Episode 1 : Rasa itu..

80 2 0
                                    


"Bagaimana aku bisa bersanding dengan Ranti, kalau memang sejak kecil aku menganggapnya tak lebih dari seorang adik seperti halnya adik perempuanku satu-satunya ", ungkap batin Sakri

Bus Sumber kencono itupun mulai berjalan menuju arah ke Solo. Semakin siang penumpang semakin padat. Ketika berhenti diperempatan Guyangan, sepertinya bus tidak akan langsung melaju. Dan benar saja, bus benar-benar berhenti walaupun penumpang sudah cukup berdesak-desakan. Samar-samar terdengar beberapa penumpang mulai menggerutu. Karena mestinya dengan jumlah penumpang yang cukup padat, bus tidak perlu berhenti mencari penumpang lagi. Tapi itulah bagian dari strategi. Memang sopir dan awak bus harus juga memiliki jiwa rakus. Karena dipemberhentian berkutnya mereka sudah berhitung sebagian penumpang akan turun lagi.

Sakri memandang kearah luar jendela. Nampak dari kejauhan warung-warung dipinggir jalan itu dipadati pembeli. Tentu bukan sembarang pembeli. Tempat yang identik dengan daerah lokalisasi ini memang terletak didaerah persimpangan jalan. Terlihat jelas canda tawa diantara kerumunan itu menghiasi suasana siang yang panas. Beberapa wanita memakai rok pendek diatas lutut menari diantara para pengemudi truk yang singgah untuk melepas penat dan melepas sebagian 'hasrat' nya, karena tempat itu memang diperuntukkan untuk itu. Dengan iringan musik dangdut yang terdengar sampai kedalam bus, wanita-wanita warung itu berliuk-liuk seakan-seakan tidak menggubris berpuluh-puluh mata yang sedang menyaksikannya.

Sakri agak jengah juga. Karena disebelahnya duduk gadis perempuan kecil yang seumuran dengan adik perempuannya di kampung. Tentu jogetan wanita-wanita memakai rok mini di warung itu bukan pelajaran yang baik baginya. Tapi tak lama kemudian bus itupun meluncur. Kota Ngawi dan Sragen pun dilaluinya dengan cepat. Dan hampir separuh lebih jumlah penumpang mulai berkurang hingga membuat Sakri sedikit lega bernafas. Disandarkan kepalanya dikursi sambil pandangannya menerawang jauh.

Sempat terngiang kata-kata ibunya tentang Ranti. Famili jauh dari jalur ibunya yang kebetulan bertemu dengannya dirumah kemarin pagi. Ibunya mengingatkan akan keinginan almarhum bapaknya untuk menjodohkannya dengan Sakri. Dan perjodohan itupun disambut baik oleh kedua orangtua Ranti. Disamping karena masing-masing pihak setuju dengan calonnya masing-masing, tapi lebih dari itu agar persaudaraan antar keluarga menjadi semakin erat.

"Kalau kamu sudah betul-betul siap, nggak salahkan kapan kita sama-sama ke dik Har ", bujuk ibu Sakri suatu saat. Dik Har yang dimaksud ibu Sakri adalah bapak dari Ranti. Ibu Sakri berharap Sakri segera melamar Ranti karena orangtua Ranti sering menanyakan perkembangan rencana perjodohan mereka berdua sejak almarhum bapak Sakri masih hidup.

Namun Sakri tidak pernah memberikan jawaban tegas ke ibunya. "Suatu saat saja,bu kalau saya sudah siap", jawab Sakri dengan datar. Terbayang wajah Ranti saat bertamu kerumahnya kemarin. Wajah yang lumayan cantik untuk ukuran gadis desa. Walaupun sekarang sudah menetap kuliah di Yogya, tapi kesederhanaannya tetap tidak berubah. Apa yang sedang dipikirkan kedua keluarga itu berbalik dengan apa yang sedang dipikirkan Sakri.

Bukan Sakri tak sadar akan kecantikan Ranti, tapi dari hati kecilnya yang dalam tidak pernah terbesit sedikitpun bagi Sakri untuk mempersunting Ranti. Karena sejak kecil Sakri hanya menganggapnya sebagai anak kecil yang tak ada bedanya dengan adik perempuan satu-satunya.

Dan Sakri juga berharap Ranti pun menganggap dirinya tak ubahnya seperti kakak kandungnya. Tak lebih dari itu. "Bagaimana aku bisa bersanding dengan seorang wanita yang memang sejak kecil sudah kuanggap sebagai adikku sendri ?", sanggah batin Sakri. Dan itulah yang belum difahami oleh ibu kandung Sakri maupun orangtua Ranti sampai sekarang. Dan bahkan oleh Ranti sekalipun, karena dari perhatiannya kepada Sakri tidak pernah sama sekali berubah. Karena jarak rumah mereka yang berdekatan, ketika Sakri menjenguk Ibu dan adikknya kerumah tiap bulan, dan saat Ranti juga sedang pulang ketika libur kuliah, Ranti selalu meluangkan waktu untuk menemui Sakri.

"Palur..palur ", kata kondektur memecah lamunan Sakri. Sakripun segera bergegas berjalan menuju pintu depan bus untuk bersiap-siap turun.
Tak lama kemudian, Sakripun sudah duduk diatas becak melewati Kraton Solo menuju daerah Kerten dimana Sakri tinggal.


BERLANJUT

Nyonya SaidahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang