Episode 12: Takkan kulepas...

39 0 0
                                    

Sakri hanya terpana ketika pintu kamar itu terbuka. Sosok yang pernah menorehkan kenangan dalam hidupnya itu, sudah berdiri dihadapannya.....


Sakripun berusaha membaringkan tubuhnya dikasur empuk hotel untuk melepaskan penat mengingat dari pagi jadwalnya sangat padat. Tapi matanya sampai malam sulit dipejamkan. Dia pun beranjak dari tempat tidur dan berjalan berjalan mendekati jendela kamar. Dari jendela lantai dua kamar hotel dilihatnya jalan dibawahnya begitu ramai. Jalan yang dulu biasa dia susuri. Diseberang jalan dilihatnya hik yang berjajar sudah ramai dikerubuti pembeli. Tempat yang sering dikunjunginya saat-saat dia masih merintis hidup. Lalu tiba-tiba saja ingatannya kembali ke dua tahun kebelakang ketika masa-masa perjuangan dalam hidupnya dilaluinya sebagian besar di kota ini. Dan ingatan itupun mengembara sepanjang kenangan yang dia pernah alami. Lalu pengembaraan angan itu berhenti ke sesosok wajah yang pernah dia kagumi, yang sempat mengisi keindahan hidupnya.

Tak terasa dua tahun sudah dia tak menginjakkan kaki disini. Kenangan itu tiba-tiba muncul lagi. Wajah lembut bu Saidah yang berjanji menunggunya sekian lama. "Ah...tentu dia sekarang sudah tak mungkin menunggunya lagi. Dan kepergian bu Saidah saat itu dengan luka hati yang merana. Dua tahun tentu cukup baginya menentukan kehidupan yang baru. Dan smoga saja dia sudah menemukan jodoh yang layak, yang melebihi dirinya segalanya. Dan mampu membawanya kearah kehidupan yang lebih islami. Dan satu kebahagiaan yang selalu Sakri kenang adalah ketika dia secara tidak langsung mampu mengubah cara hidupnya dari yang sebelumnya memahami agama dari kulitnya saja, berubah dan berusaha menyelami agama sedalam-dalamnya. Termasuk dari cara berpakaian yang masih terbuka, menjadi kebih tertutup sesuai syariah agama. ", pikir Sakri dalam-dalam. Lalu dilihatnya arloji pemberian bu Saidah yang masih terawat sampai sekarang. Arloji pemberian seorang wanita terhormat yang pernah singgah dalam hidupnya.

Lalu Sakri pun berjalan perlahan ke arah cermin. Dibukanya kacamata yang berlensa coklat itu dan ditatapnya mata kirinya yang sudah tidak berfungsi lagi.
Mata itu hanya bisa dibuat berkedip, tapi sudah tak bisa difungsikan untuk melihat. Sisa kenangan pahit yang tidak membuatnya patah semangat mengarungi hidup.

Dan sejak pertemuan terakhirnya di Rumah sakit itu, Sakri sudah tidak pernah bertemu sekalipun dengan bu Saidah. Dibiarkannya perpisahan itu terjadi secara alami. Dia berharap bu Saidah sudah mendapatkan tambatan hati yang jauh lebih baik darinya melalui doa-doa yang rutin dia mohonkan kehadirat Allah SWT.

Sakri berharap betul, dengan bertemunya bu Saidah dengan seseorang yang berperilaku baik, akan membimbingnya menjadi pribadi yang baik pula. Seseorang yang sepadan dengan keberadaannya.

Jiwa itupun luruh

Setelah sholat subuh Sakri sempatkan waktu untuk untuk membaca Al-qur'an kecil yang selalu dibawanya setiap dia pergi ke luarkota. Hari masih pagi sekali ketika seseorang mengetuk pintu kamar hotelnya. Ketukan itu makin keras, sampai akhirnya Sakripun menghentikan bacaannya lalu menjawabnya ", Ya, sebentar, sambil menuju ke pintu lalu pelan-pelan dibukanya. Dan......

Lidahnya terasa kelu. Badannya yang kekar seolah-olah terasa mau roboh. Betapa kagetnya Sakri. Pandangan matanya tiba- tiba tertegun. Dihadapannya wanita itupun tertegun. Merekapun saling bertatapan. Saling memendam sesuatu, tapi saling tidak dapat mengatakan sesuatu sampai keheningan itupun terpecahkan ketika tiba-tiba Affan berlari setengah melompat memeluk tubuh Sakri erat-erat dengan sedikit tangis haru.

Sakripun tak mampu menahan tangisnya, dipeluk erat tubuh anak itu lalu digendongnya. Dua tahun sudah menjadikan tubuh Affan agak berat untuk diangkat. Dua tahun tetap menjadikannya tidak merubah kedekatan hatinya dengan sosok Sakri yang selalu dirindukannya.
Tinggalah bu Saidah masih didepn pintu sambil mengusap airmata yang dari tadi membasahi pipi. Sakri tak kuasa menahan gejolak hati. Dia hanya manusia biasa, yang tak mampu juga menahan kerinduan. Dihampirinya bu Saidah yang menatapnya dengan sayu. Terlihat pipinya lebih cekung daripada yang dulu-dulu.
Disalaminya bu Saidah yang langsung menyambutnya dengan pelukan dan isak tangis. " Aku tak ingin melepaskanmu kali ini, pak Ustadz. Tak akan...dan tak akan...kata bu Saidah. Pelukan itu makin erat, dan makin erat berbaur dengan tangisan kerinduan......

Dan....

Pagi yang cerah, ketika Sakri duduk tenang didalam masjid dimana dia pernah tinggal. Dihadapan penghulu dan didepan bekas kawannya pengurus masjid, dia pun berikrar. Disebelahnya terlihat bu Saidah dalam duduk takdzim membelakangi Affan, ibunya Sakri serta adik perempuan satu-satunya, bersimpuh haru, dan menitikkan airmata bahagia, dari penantian yang panjang mengejar cinta seseorang dalam mengarungi kehidupan yang baru.


T A M A T

Nyonya SaidahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang