Hati mana yang tidak luluh ketika semua ucapan begitu meyakinkan. Bahkan pahitnya kenyataan harus kau telan, hanya untuk merasakan manis di akhir tegukan.
Musik akustik mengalun indah, menemani kebekuan kami selama beberapa menit. Kusandarkan pelukan di dada bidang Mas Yuda untuk mendapatkan ketenangan. Rindu. Cukup lama terdiam, menyelami pikiran masing-masing. Semoga kesalahan ini tidak melukai siapapun suatu saat nanti.
Puas menikmati makanan di Restoran, kami kembali ke rumah. Kuambil alih kemudi ketika melihat Mas Yuda menguap berkali-kali. Mungkin lelah, setelah berjam-jam di pesawat. Ia bahkan sempat tertidur saat perjalanan pulang.
"Mas … ayo bangun, kita sudah sampai rumah," ucapku menggoyangkan bahunya pelan.
Bibi Sumi melemparkan senyum dan salam saat melihat kami memasuki rumah. Sempat menawarkan makanan, tapi kutolak dengan ramah. Sebelum ke kamar, aku berpesan padanya, agar menolak semua tamu yang datang kalau ada yang mencari.
Kusiapkan pakaian untuk Mas Yuda saat ia membersihkan diri di kamar mandi. Aku terkejut saat ia memeluk dari belakang, meletakkan dagunya pada bahu, dan bergelayut manja. Kurasakan hembusan napasnya menyentuh telinga. Hal yang sering dilakukan ketika sedang menggodaku.
"l love you, sayangku. Temanin aku istirahat, ya!" ucapnya merapatkan pelukan. Satu kecupan mendarat di pipiku. Aku mengangguk.
Kadang aku berpikir, kenapa kekesalan itu selalu saja muncul. Bahkan ketika perlakuan Mas Yuda begitu manis. Sakit itu sulit sirna, padahal sudah setahun lamanya. Hati sangat enggan untuk melupakan. Betul kata Buya Hamka, perempuan selalu saja mengingat kekejaman kecil yang dilakukan oleh orang lain terhadapnya, tapi mereka lupa, kekejaman yang telah ia lakukan untuk orang lain.
Aku merebahkan diri di samping Mas Yuda. Menatapnya lekat yang sedang tertidur pulas. Dengkuran halus terdengar seiring dada yang bergerak naik turun secara teratur.
"Maafkan aku, Mas Yuda. Aku memang egois," gumamku mengelus pipinya.
Manusia memang tidak pernah tau, takdir apa yang telah Tuhan siapkan. Ingatanku kembali mengiring ke beberapa tahun silam. Saat pertama kali aku dan Mas Yuda bertemu setelah lulus kuliah.
***
"Jelita …." Terdengar suara yang memanggil begitu asing di telinga.
Aku menghapus bulir bening dari kedua mataku, mendongak ke arah pria yang memanggil.
"Jelita, kan?" tambahnya.
Aku mengernyitkan kening. Mencoba mengingat siapa orang yang berdiri di hadapan.
"Aku Yuda … Yuda Wiryawan. Mahasiswa angkatan 2014, Universitas Balikpapan.
Mataku berbinar. "Oh, iya. Aku ingat sekarang …," ucapku menyunggingkan senyum.
"Siapa yang sakit?" tanya Mas Yuda kemudian.
"Anakku, Mas," jawabku sambil menatap Nazira dalam gendongan.
Mas Yuda duduk di sampingku setelah menyerahkan resep ke petugas apotek. Cukup lama kami bercakap-cakap, hingga nama Nazira dipanggil untuk mengambil obat. Dari obrolan kami, kutahu kalau ternyata dia seorang duda. Entah apa penyebabnya, aku enggan untuk bertanya lebih jauh.
Aku berpamitan setelah menerima obat dari apotek. Mas Yuda menawari tumpangan untuk kami. Awalnya aku menolak, tapi dia sedikit membujuk. Akhirnya kuterima tawarannya. Lumayan, bisa menghemat biaya ongkos taksi.
"Jelita … maaf, jika aku lancang. Saat seperti ini, seharusnya kamu tak sendirian. Suamimu harusnya mengantar kalian."
Mataku terjerembab, kepeluk Nazira kedalam dekapan. Tertunduk diam. Mencoba mengatur napas sebelum menjawab pertanyaan dari Mas Yuda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengukir Takdir
General FictionJelita. Wanita single parent yang terpaksa menikah dengan seorang pengusaha, Raden Yuda Wiryawan. Berkali-kali gagal merajut kasih dengan suami keduanya karena berbagai teror. Hatinya seolah mati terkubur bersama cinta pertamanya. Berdamai dengan p...