Ancaman Rachel

228 43 30
                                    

(jadilah pembaca yang bijak 🌟)

Pagi ini, saat sang mentari masih enggan menampakkan sinarnya, terlihat seorang gadis tengah berkutat dengan peralatan dapurnya. Ya, dia adalah Raina. Sudah menjadi kebiasaan dan tugasnya untuk memasak karena di rumahnya tidak ada pembantu ataupun ART yang diperkerjakan oleh Mamanya. Alhasil dialah yang disuruh sang mama untuk melakukan semua pekerjaan rumah.

Setiap hari, Raina harus bangun lebih pagi dari semua orang. Setiap hari dia harus bisa membagi tenaganya untuk semua orang di rumahnya. Walaupun kadang ia merasa lelah, namun hal itu tak pernah ia hiraukan.

“Akhirnya selesai juga,” ucap Raina pada dirinya sendiri setelah menyiapkan makanan di atas meja makan.

Huft, udah jam lima, aku harus siap-siap ke sekolah nih,” sambungnya lalu mulai melangkahkan kakinya menuju kamarnya.

Setibanya dikamar ia langsung bergegas ke kamar mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Tak selang lama kini Raina telah siap dengan memakai seragam putih abu-abunya. Ya, sedikit informasi kini Raina sudah kelas 11 SMA dan sebentar lagi ia akan naik ke kelas 12. Dia memiliki seorang adik yang usianya hanya terpaut satu tahun darinya yaitu Rachelia Dyrandra. Mereka bersekolah di tempat yang sama namun tak ada yang tahu jika mereka adalah saudara atau adik kakak.

Mengambil tas sekolahnya. Kini Raina bergegas turun ke bawah untuk sarapan dan berangkat ke sekolah. Sesampainya di ruang makan terlihat sang Mama dan adiknya yang sudah memulai sarapan terlebih dahulu, tanpa banyak bicara pun Raina menghampiri mereka. Namun, saat Raina ingin duduk dan menarik salah satu kursi di sana, suara sang Mama menghentikan kegiatannya.

“Siapa yang suruh kamu duduk di sini?” ujar ketus sang Mama dengan tatapan tajam tak terelakkan.

“Maaf Ma, Raina cuma mau sarapan bareng kalian,” jawab Raina dengan hati-hati.

“Makan di dapur. Nggak pantas pembunuh seperti kamu makan satu meja dengan kita!” sarkas sang Mama pada Raina yang masih diam ditempatnya.

“Heh kamu tuli?!” bentak sang Mama yang membuat Raina sedikit terkejut.

“Ba- baik Ma,” ujarnya yang langsung bergegas menuju dapur. Mengharukan rasa sakit dihatinya yang kembali hadir, dia pun langsung mengambil sedikit nasi yang tadi memang ia sisakan untuk makan siang sang Mama nanti dan mulai memakannya. Hanya nasi. Ya, karena tadi dia tak menyisihkan lauk barang sedikit pun.

Setelah selesai sarapan, Raina pun bergegas berangkat ke sekolah. Sebelum itu ia berniat untuk berpamitan terlebih dahulu pada sang Mama.

“Ma, Raina berangkat ya,” ujarnya sembari ingin mencium telapak tangan wanita paruh baya itu, namun langsung ditepis kasar oleh sang Mama.

“Nih, uang saku kamu. Nggak usah sok pamitan kalo cuma mau minta uang saku!” tandas sang Mama sembari melempar uang sepuluh ribu di depan wajah Raina.

“Tapi Ma, Raina memang mau pa-,”

“Udah-udah sana pergi. Muak saya lihat muka kamu!” ujar Mama Raina memotong ucapannya. Mengambil selembar uang bewarna unggu itu, lantas Raina pun segera melangkahkan kakinya untuk pergi ke sekolah. Dari pada nanti ia dimarahi lagi, lebih baik ia mengikuti saja perkataan sang Mama.

My Destiny (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang