberapa bambu runcing beracun ke arahnya.
Ser, ser!
"Hup!"
Orang tua berbaju putih itu cepat menundukkan tubuhnya untuk menghindari serangan gelap itu. Kemudian ringan sekali tubuhnya melesat ke atas salah satu cabang pohon. Begitu mendarat, dia cepat melompat ke cabang pohon lain hingga beberapa kali. Tiba di suatu lereng datar dan ditumbuhi rerumputan hijau serta pepohonan yang tak terlalu besar, orang tua itu melompat turun. Lalu kakinya melangkah tenang mendaki bukit. Sesekali, kipasnya dikebut-kebutkan.
Namun baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak saja orang tua itu telah dihadang beberapa orang berwajah seram dengan golok terselip di pinggang. Rata-rata mereka mengenakan baju merah. Sepintas saja, bisa dinilai kalau orang-orang itu pasti bermaksud tak baik pada orang tua itu.
"Orang tua! Berhenti kau!" bentak salah seorang yang bertubuh besar, sambil memilin-milin kumis tebalnya.
"Hm... Siapakah kalian ini?" tanya orang tua itu, pura-pura terkejut. Seketika langkahnya berhenti dan memandang mereka satu persatu. Setelah dihitung, ternyata jumlah mereka tak kurang dari sepuluh orang.
"Tak usah banyak tanya kalau kau ingin selamat! Heh? Apa yang kau bawa itu?!" sentak laki­laki berkumis tebal itu, galak.
"Buntalan ini?" tanya orang tua itu sambil menjulurkan buntalan yang dipegang tangan kirinya.
"Tentu saja, Goblok! Apa kau pikir aku menanyakan buntalan kepalamu?!"
"Oh... Ini isinya uang emas dan perak, serta beberapa potong pakaian sutera halus yang nilainya amat tinggi," sahut orang tua itu, jujur.
Orang-orang yang tampaknya kawanan begal itu saling berpandangan satu sama lain, Kemudian terlihat tersenyum-senyum.
"Hm... Sulingmu bagus juga, Orang Tua. Apakah itu dari emas juga?" tanya orang yang kepalanya gundul. Matanya mendelik dengan wajah penuh nafsu untuk memiliki benda-benda orang tua itu.
"Ya! Suling ini pun dari emas..."
"Orang tua, ketahuilah! Tak seorang pun yang kami biarkan hidup bila lewat di tempat ini! Tapi karena kau jujur, maka jiwamu ku ampuni. Hanya saja, kau harus meninggalkan buntalan serta suling milikmu itu. Ayo, cepat!" ujar laki-laki gundul itu bernada mengancam.
"Kenapa tidak? Tentu saja aku rela menyerahkan ini semua jika kalian mau menjawab pertanyaan dariku," sahut orang tua itu.
"Apa pertanyaanmu, Orang Tua?!" timpal laki-laki yang pada telinga kirinya memakai anting-anting.
"Apakah kalian anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang?"
"Untuk apa kau bertanya seperti itu?!" dengus, yang bercambang.
"Jawab saja pertanyaanku. Kalau tidak, bukan saja tak akan mendapatkan barang-barang berharga ini. Tapi, kepala kalian pun akan kupecahkan semuanya!"
"Heh?!"
"Setan! Phuih! Tua bangka keparat! Tahukah kau apa artinya kata-katamu itu tadi?!" bentak laki-laki yang memakai anting-anting.
Dia langsung melompat ke hadapan orang tua itu, kepalan tangannya cepat diayunkan keras ke wajah. Memang jawaban orang tua itu amat mengejutkan mereka, sekaligus menimbulkan kemarahan. Betapa tidak? Mereka kira, orang tua itu sudah gila. Buktinya, dia ingin mampus berani bicara seperti itu.
"Yeaaa!"
Begitu laki-laki yang memakai anting-anting mengayunkan kepalan tangannya, tenang sekali orang tua itu memindahkan kipas ke tangan kiri. Lalu telapak tangan kanannya cepat menangkap kepalan tangan laki-laki beranting-anting itu.
Tap!
Krek!
Terjadi peristiwa yang membuat kaget semua orang yang berada di situ. Ternyata kepalan tangan teman mereka kontan remuk dicengkeram orang tua itu. Dan belum lagi habis rasa kaget mereka, tangan orang tua itu cepat menghantam ke dada kiri.
Begkh!
"Aaakh!"
Karuan saja, laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun yang memakai anting-anting menjerit setinggi langit. Tubuhnya kontan terjungkal ke tanah sejauh dua tombak dalam keadaan tak bernyawa lagi, begitu tulang rusuknya di dada dirinya remuk, hingga menusuk jantungnya.
"Heh?!"
"Orang tua keparat! Apa yang kau lakukan terhadap kawan kami ini, heh?!" geram yang berkepala gundul dengan amarah meluap-luap.
"Dasar tolol! Kalian pikir apa yang kulakukan tadi, heh?!" sahut orang tua itu, tak kalah geramnya.
"Bangsat! Kau pikir bisa berbuat seenaknya saja di tempat ini. Mampuslah! Ini bagianmu! Yeaaa...!"
Dengan kalap, laki-laki gundul itu mengayunkan goloknya menebas leher orang tua berbaju putih itu.
"Hup!"
Sekali memiringkan tubuh golok laki-laki gundul itu lewat beberapa rambut di depan leher orang tua ini. Seketika tangan kirinya langsung menangkap pergelangan tangan yang memegang golok. Lalu, ditariknya tangan itu dengan kekuatan tenaga dalamnya. Dan dengan kecepatan yang sulit diikuti mata, tangan kanan orang tua itu cepat menghantam ke arah batok kepala laki-laki gundul itu.
Prak!
"Aaa...!"
Kepala laki-laki gundul itu langsung remuk disertai jeritan menyayat. Tubuhnya ambruk ke tanah bersimbah darah. Seketaka dia meregang nyawa, lalu diam tak berkutik lagi. Hal itu tentu saja membuat yang lain menjadi geram bukan main. Dua orang telah tewas dalam sekejap. Orang tua yang semula dianggap lemah itu, ternyata tidak bisa dianggap sembarangan. Dan hal itu semakin membuat kemarahan mereka makin menyala-nyala saja.
"Kawan-kawan! Mari kita cincang orang tua keparat itu bersama-sama!" teriak laki-laki bercambang memberi semangat.
"Huh! Akan kutebas batang lehernya!" timpal temannya, geram.
Yang lainnya tak menimpali, tapi langsung menerjang orang tua itu dengan senjata terhunus.
"Hiyaaa...!"
Wuk! Wukkk!
Golok-golok di tangan kawanan itu mendesing berkali-kali menyambar. Namun gesit dan lincah sekali orang tua itu seenaknya saja menghindari tanpa kesulitan sedikit pun. Bahkan masih bisa tertawa-tawa mengejek.
"He he he...! Hanya seginikah kemampuan anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang itu? Hm... Benar-benar memalukan!"
"Orang tua busuk! Tutup mulutmu, sebelum kurobek mulut besar itu!" bentak salah seorang sambil mengayunkan golok di tangan ke wajah tua di depannya. Namun sambil tersenyum kecil, orang tua itu cepat mengebutkan kipasnya yang terbentang.
Trak!
Lalu dengan tiba-tiba sekali tubuh tua itu berbalik. Langsung diayunkannya satu tendangan menggeledek, ke arah dada kiri penyerangnya.
Desss!
"Aaa...!"
Kembali salah seorang menjerit kesakitan dengan tubuh terlontar beberapa langkah. Dari mulutnya tampak menyemburkan darah segar. Begitu tiba di tanah, orang itu menggelepar-gelepar beberapa saat, kemudian diam tak bergerak!
"Ha ha ha.. ! Dasar besar mulut! Kau pikir bisa berbuat apa terhadapku!" dengus orang tua itu, sinis.
Tanpa menggubris perkataan orang tua itu, pa­ra penyerang lain kembali menyerang tanpa mengenal takut. Tapi orang tua itu agaknya mulai gemas. Dia mulai tak sabar. Kalau tadi menunggu serangan kini dia langsung melompat memapak serangan. Ketika seseorang membabatkan golok ke kepala tubuhnya cepat melenting tinggi. Gerakannya cepat bukan main. Dan begitu berada di udara, orang tua itu cepat menukik turun, dengan kaki tetap mengarah ke bumi. Seketika, langsung dilepaskannya satu tendangan keras tak terduga. Begitu cepatnya sehingga...
Prakkk!
"Aaakh...!"
Nyawa orang yang membabatkan golok langsung melayang, begitu tubuhnya ambruk di tanah.
"Bangsaaat...!" maki salah seorang lagi, geram.
"Heh? Tak usah memaki! Ayo, serang terus!" ejek orang tua itu.
Laki-laki tua yang terus memainkan kipasnya itu tetap terkekeh mengejek. Dan seketika, kepalanya ditundukkan, begitu datang serangan dari belakang. Bersamaan dengan itu ujung kipasnya juga dikebutkan ke depan untuk menghalau lawannya yang ada di depan. Buru-buru laki laki bertampang seram yang ada di depan melenting ke belakang, begitu merasakan angin kibasan kipas yang kuat bukan main.
Sementara orang tua berpakaian putih ini tak melanjutkan serangan, karena harus menghindari sambaran golok dan kanan dan kiri dengan membungkuk. Kemudian tubuhnya cepat berbalik, seraya mengayunkan satu tendangan ke belakang. Orang yang ada di belakang terkejut bukan main dan untungnya tubuhnya cepat dimiringkan, sehingga tendangan itu luput.
Namun, agaknya serangan laki-laki tua itu hanya tipuan belaka. Karena tanpa diduga sama sekali justru yang menjadi sasaran adalah dua orang yang berada di samping kanan dan kiri. Dengan gerakan sangat menakjubkan, laki-laki tua itu berputar dengan kedua kaki terbentang. Langsung dihantamnya kedua rahang lawan sekaligus.
Tak! Tak!
"Aaakh...!"
Dua orang kembali memekik kesakitan, begitu merasakan kalau tulang rahang mereka patah akibat tendangan tadi. Sementara begitu habis menendang, orang tua itu sendiri segera melompat ke atas untuk menghindari dua tebasan golok sekaligus. Bagai seekor burung walet, tubuhnya mengapung di udara untuk beberapa saat. Bersamaan dengan itu salah seorang lawan melompat ke atas disertai ayunan golok ke arah kaki.
"Hiyaaa...!"
Sebuah benturan dari dua jenis senjata tak terelakkan lagi, begitu dengan gesit sekali orang tua itu menukik turun dan langsung mengebutkan kipasnya.
Trak!
Dan belum juga orang yang mengayunkan golok itu menyadari apa yang terjadi, senjata kipas orang tua ini sudah bergerak cepat. Langsung disambamya tenggorokan itu.
Brettt!
"Aaakh!"
Kembali satu jeritan tertahan terdengar ketika ujung kipas orang tua itu merobek leher lawan. Bagai seekor ayam yang disembelih, tubuh orang itu ambruk ke tanah. Dan dia tewas beberapa saat, setelah meregang nyawa.
"Orang tua keparat! Hari ini kami akan mengadu jiwa denganmu!" dengus salah seorang dari tiga yang tersisa.
Sedangkan orang tua berbaju putih bersih itu tenang-tenang saja. Dia berdiri sambil mengebut-ngebutkan kipasnya ke wajah disertai senyum kecil.
"Hm... Siapa yang sudi mengadu dengan nyawa busuk kalian? Sebaiknya, kalian saja yang mampus. Sebab, itulah yang pantas," sahut orang tua itu te­nang.
"Keparat sombong! Mampuslah kau! Hiyaaa...!" bentak orang itu sambil kembali melompat menyerang, diikuti dua orang kawannya.
Orang tua itu hanya menundukkan kepala, menghindari sabetan golok ke lehernya. Sementara kipas di tangan kanannya memapak sebuah golok lagi yang mengarah ke pinggang.
Trak!
Orang yang goloknya terpapak kontan terjajar beberapa tindak ke belakang dengan mulut meringis menahan sakit. Dari benturan senjata itu, tangannya terasa ngilu dan kesemutan.
Dan belum juga bisa menarik napas lega, orang tua itu harus melompat ke atas untuk menghindar dari tebasan golok lain yang mengarah ke punggungnya. Bersamaan dengan itu, kedua kakinya langsung melepaskan tendangan secara bersamaan, ke arah dada kiri kedua lawan yang berada di depan.
Degkh!
Desss!
Tanpa mempedulikan dua orang lawannya yang terjengkang akibat tendangan yang dilepaskan demikian cepat, orang tua itu cepat berbalik seraya mengayunkan ujung kipas menyambar tenggorokan lawan di belakangnya.
Crasss!
Seketika tiga jeritan kesakitan terdengar saling susul. Kini ketiga orang itu sudah ambruk di tanah. Sebentar mereka kelojotan lalu mati. Memang dahsyat serangan balik orang tua itu. Dua tendangan yang dilepaskan tadi, memang dikerahkan dengan tenaga dalam tinggi. Akibatnya dada kedua orang itu kontan remuk. Sementara kibasan kipasnya juga demikian cepat. Bahkan lawan di belakangnya tak mampu berbuat apa-apa. Setelah merayapi sekitarnya yang telah banjir darah, orang tua itu melangkah tenang untuk melanjutkan perjalanannya. Seolah-olah, dia tidak pernah berhadapan dengan kejadian yang berarti. Lantas, siapakah orang yang kepandaiannya demikian tinggi ini?
Belum lagi berjalan jauh, kembali orang tua berbaju itu dihadang sekelompok orang-orang bertampang seram. Wajah mereka tampak beringas, bahkan lebih buas dari orang-orang sebelumnya. Dan melihat dari gerak-geriknya, bisa diduga kalau kepandaian mereka lebih tinggi setingkat, dari kesepuluh lawan-lawan yang telah dikirimnya ke akherat. Orang tua itu memandang ke sekeliling dan mulai menghitung jumlah mereka dalam hati. Dan agaknya, para penghadangnya juga berjumlah sepuluh!
"Orang tua! Sungguh hebat kepandaianmu itu. Siapakah kau ini?! Dan, apa yang kau inginkan, hingga berani mendaki Bukit Tunjang?!' bentak salah seorang yang memakai ikat kepala merah. Tampak sekilas pedang bertengger di punggungnya.
Orang yang membentak itu kelihatannya baru berusia sekitar dua puluh lima tahun. Rambutnya panjang hingga ke punggung. Kulitnya kasar berwarna hitam kecoklatan. Tubuhnya tegap dan berisi, dengan otot-ototnya yang bersembulan. Bisa diperkirakan kalau tenaga dalam pemuda itu cukup kuat. Sorot matanya tajam, dengan sepasang alis tebal. Sikapnya kelihatan tenang ketika melipatkan tangannya di depan dada.
"Apa hakmu bicara seperti itu?" sahut orang tua itu, balik bertanya.
"Aku pimpinan mereka. Sebaiknya, jawab saja pertanyaanku sebelum kesabaranku hilang!" sahut pemuda itu, mengancam.
"He he he...! Pemuda gagah yang bersemangat. Aku suka melihat sikapmu. Tapi ingin kutahu, sampai di mana kemampuanmu hingga berani-beraninya memimpin mereka. Jangan-jangan, isi perutmu hanya kotoran belaka!" lanjut orang tua itu sambil tertawa mengejek.
"Orang tua! Jaga mulutmu! Aku sudah terlalu baik dengan menyapamu!" dengus pemuda itu geram.
"Hm.... Ternyata kau suka naik darah juga. Nah! Kalau urusanmu ingin cepat selesai, jawablah pertanyaanku ini. Apakah kalian kaki tangan Tiga Setan Bukit Tunjang?"
"Keparat! Kau pikir berada di mana saat ini?! Berani benar kau bicara seperti itu! Akulah yang seharusnya bertanya!" bentak pemuda itu semakin geram.
"Kala Gundil! Buat apa berlama-lama dengan orang tua sinting ini? Sebaiknya, perintahkan saja kami untuk memenggal kepalanya saat ini juga!" timpal salah seorang anak buah pemuda yang ternyata bernama Kala Gundil. Amarahnya tampak sudah menggelegak dalam dada.
"He he he...! Sungguh hebat bicaramu. Tapi aku ragu, apakah kau mampu melakukannya," sahut orang tua itu, enteng.
"Huh! Apa sulitnya memotes kepalamu!" dengus orang itu sambil melompat dan mencabut pedangnya.
Sring!
"Yeaaa...!"
Pemuda yang dipanggil Kala Gundil itu mendiamkan saja anak buahnya berbuat demikian. Dan hal itu ternyata dianggap sebagai persetujuan bagi mereka untuk merencah orang tua yang dianggap tak tahu diri itu. Maka dalam waktu singkat saja dua orang lagi segera menyusul menyerang. Agaknya, tangan mereka memang sudah sejak tadi terasa gatal ingin memberi hajaran pada orang tua sombong itu.
Wut! Wut!
"Uts...!"
Orang tua berbaju putih itu memiringkan sedikit tubuhnya, untuk menghindari sabetan pedang dari depan. Dan belum juga sempat berbuat apa-apa, datang lagi serangan pedang dari samping kiri. Terpaksa orang tua itu menundukkan badannya kedepan. Namun pada saat yang sama datang serangan pedang yang mengarah ke jantung. Maka seketika kipasnya yang masih menguncup cepat dikebutkan dari atas ke bawah.
Trak!
Dua benturan senjata mulai terjadi. Orang yang senjatanya tertangkis tadi kontan terjajar tiga langkah ke belakang. Sungguh tak diduga kalau orang tua itu demikian gesit, sehingga serangan dahsyat tadi mampu dipapaknya. Begitu habis memapak serangan pedang lawan, kipas orang tua itu cepat terkembang kembali. Bahkan langsung bergerak menyambar tenggorokan lawan yang berada paling dekat. Orang itu terkejut setengah mati, namun buru-buru melompat ke belakang. Maka, selamatlah selembar nyawanya dari kibasan orang tua itu.
"Hiyaaa...!"
Begitu mendapat kesempatan, orang tua itu cepat melesat ke udara disertai bentakan nyaring. Tubuhnya langsung berputaran menyamping ke arah seorang lawan yang terdekat. Dan kipasnya yang sudah kembali menguncup, langsung digunakan untuk menyerang jantung! Sementara melihat serangan cepat ini, orang yang jadi sasaran merasa gugup bukan main. Buru-buru dia menjatuhkan diri ke bawah. Dan untung saja orang tua itu tak melanjutkan serangannya, merasakan ada angin serangan dari belakang. Maka buru-buru orang tua itu menunduk. Dan begitu tubuhnya berbalik cepat, langsung dihantamnya tenggorokan pembokongnya dari arah bawah.
Jrosss!
"Aaa...!"
Pembokong itu kontan memekik kesakitan, begitu tenggorokannya tertembus kipas yang telah menguncup. Darah langsung mengucur dari teng­gorokannya yang berlubang. Sesaat tubuhnya limbung, sebelum ambruk ke bumi dalam keadaan meregang nyawa.
Tentu saja hal itu membuat kaget kedua kawannya. Tapi orang tua itu agaknya tak mau memberi kesempatan lagi. Maka dengan gerakan cepat bagai kilat dimanfaatkannya kelengahan mereka. Seketika kipasnya yang telah mengembang kembali menyambar dua korban lagi!
Brettt...!
"Wuaaa...! Aaa!"
Terdengar dua jeritan memilukan yang saling susul. Seketika dua orang yang terkena sambaran kipas orang tua itu jadi limbung. Yang seorang tersambar pada dada kirinya, hingga tulang rusuknya patah. Sedangkan yang seorang lagi tersambar pada perutnya, hingga isinya terburai. Jelas ini suatu bukti kalau orang tua itu tidak bisa diajak bermain-main. Serangannya sungguh cepat dan dahsyat, membuktikan kalau kepandaiannya sangat tinggi.
Tentu saja hal itu membuat para penghadang yang lain jadi terkejut setengah mati. Mereka tahu betul kalau ketiga orang itu memiliki kepandaian tak rendah. Namun dalam waktu singkat, tubuh mereka sudah terkapar hanya sekali gebrak saja. Tapi Kala Gundil cepat bertindak, segera diperintahkannya anak buahnya untuk langsung meringkus orang tua itu. Namun sebelum mereka bergerak menyerang, tiba-tiba...
"Hentikan...!"

***

113. Pendekar Rajawali Sakti : Pembalasan Iblis SesatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang