(9) Dia Bukan Dia

4.1K 567 88
                                    

Draco menatap perempuan di depannya dengan amarah. Setelah membagi tatapan terakhir, Draco berbalik pergi.

"Aku tahu mereka menyakitimu." Bisik Hermione.

Walau bisikan itu pelan, Langkah Draco berhenti sebagai tanda ia mendengar.

"Aku berusaha, Draco." Lanjut Hermione dengam menggunakan mama depan pria itu. "Aku berusaha. Berusaha untuk menyelamatkan beberapa pelahap maut yang harusnya diberi pengampunan. Seperti ibumu, Severus Snape, teman-teman seakangkatan kita yang dianggap ancaman bagi mereka." Hermione mengatakan hal itu dengan parau. Airmatanya mulai mengalir. "Aku berbicara dengan Kingsley, berbicara dengan Harry. Agar meringankan beberapa hukuman. Tapi aku sendiri. Aku hanya mampu memperjuangkan anak-anak yang mereka tinggalkan. Hanya mereka yang bisa kuselamatkan." Hermione jatuh berlutut. Ia menangis, ia menangis mengingat wajah-wajah kecil tak bersalah itu menatap para auror bingung saat dijelaskan mengenai berita kematian orangtua mereka. Mereka yang paham menangis histeris, dan yang tidak tahu apa yang terjadi hanya berkedip linglung.

Hermione yang berlutut di lantai hanya menatap ke lantai mengingat wajah-wajah tak berdosa itu. "Kemenangan ini hanya meninggalkan rasa bersalah mengerikan bagiku."

Sebuah tangan pucat menggenggam tangan bergetar Hermione. Ia menatap ke depan dan menemukan Draco Malfoy berjongkok di hadapnnya.

Tubuh Hermione bergetar dengan isak tertahan. Ia menatap pria di depannya.

"Granger..."

"Jika kau pergi, dan mereka menangkapmu dan bayimu." Bisik Hermione. "Tidak ada yang bisa menebus rasa bersalah ini."

《◇◇◇》

Draco menatap penyihir perempuan di depannya yang berlutut menangis di lantai.

Ia tahu, perempuan itu berujar bersungguh-sungguh. Mungkin ia tidak berteman baik dengan perempuan ini, tapi tujuh tahun mengalami kedewasaan bersama, ia tahu bahwa gadis ini tidak akan diam saja jika ada ketidak adilan.

"Kemenangan ini hanya meninggalkan rasa bersalah mengerikan bagiku." Ujar gadis itu putus asa. Tubuh mungil itu bergetar. Wajah kepedihannya tertutupi dengan rambut ikal emasnya.

Draco berjalan ke arah perempuan itu dan ikut berlutut di hadapannya. Dengan ragu ia meletakan tangan ke tangan perempuan itu yang bergetar. Ia bisa merasakan rasa dingin yang menguar dari gadis itu lewat jari-jarinya yang bersentuhan dengan perempuan di depannya.

"Granger..." Ia ingin mengatakn suatu yang mungkin bisa menenangkan, tapi si satu sisi ia juga bingung mengapa harus menenagkan gadis di hadapannya.

Gadis itu mendongak menatap langsung ke arah mata perak Draco. Draco sedikit tersentak melihat kesedihan dan keputusasaan dari mata hazel gadis itu.

"Jika kau pergi, dan mereka menangkapmu dan bayimu." Bisiknya parau. "Tidak ada yang bisa menebus rasa bersalah ini."

Mata hazel itu bertemu langsung dengan mata perak Draco.

Draco memang bukan pria paling baik, tapi melihat seorang gadis dengan tangis keputusasaan ini menyentuh tepat di hati kecilnya.

Ia mengingat kenangan bersama ibunya. Saat ia menangis terpuruk akibat tugas dari Pangeran Kegelapan, ibunya memeluknya. Rasa frustasi dan putus asa itu terasa lebih ringan.

Jadi, tanpa memikirkan logikanya, Draco melampirkan tangan kanannya yang bebas dan membawa gadis itu ke dekapannya.

"Ssshhh... Kau tidak malu dilihat menangis oleh anakku?" Canda Draco agak kaku. Tapi ia kembali menghela napas saat menyadari gadis itu masih terisak menangis. Dulu ayahnya akan mengejek tentang suatu aibnya yang lucu jika Draco merasa frustasi. Mungkin humor bisa menghilangkan raut kepedihan perempuan itu? Karena sungguh, melihat wanita menangis itu sangat canggung dan tidak enak hati.

DRAMIONE : DON'T HURT MY DEATH EATERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang