Bagian VI: Berbeda

123 20 12
                                    

Sejujurnya, Luna tak ingin ke sekolah hari ini. Dia lelah untuk terus berpura-pura baik-baik saja. Namun, dialah yang sudah menyulut api. Luna tahu dia pantas mendapatkan semua ini karena menyakiti seseorang sebaik Taehyung sama saja dengan menyia-nyiakan kebahagiaan yang akan datang jika bersama pria itu. Luna hanya takut merasakan kebahagiaan lagi, bergantung pada seseorang, dan pada akhirnya ditinggalkan. Ingatan saat sang ayah pergi jelas selalu tersimpan dalam dirinya. Bagaimana malam yang selalu terasa sama heningnya tiba-tiba berubah jadi kali terakhir dia melihat wajah tua dengan raut lelah itu.

Luna tak ingin tersakiti lebih banyak karena manusia. Bahkan, satu-satunya pria yang dia kira akan menjadi fondasi hidupnya justru meninggalkan dia dan sang ibu.

Kala itu langit terasa cerah seperti biasanya. Langkahnya yang tak bersemangat itu menjadi tanda kegelisahan dan ketakutan Luna. Saat dia sudah sampai di bangkunya, Jihee dan Jungkook menyapa gadis itu dengan semangat. Berbeda dengan pemuda di sebelah Jungkook yang malah sibuk memandang lapangan sekolah yang sepi di luar jendela. Luna duduk dengan perasaan canggung.

Tidak ada tatapan penasaran yang dia rasakan di balik punggungnya.

"Luna! Aku, Jungkook, dan Taehyung akan pergi ke game center sepulang sekolah. Apa kau mau ikut?" tanya Jihee dengan antusiasme tinggi.

"Maaf, Jihee. Aku tidak ikut," balas Luna tanpa memperhatikan Jihee yang mulai mengerucutkan bibir.

"Kau selalu langsung pulang. Bisakah hari ini saja kita bersenang-senang?"

"Aku tidak punya waktu untuk itu, Jihee."

Kali ini ada letih yang terasa dari balasan gadis itu. Dia sudah cukup penat dalam melewati hari-hari. Luna tak peduli lagi kalau saja Jihee memutuskan untuk marah seperti kemarin-kemarin. Dia akan hidup sendirian dan mati sendirian. Kehilangan satu sahabat bukanlah akhir baginya.

"Kita pergi bertiga saja," ujar suara di belakang punggung Luna.

Gadis itu merasakan nada dingin yang tak pernah dia dengar dari ranum milik Kim Taehyung. Semudah Taehyung menyerah dalam menggapai Luna, sesesak itulah dada gadis itu sekarang. Apa memang takkan ada yang mengerti dirinya? Bahkan, satu orang yang nyaris Luna percaya juga menyerah atas dirinya.

"Baiklah."

...

Mungkin batas-batas itu tak terlihat oleh orang lain. Namun, Luna menyadari bagaimana tiga orang yang lumayan dekat dengannya mendadak terasa sedingin es. Mereka bahkan meninggalkan Luna sendiri saat jam istirahat. Hari ini benar-benar hari buruk. Dengan langkah yang lesu, Luna berjalan menuju kafe tempatnya bekerja.

Memang pekerja di bawah umur tidak diperbolehkan oleh negara, tapi Luna harus menyambung hidupnya yang merana ini. Tidak ada yang bisa dia andalkan selain dirinya sendiri. Tabungan sang ibu mulai menipis sejak wanita itu tak pernah keluar rumah lima tahun lalu. Seragam sekolahnya sudah berganti setelan kerja.

Pemilik kafe itu adalah seorang pria berkepala empat yang memiliki banyak cabang kafe. Ini minggu keempat sejak Luna memutuskan bekerja di sana dengan gaji seadanya. Kafe tempatnya bekerja lumayan sepi dibanding cabang kafe yang lain. Mungkin hanya dua puluh orang yang datang perhari. Selepas kerja nanti, Luna akan meminta gaji pertamanya.

"Selamat datang," sapanya pada pengunjung yang baru saja masuk.

Kepalanya menunduk, sibuk menghitung pemasukan hari ini. Namun, Luna merasa aneh sebab pengunjung yang baru saja masuk tidak segera memberi tahu pesanannya. Saat kepalanya terangkat dan netra mereka bertemu, Luna bisa melihat tatapan heran dan tak percaya yang dilempar kepadanya. Gadis itu menunduk lagi, mencoba bertanya dengan getir di lidahnya, "Apa pesanannya, Tuan?"

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Pertanyaan itu coba Luna abaikan. Eksistensi Taehyung di depannya bahkan tampak seperti partikel debu yang kerap mengganggu mata Luna. Tapi, di sana, Taehyung kembali mengajukan pertanyaan.

"Aku tanya apa yang kau lakukan di sini?!"

Luna menggenggam terlalu erat bolpoin di tangannya. Tak bisakah hari ini dia melalui hari dengan tenang? Dia sudah lelah sejak pagi, tapi keberadaan Taehyung malah menambah lelah di tubuh dan jiwa Luna. Tak ingin membuat pria itu bertanya lagi dan lagi, Luna akhirnya menjawab, "Apa kau tak lihat pakaian kerja yang kukenakan?"

"Bukankah kita belum legal untuk bekerja?"

"Sudahlah, Taehyung. Jika kau kemari hanya untuk menginterogasiku, ada baiknya kau segera pergi karena aku akan menutup kafenya."

Luna mengembus napas letih. Sisa-sisa penat hari itu terasa jauh lebih sakit ketimbang yang lalu-lalu. Dengan wajah lesu, Luna berusaha mengerjakan pekerjaan lain dan tak menghiraukan Taehyung.

"Americano satu."

Adalah Taehyung yang akhirnya tak malu-malu untuk bersuara. Pria itu memasukkan kedua tangannya ke saku celana, mengamati bagaimana Luna mulai mengerjakan pesanannya. Keduanya diam saja meskipun dalam hati banyak sekali tanya dan rasa yang ingin ditumpah ruahkan seperti hujan yang mendadak turun di luar jendela.

Pesanan itu selesai setelah lima menit Taehyung menunggu. Namun, hujan deras di luar sana menjadi dalih Taehyung untuk tak pulang dahulu. Dari kursi kecil di meja kasir, Taehyung pandangi Luna yang sibuk membersihkan sisa-sisa pekerjaannya hari ini. Gadis itu kelihatan lelah. Dalam kesenyapan itu, pintu kafe yang berdecit ngilu terdengar.

Seorang pria tambun dengan topi pancing di kepalanya masuk dengan kaos abu-abu yang setengahnya sudah basah terkena hujan. Luna menunduk dalam mendapati kedatangan sang bos. Dalam hati, dia merasa senang karena sebentar lagi akan mendapat gaji.

"Sudah mau tutup?"

"Iya, Pak. Tuan ini akan segera pergi saat hujan reda," jelas Luna yang tentu mengartikan Taehyung sebagai si tuan yang numpang berteduh.

"Baiklah. Aku datang ke sini untuk membahas soal gajimu."

Luna bisa rasakan letupan bahagia itu mulai membuncah di dadanya. Senyum tipis tanpa sadar muncul di ranumnya yang merah muda. Si pak tua mengeluarkan selembar amplop dan memberikannya pada Luna.

"Kau bisa mengemasi barang-barangmu mulai hari ini."

Sirna sudah perasaan senang di diri Luna. Tangan yang awalnya menggenggam amplop itu dengan sukacita mendadak mengerat karena menahan pekat di muka. Luna bertanya dengan nada tak mengerti, "Maaf, Pak?"

"Aku akan menutup kafe ini lusa. Kafe ini jarang sekali mendapat banyak pengunjung. Aku hanya akan rugi jika diteruskan. Kau bisa mencari pekerjaan di tempat lain, Nona Moon."

Raut tak percaya itu jelas terlihat di wajah Luna. Taehyung yang sejak tadi hanya mendengarkan juga bisa mengerti bagaimana terkejutnya Luna sekarang. Luna merasakan ludahnya hampir membuatnya tersedak saat menukas, "A-apakah tidak ada lowongan pekerjaan di kafe cabang yang lain, Pak?"

"Aku sedang seret bulan ini. Jadi, maafkan aku. Aku sudah menambah uang pesangon di gajimu."

Tidak ada ucapan selamat tinggal. Pemilik kafe itu keluar dengan langkah terburu karena kehujanan. Luna yang masih berdiri di tempatnya mendadak merasa mual di perutnya. Hari ini dia sial sekali. Satu helaan napas berat dia embuskan selagi kedua kaki melangkah menuju tempat ganti.

Taehyung masih betah di sana. Menghabiskan sisa kopinya dengan kegundahan di pikiran. Selang sepuluh menit kemudian, Luna keluar dengan seragam sekolahnya.

"Kau harus pergi sekarang. Aku akan menutup kafenya," ujar Luna dengan nada datar.

Taehyung mengangguk sekali sebelum beranjak pergi. Namun, sejujurnya, pria itu tak benar-benar pulang. Kakinya malah mengikuti ke arah telapak Luna melangkah. Entahlah. Taehyung sendiri bingung dengan jalan pikirannya.[]

Ini sisa draft kemarin2. Semoga masih pada inget tristful ya hehe. Maaf kacoo suka ngilamg belakangan😭

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 04, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tristful. [ Kim Taehyung ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang