Menikah tanpa cinta memang sulit, tapi demi kebahagiaan hidup seseorang yang sangat kita sayangi, apa salahnya? Kompromi. Bukankah cinta akan tumbuh, jika sering bersama?
Kita tak pernah tau, akan seperti apa takdir yang digariskan Tuhan. Namun, sebagai manusia, tentu bisa memilih jalan hidupnya masing-masing. Baik buruknya kita yang tentukan. Bukankah akal diberikan Yang Kuasa untuk berpikir, memilah segala hal untuk kita jalani kedepannya.
Lirih terucap zikir, larut dalam heningnya malam. Temaram. Hanya sinar rembulan yang mengintip di celah tirai jendela dari ruangan kamar bernuansa klasik eropa. Air mata kian membanjiri seiring doa yang terapal untuk memohon ampun atas segala khilaf. Ya Allah, jika keputusan ini salah, maka berilah petunjuk. Aku terlalu bodoh untuk memilih. Banyak luka yang tercipta karena jalan yang kutempuh.
"Maafkan Ibu, Nak. Ibu ngelakuin semuanya demi kamu." Aku mencium kening bocah mungil berusia lima tahun yang tengah tertidur pulas.
Setelah melaksanakan Tahajud, mata enggan terpejam. Aku mengambil Al-Qur'an yang ada di nakas, memilih surah untuk kulantunkan hingga masuk waktu Subuh.
Aku memilih untuk berendam di dalam bathtub. Menikmati aroma bunga sakura yang menguar memenuhi ruangan dengan mata terpejam. Tiga puluh menit cukup untuk menghilangkan beban yang kian menyiksa dalam pikiran, menata hati untuk menghadapi kenyataan sulit.
Hingga matahari pagi menyapa melalui celah ventilasi, bidadari kecil di hadapan masih enggan membuka mata. Kusingkap tirai yang terpasang menjulang tinggi pada jendela, agar sinar mentari mengenai wajah mungilnya.
"Nazira … bangun sayang, kita harus berangkat sekolah." Aku mengelus lembut pipi putri semata wayangku. Malaikat kecil di hadapan bergeming, pelan kutepuk bahu, memanggil namanya. Lagi.
Nazira memang susah sekali dibangunkan. Apalagi kalau sampai bermain hingga larut malam. Alamat bakal terjadi drama, ketika dia membuka mata keesokan harinya. Meskipun begitu, rasa sayang tak pernah berkurang untuknya. Seolah jadi hiburan tersendiri bagiku, di tengah sepi yang melanda.
Bagiku, Nazira segalanya. Teman main dan bercanda, berbagi suka maupun duka, pun pahit, manisnya takdir. Tak ada yang lebih penting dalam hidup, selain malaikat kecilku. Karenanya aku bisa bertahan hingga di titik ini. Torehan luka yang sangat dalam, sekejap hilang saat memandanginya. Perih tak lagi terasa ketika tangan kecilnya mengusap air mata yang jatuh membasahi pipi.
Putriku … Nazira, jika kelak kau tahu kesalahan yang telah wanita bodoh ini lakukan. Mohon jangan pernah membenci. Kau boleh menyalahkan ibu sepuas hati, tapi jangan pernah pergi dari sisiku. Tak sanggup rasanya jika harus kembali merasakan pedihnya kehilangan.
Nazira mengucek mata, tangannya menutup mulut yang menguap. Segera kusapa putri kecil berambut panjang itu agar tidak ada drama pagi yang ia ciptakan. Satu ciuman mendarat di pipinya yang gembul.
"Mandi, yuk! Ibu sudah siapkan air hangat. Hari ini kan, Nazira mau ke perpustakaan daerah sama teman-teman sekolah," ajakku.
Matanya berbinar. Bocah berusia lima tahun tersebut bersemangat mendengarnya. Dibukanya baju yang dikenakan, tak sabar untuk segera mandi dan bersiap-siap berangkat ke sekolah. Gadis kecilku bernyanyi riang, menikmati hangatnya air dalam bathtub.
Aku mengucir rambut panjang Nazira menggunakan pita berwarna ungu dengan gambar frozen sebagai hiasan. Tak lupa kupasangkan jilbab biru langit, senada dengan seragam sekolahnya. Dia menautkan diri di depan cermin, tersenyum ke arahku sembari membulatkan ibu jari dan telunjuk, petanda oke.
Nazira menggamit tanganku berjalan menuruni anak tangga, menuju dapur yang ada di lantai bawah. Bibi Rita tersenyum menyambut kami. Roti selai kacang dan coklat hangat sudah tersedia di meja. Mengundang selera untuk dicicipi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengukir Takdir
General FictionJelita. Wanita single parent yang terpaksa menikah dengan seorang pengusaha, Raden Yuda Wiryawan. Berkali-kali gagal merajut kasih dengan suami keduanya karena berbagai teror. Hatinya seolah mati terkubur bersama cinta pertamanya. Berdamai dengan p...