BAGIAN 5

293 15 0
                                    

Bet! Bet!
"Uts...!"
Beberapa sabetan tongkat yang runcing menyambar batok kepala Nini Anting. Namun perempuan tua itu cepat mundur ke belakang sambil terkekeh-kekeh. Melihat hal itu laki-laki bertubuh kurus itu menyambarkan tongkatnya ke perut Nini Anting dari bawah ke atas. Namun, wanita tua pesolek itu cepat mendoyongkan tubuh ke samping. Sehingga, tongkat itu hanya menyambar angin belaka. Dan cepat bagai kilat, Nini Anting melesat sambil melepaskan tendangan menggeledek. Untung saja laki-laki kurus itu cepat mengelak. Dan sungguh tak diduga! Belum juga laki-laki kurus itu berbalik, Nini Anting sudah menjejakkan kakinya di tanah. Lalu dengan cepat sekali, perempuan tua itu kembali melesat kembali ke arah laki-laki kurus itu.
Sring!
Dengan gerakan laksana kilat, Nini Anting mencabut sebilah pedangnya. Dan seketika disambarnya perut laki-laki kurus itu tanpa dapat dihindari lagi.
Brettt!
"Aaa...!"
Pedang di tangan Nini Anting yang disertai pengerahan tenaga dalam, langsung membabat perut laki-laki kurus itu hingga robek lebar disertai darah yang mengucur deras. Laki-laki itu kontan terhuyung-huyung, dan ambruk di tanah.
"Astaga! Wanujaya, tewas?!" seru seorang kawannya sambil memburu orang yang memang sudah tak bernyawa itu.
"Pedang wanita tua itu mengandung racun mematikan!" desis yang lain ketika melihat sekujur kulit orang yang dipanggil Wanujaya itu telah merah bagai bara.
"Wanita keparat! Kau pikir bisa berbuat seenaknya di sini?! Huh! Kau akan mampus sesaat lagi!" geram salah seorang.
Seketika laki-laki bertubuh pendek itu mencabut senjatanya yang berupa arit besar. Langsung kawan-kawannya yang lain diberi isyarat untuk ikut mengeroyok.
"Hi hi hi...! Kenapa banyak mulut segala? Ayo, majulah semua kalau mau kukirim ke neraka!" bentak Nini Anting sambil tertawa cekikikan.
"Jahanam! Mampuslah kau, yeaaa!"
Mereka serentak maju berbarengan sambil menghunus senjata masing-masing. Namun, Nini Anting masih terkekeh, tanpa memandang sebelah mata pun. Dan kesombongannya itu ternyata ingin dibuktikannya langsung. Maka ketika ujung-ujung senjata lawan hendak membabat tubuhnya, Nini Anting cepat melompat ke atas disertai kelebatan pedangnya.
Trang! Trang! Trang...!
Beberapa buah golok dan pedang kontan berpentalan begitu beradu dengan pedang Nini Anting. Dan sebelum ada yang menyadari ujung pedang di tangannya tak tanggung-tanggung menyambar ke arah leher dan dada beberapa orang. Begitu cepat gerakannya sehingga tak seorang pun yang dapat menduga.
"Aaa...!"
"Wuaaa...!"
"Aaakh...!"
Tiga jeritan setinggi langit, terdengar saling susul. Seketika tiga sosok tubuh ambruk ke tanah bermandikan darah. Dan sesaat kemudian, tubuh mereka berubah memerah bagai bara akibat racun yang berada di batang pedang Nini Anting.
"Hik hik hik...! Orang-orang tolol! Kalian kira bisa berbuat seenaknya padaku. Terimalah kematian kalian!" dengus Nini Anting, begitu kakinya mendarat di tanah. Dan sebelum orang-orang itu menyerangnya, tubuhnya cepat melompat menyerang.
Melihat perempuan tua itu bergerak mendahului mereka, kawanan laki-laki bertampang kasar itu bukannya merasa gemetar. Bahkan dengan amarah yang meluap-luap mereka menyambut serangan itu dengan geram. Beberapa buah senjata kembali memapak senjata Nini Anting.
Trang! Trang!
Dan belum juga bunyi benturan senjata itu lenyap, beberapa buah senjata rahasia langsung melesat menyerang perempuan tua itu. Namun ketika Nini Anting memutar pedang dengan tangkas, senjata-senjata rahasia lawan langsung rontok tak berbentuk. Dan pedangnya terus berputar kembali merontokkan senjata-senjata lawan. Lalu dengan gerakan mengagumkan, Nini Anting melenting ke udara. Dan secara tiba-tiba saja, tubuhnya menukik seraya membabatkan pedangnya ke arah beberapa orang yang masih terkesiap.
Cras! Cras!
Kembali terdengar pekik kematian yang disusul ambruknya beberapa sosok tubuh berlumuran darah. Dan mereka langsung mati, dengan tubuh merah bagai bara!
"Hik hik hik...! Ayo, ke sini! Mari kuantar kalian ke neraka! Kenapa? Apa kalian mulai takut?! Hi hi hi...! Ayo, tunjukkanlah kegarangan kalian tadi!" ejek Nini Anting setelah mendarat kembali di tanah. Dan dia melihat beberapa pengeroyok yang masih selamat mulai ragu.
Memang tak mengherankan. Masalahnya, hanya sekali gebrakan saja, pedang perempuan tua itu telah meminta banyak korban. Bahkan setengah jumlah mereka kini telah tewas!
Tapi di pihak lain, Nini Anting sama sekali tak berniat menghentikan sepak terjangnya. Malah, dia berniat mempermainkan mereka, untuk kemudian menjadi tumbal pedangnya. Dan seketika tubuhnya melesat menyambar mangsa.
"Kalau demikian, lebih baik kalian mampus saja! Yeaaa...!"
Pedang Nini Anting berkelebat begitu cepat, mengincar bagian-bagian tubuh yang mematikan. Dan dua orang yang berada di dekatnya mencoba menangkis, sementara seorang lagi mengayunkan goloknya ke arah punggung.
Trang! Trang!
Begitu pedangnya tertangkis, Nini Anting segera memapak serangan yang terarah ke punggungnya, setelah dengan cepat sedikit menyorongkan dan mendoyongkan tubuhnya.
Trang!
Tiga senjata para pengeroyoknya berturut-turut terlepas dari tangan, begitu berbenturan dengan pedang Nini Anting. Dan kaki kanannya berputar menghantam rahang laki-laki di belakang, sebelum ada yang sempat menyadari. Dan dengan gerakan dahsyat, ujung pedangnya kembali berbalik menyambar leher dua orang di depannya.
Diiringi pekikan menyayat, dua orang langsung tewas dengan leher nyaris putus. Sementara yang seorang lagi menggelepar-gelepar meregang nyawa akibat tendangan yang luar biasa kerasnya. Dan baru saja Nini Anting akan kembali menyerang lawan-lawannya yang tersisa, mendadak...
"Nini Anting, sudahlah! Hentikan permainanmu dengan coro-coro itu...!"
"Heh?!"
Wanita tua itu segera menoleh, tanpa mempedulikan sisa lawannya yang langsung lari terbirit-birit begitu mendapat kesempatan. Tampak tiga orang laki-laki berwajah seram tengah melangkah mendekati, bersama seorang laki-laki tua berpakaian putih. Kekek itu memegang kipas yang terkembang. Dan di pinggangnya tampak terselip sebuah suling emas. Begitu mengenali, Nini Anting segera melangkah mendekati mereka.
"Hik hik hik...! Tiga Setan Bukit Tunjang dan si Tua Bangkotan Sanjaya. Hei?! Apa kabar kalian semua?!" sambut Nini Anting terkekeh gembira.
"Kami baik-baik saja, Bibi Guru...," sahut ketiga orang yang tak lain Tiga Setan Bukit Tunjang sambil menjura hormat.
"Dan kau, tua bangka bau tanah?!" ledek Nini Anting pada laki-laki tua yang memang Ki Sanjaya.
"Seperti yang kau lihat, Nenek Genit! Aku baik-baik saja dan tak kurang sesuatu apa pun," sahut Ki Sanjaya sambil mengipas-ngipas wajahnya.
"Hm.... Bagaimana mungkin. Kudengar dadamu luka. Coba kulihat!" lanjut Nini Anting sambil cepat mengayunkan pedangnya. Ki Sanjaya tak kurang lincah. Tubuhnya segera bergeser ke kiri, seraya mengayunkan kipasnya ke arah senjata itu.
Trak!
Dua benturan senjata langsung terjadi. Dan rupanya, Ki Sanjaya melanjutkan dengan sebuah serangan ke leher.
Wukkk...!
"Uts!"
Untung saja Nini Anting cepat melenting ke belakang, untuk menghindarinya. Sehingga, serangan itu hanya menyambar angin saja.
"Kau lihat, Nenek Genit? Aku tak apa-apa, bukan?!" kata Sanjaya tenang, setelah serangannya tidak dilanjutkan. Ditatapnya perempuan tua itu dengan sinar mata meledek.
"Hm... Aku masih kurang percaya. Yang terlihat di depan mata kadang suka menipu. Barangkali kau terluka dalam. Mari kuperiksa!" gumam Nini Anting.
Kembali perempuan tua itu mengayunkan cepat pedangnya bergulung-gulung, sehingga menimbulkan angin kencang bercampur hawa racun dari batang pedangnya.
Sementara tidak jauh dari kancah pertarungan, Tiga Setan Bukit Tunjang hanya bisa mengamati pertarungan kedua tokoh itu. Sedikit demi sedikit mereka bergerak menjauh, takut-takut kalau ada serangan nyasar.
"Edan! Bukannya berbaikan, malah bertarung...!" umpat Sugriwa kesal.
"Kau seperti tak tahu adat mereka kalau bertemu," sahut Durganda mengingatkan. Wajahnya pun terlihat tak senang.
"Iya... Tapi, gurauan mereka berbau maut dan menyusahkan saja!" sambung Peging Salira bersungut-sungut.
Apa yang dikatakan Tiga Setan Bukit Tunjang memang tak salah. Tapi apakah mereka sedang bergurau saat ini? Tak seorang pun yang tahu. Kedua tokoh itu memiliki kepandaian tinggi, tapi juga mempunyai kelakuan aneh. Mereka bertarung seperti layaknya dua musuh bebuyutan yang tengah melampiaskan dendam.
"Yeaaa...!"
Tiba-tiba saja kedua orang yang bertarung itu kembali melompat ke belakang dengan arah berlawanan. Dan suasana menjadi hening beberapa saat, begitu kaki mereka menjejak tanah. Kipas di tangan Ki Sanjaya menutup, sedangkan pedang di tangan Nini Anting telah kembali terselip di pinggang.
"Hik hik hik...! Kepandaianmu masih tetap menakjubkan, Sanjaya!" puji Nini Anting sambil berbalik tubuh dan melangkah mendekati laki-laki tua itu.
"Kau pun hebat. Anting! Apakah segalanya sudah dipersiapkan untuk menghadapi si keparat Pendekar Rajawali Sakti itu?" tanya Ki Sanjaya seraya mendekati wanita tua itu.
"Huh! Setelah apa yang dilakukannya terhadap dua rekan kita, dia patut mampus di tanganku!" geram Nini Anting dengan wajah kelam.
"Kita patut berhati-hati, Anting...," desak Ki Sanjaya.
"Kenapa?! Apakah kau takut menghadapinya seorang diri?!" sentak perempuan tua itu garang.
"Anting! Kepandaian pemuda itu sangat tinggi. Kita tak bisa menghadapinya seorang diri!" Ki Sanjaya mencoba menjelaskan. Nini Anting tak menyahut. Malah wajahnya dipalingkan disertai dengusan dendam.
"Cobalah ingat! Si Burisrawa dan Balung Geni tewas di tangannya dengan mudah. Padahal, kepandaian keduanya tak terpaut jauh dengan kita!" urai Ki Sanjaya, kembali mengingatkan Nini Anting.
"Huh! Kalau bertemu, akan kucincang tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Dan, dagingnya kuberikan pada anjing-anjing kurap!" geram Nini Anting dengan mata berkilat tajam dan mulut menyeringai lebar.
"Untuk itulah kita berkumpul di sini dan membuat rencana untuk menghancurkannya!" sambung Ki Sanjaya.
"Tapi aku sudah tak sabar, Sanjaya! Rasanya tanganku sudah gatal ingin memecahkan batok kepalanya!" dengus perempuan tua itu.
"Tak bisakah kau bersabar sesaat lagi saja? Kau lihat di sekelilingmu? Bila si keparat itu datang kesini, maka tamatlah riwayatnya!"
"Ya! Tapi, bagaimana caranya dia datang ke sini? Dan lagi, dia ada di mana sekarang?" keluh Nini Anting.
"Nah! Itulah yang akan kita bahas. Yakinlah, semuanya pasti akan beres. Dan dendam kita pasti terbalas. Ayo, kau harus kuajak ke markas murid-murid keponakanku yang tak jauh lagi dari sini. Kita akan menunggu seorang lagi, yaitu Ki Sanca Manuk. Mudah-mudahan dia tak tersesat untuk tiba di sini!" ujar Ki Sanjaya untuk bersama-sama ke tempat kediaman Tiga Setan Bukit Tunjang.
***

Tiga Setan Bukit Tunjang serta kedua orang tua itu duduk bersila di ruangan besar yang berada dalam bangunan mewah itu. Di atas meja mereka, telah tersedia hidangan lezat beraneka ragam, serta arak yang harum baunya.
"Hm. Apa kau pikir rencanamu itu berhasil, Sanjaya?" tanya Nini Anting.
"Kenapa? Apa kau ragu?"
"Itu siasat pengecut!" dengus Nini Anting tak senang.
Ki Sanjaya hanya terkekeh pelan. "Nini Anting! Kuhargai kejujuranmu dalam bertarung. Tapi kau pun harus ingat, kita bukanlah orang baik-baik. Musuh harus dikalahkan dengan segala cara!" kilah Ki Sanjaya.
"Tapi tidak dengan cara yang sama sekali akan merendahkan derajat kita! Apa kau pikir aku sebangsa cecurut yang mesti mengajak ratusan ekor kecoa, untuk mengerubuti seekor kadal busuk tak berguna?" sindir Nini Anting.
"Nini Anting! Kau belum tahu kehebatan Pendekar Rajawali Sakti...." Ki Sanjaya terus membujuk.
"Jangan sebut-sebut nama keparat itu di hadapanku!" sentak Nini Anting memotong pembicaraan Ki Sanjaya.
"Kau belum tahu kehebatannya. Tapi, aku telah melihatnya sendiri!" lanjut Ki Sanjaya.
"Hm.... Kau katakan telah melihat kehebatannya. Lalu, apa kerjamu saat itu? Menonton si keparat itu membinasakan kedua kawan baikmu?!" dengus Nini Anting kesal.
"Tentu saja tidak. Waktu itu, Burisrawa dan Balung Geni belum tewas di tangannya. Kusaksikan, dia membinasakan seorang tokoh dari utara. Dan aku sendiri belum tentu yakin bisa mengalahkan. Tapi Pendekar Rajawali Sakti mampu mengalahkannya," jelas Ki Sanjaya.
"Lalu setelah kematian Burisrawa dan Balung Geni, kau terbirit-birit memberi kabar pada kami untuk berkumpul di sini?"
"Nini Anting! Jangan memojokkanku begitu rupa. Kalian kuundang ke sini, untuk merencanakan sematang mungkin agar dendam kita terbalaskan," desah laki-laki tua itu.
"Benar, Nini. Kami pun bukan semata-mata ingin membantu. Tapi, sebagian besar anak buahku juga punya dendam kesumat pada Pendekar Rajawali Sakti...." ujar Durgana.
"Diam kau. Bocah! Sudah kukatakan, jangan sebut-sebut nama keparat itu di hadapanku. Lagi pula, apa urusannya dengan kalian? Kalau ingin balas dendam, itu urusan kalian. Tapi, keparat Pendekar Rajawali Sakti itu pun sedang berurusan denganku!" sentak Nini Anting galak.
"Nini! Kau kelihatannya sewot sekali, dan tak mau berpikir tenang. Aku tahu betul watakmu..," kata Ki Sanjaya sambil tersenyum kecil.
"Apa maksudmu, Kakek Peot?!"
"Meski kelakuanmu terkadang aneh, kau bisa diajak bersungguh-sungguh dan berpikir tenang. Tapi dalam persoalan ini, kelihatan sekali kemarahanmu. Apakah karena pemuda itu telah membinasakan kekasihmu?" pancing Ki Sanjaya.
"Dasar tua bangka bau tanah! Bicaramu semakin ngawur saja...!" dengus Nini Anting.
"He he he... ! Kenapa musti pura-pura kalau kau amat mencintai si Balung Geni... "
"Tutup mulutmu, Sanjaya! Atau lebih baik kurobek biar tak bisa berkoar lagi?!"
Nyaris keributan kecil itu akan semakin memuncak. Untung saja tiba-tiba seorang anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan berukuran besar ini.
"Ampun, Tuan. Tadi ada kekacauan di sebelah sana...! Kami sudah berusaha menahan sekuat mungkin. Namun, dia berilmu tinggi dan bukan tandingan kami...!" lapor orang yang baru masuk itu.
"Siapa orang itu?" tanya Durganda.
"Dia tak menyebutkan namanya...
"Bagaimana ciri-cirinya?" tanya Ki Sanjaya.
"Dia membawa tongkat berhulu seperti kepala ular. Mulutnya monyong seperti buaya. Bahkan dia ditemani ular-ular berbisa yang menyerang kawan kawan yang lain," jelas orang itu.
"Hi hi hi...! Panjang umurnya si Sanca Manuk. Baru saja akan dibicarakan dia sudah nongol. Hei, Nini.... Mari kita sambut dia!" ajak Ki Sanjaya sambil bangkit.
Dengan malas-malasan Nini Anting mengikuti langkah Ki Sanjaya. Demikian juga Tiga Setan Bukit Tunjang. Malah, merekalah yang lebih dulu beranjak karena mengkhawatirkan anak buahnya. Mereka semua terus keluar dari rumah besar lagi mewah di puncak Bukit Tunjang ini. Beberapa orang yang menjaga rumah ini segera membungkukkan tubuhnya begitu para tokoh hitam dunia persilatan itu lewat. Tiga Setan Bukit Tunjang, Nini Anting dan Ki Sanjaya terus menyusuri jalan setapak, untuk menuju suatu tempat di lereng bukit. Dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh, mereka terus berlompatan.
Begitu tiba di tempat yang agak luas, tampak seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun tengah terkekeh menyaksikan keadian di depannya. Kakek itu tak ditumbuhi rambut secuil pun pada bagian ubun-ubunnya. Namun pada bagian belakang, rambutnya justru panjang sampai ke punggung dan telah memutih semuanya. Orang tua itu mengenakan baju agak kedodoran, berwarna gelap. Tangannya tampak memegang tongkat aneh yang pada ujung atasnya berbentuk kepala ular.
Kekek yang memang bernama Sanca Manuk itu berdiri tegak, sementara di bawahnya menjalar ratusan ekor ular besar dan kecil. Sementara tak jauh di depannya, terlihat beberapa orang anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang menjerit-jerit kesakitan sambil berguling-gulingan dibelit dan dipatuk ular-ular yang mengandung bisa dahsyat. Beberapa orang tampak telah menjadi mayat dengan tubuh kaku dan warna kulit hitam kebiru-biruan.
"Ha ha ha...! Ayo, Anak-anak! Mari kita berpesta sepuas-puasnya hari ini. Ayo, serang mereka! Serang mereka...!" teriak Ki Sanca Manuk sambil mengeluarkan suara mendesis.
Desisan itu bagaikan perintah saja. Puluhan ekor ular lainnya terus merayap. Bahkan sebagian melompat menerkam beberapa orang anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang yang berada di dekatnya. Dan tiba....
"Tut..., tulat... tuliiit... tit... tit...!"
Mendadak terdengar irama suling yang berirama dan mendayu-dayu.
Heh?!"

***

113. Pendekar Rajawali Sakti : Pembalasan Iblis SesatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang