Behind the Scene

185 39 47
                                    

"Ayah! Kenapa memanggilku mendadak begini?!"

Pintu ruang kerja direktur dibuka dengan kerasnya, untuk kemudian dibanting hingga tertutup. Seorang pemuda masuk dengan bersungut-sungut, mendekati ayahnya yang melepas kacamata dengan lelah di balik meja kerja.

"Kapan sikapmu itu akan membaik, hah?" tanya sang Direktur. Ayahnya itu bahkan tidak mampu lagi marah, dia sudah benar-benar lelah.

Apa tidak apa-apa jika bersama manusia yang seperti ini?

Sang Direktur memijit pangkal hidungnya, menghela napas.

"Duduklah," katanya tanpa melihat sang putra.

"Katakan saja dengan cepat. Aku ini sibuk, tidak punya banyak waktu!"

Sang Direktur nyaris saja kehilangan kewarasannya. Putranya ini, entah darimana dia mewarisi sifat buruk yang tidak keruan seperti ini. Benar-benar salahnya, sepertinya dia sudah terlalu memanjakan putranya.

"Dengar dulu. Umurmu sekarang sudah dua puluh lima tahun," kata sang Direktur memulai pembicaraan.

"Jangan bilang Ayah mau membicarakan tentang perjodohan!" Putranya menyipitkan mata, tidak suka.

"Hell! Bahkan kalau kamu mau melajang seumur hidup pun tidak apa-apa asalkan punya keturunan!" Sang Direktur akhirnya lepas kendali juga.

"Aku masih belum mau punya anak!"

"Jadi berhentilah main-main bersama wanita. Dasar tidak tahu malu! Berapa banyak wanita yang kamu tiduri seminggu ini?!"

"Itu urusanku! Kalau hanya ingin membicarakan itu, aku pergi sekarang!"

"Rafa!!"

Sang Direktur menggebrak meja, berdiri dari duduknya. Tetapi, sesaat kemudian raut wajahnya berubah penuh penyesalan. Dia menunduk pelan, meminta maaf entah kepada siapa, kemudian duduk lagi dan memperbaiki kerah kemeja.

"Aku memanggilmu bukan untuk membicarakan itu. Dengarkan dulu."

Sang Direktur menarik napas mencari kesabaran sementara putranya justru menghela napas jengkel.

"Umurmu sudah dua puluh lima tahun. Sudah saatnya kamu belajar untuk mengambil alih tanggung jawab Ayah."

Rafa memutar bola mata. "Ayah, aku ini lulusan ekonomi dari universitas terbaik dan dengan nilai terbaik. Perusahaan cabang yang Ayah percayakan padaku juga berjalan dengan baik. Kalau Ayah mau pensiun atau mati kapanpun, aku siap menerima semuanya."

Sang Direktur mengelus dada. Putranya memang punya mulut yang minta diampelas.

"Aku bukannya menyangsikanmu tentang urusan itu. Tapi apa kamu lupa kalau anak laki-laki tertua di keluarga kita punya tanggung jawab lain yang harus diemban?"

Rafa berkacak pinggang. "Ayah, apa lagi? Jangan mengarang tanggung jawab yang tidak-tidak," katanya.

"Ayah pernah menceritakan tentang ini sewaktu kamu masih kecil. Kakekmu juga sering mengingatkannya. Jangan bilang kamu lupa karena terlalu sering bermain-main dengan dunia," ucap sang Direktur.

"Apa? Jangan bilang, tentang takhayul bodoh itu lagi?! Ayah, ini sudah jaman kapan? Kenapa Ayah dan Kakek masih memuja setan perempuan yang tidak jelas asal-usul ceritanya itu?!"

"Sepertinya kamu sudah terlalu lancang, Rafa."

Rafa berbalik dengan terkejut. Entah sejak kapan kakeknya ada di belakangnya. Dia sama sekali tidak mendengar pintu dibuka.

Pemuda itu tersenyum kaku. Kakeknya selalu punya aura yang membuatnya merasa canggung. Bukan berarti Rafa takut. Dia hanya ... canggung.

Kakek berjalan menuju sofa, kemudian menunduk hormat seolah ada orang di sana.

TALE OF THE CURSED WITCHWhere stories live. Discover now