Chapter 03 (Charlie Setya Darga)

54 6 0
                                    

"Aku mencintaimu, Mira."

Tiga kata yang sampai saat ini masih menjadi misteri bagi Mira setelah pertemuannya dengan lelaki yang ditemui di depan club malam beberapa jam lalu.

Sebuah kasur berukuran sedang pun belum ia jamah hanya karena terbayang-bayang ucapan seseorang. Tak habis pikir, kenapa pria itu tahu namanya padahal ia sendiri tak mengenalnya. Hampir tiga jam otak Mira masih menelisik tentang sosok yang ia temui, namun tetap saja dia tidak ada dalam kamus orang yang dikenalnya.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi yang berarti sebentar lagi subuh akan berkumandang. Namun sampai saat ini, mata indah Mira tak mau terpejam sebelum perasaannya tenang.

Lelaki itu telah membuat jiwa penasarannya berlipat. Kejadian yang menurutnya sedikit janggal terjadi di malam pertamanya di Jakarta. Bagaimana hari-hari berikutnya? Apakah akan sesial hari ini juga?
Ah, lupakan saja.

Dipandanginya koper yang masih tergeletak di lantai. Dengan meninggalkan rasa yang tak tenang, ia menyusun pakaiannya pada lemari jati di samping tempat pembaringan.

Setelah semua selesai segera Mira menuju kamar mandi minimalis yang berada di dalam kamarnya untuk sekedar mandi dan berwudhu. Kemudian ia menunaikan salat dengan khidmat tak lupa doa-doa ia lambungkan.

***


Ada yang berbeda pada pagi ini. Bibi Mira telah selesai membuat sarapan untuk dirinya dan juga keluarga. Biasanya di kampung, Mira lah yang mengambil alih urusan dapur dan diurusnya seorang. Jika Ibunya hendak membantu, justru Mira menggiringnya menuju meja makan dan berpesan, "duduklah, biarkan calon pengantin ini yang melakukan semua."

Kalimat itu mungkin akan jarang ia ucapkan lagi selama ia tak melihat Ibunya di kota.

Tak Mira sangka, bahwa keluarganya begitu menjaga bahkan saat jauh dari pandang mata. Buktinya sedari tadi ia tak diperbolehkan untuk membantu membereskan rumah walau sekedar mencucikan piring setelah sarapan.

Seusai acara makan pagi selesai, Mira hanya bisa terduduk di sofa sembari menonton televisi. Ia sedikit kecewa pergi ke Jakarta persis diperlakukan seperti tamu. Ia merasa tak enak hati harus berpangku tangan terus.

Fajar--Paman sekaligus pemilik rumah hanya bisa mengerutkan dahi melihat tingkah keponakannya. Ia ingat, betapa cerianya Mira kecil yang ditemuinya dulu sebelum menetap di kota besar. Saat itu usianya baru menginjak 8 tahun di mana masa-masa kekanakannya masih sangat kental. Dan yang paling mengharukan saat ia dan keluarga hendak pergi ke Jakarta, Mira menangis sesenggukan merengek untuk ikut serta.

"Paman Jar!" Seorang gadis cilik berlari membelah kerumunan manusia sembari mengusap pipi gempalnya yang terus dibasahi air mata.

"Paman, Mira ikut Paman pergi. Mira gak mau sendirian, Mira gak mau di sini nanti siapa yang bakalan ngajarin Mira ngaji kalau Paman pergi, hiks," ucap Mira sembari memeluk erat tubuh Pamannya.

"Mira boleh ikutkan, Paman? Boleh, ya?"

"Mira sayang, maafin Pamanmu ini, ya. Paman harus pergi sekarang kamu baik-baik di sini jangan main terus sampai lupa pulang. Kasihan Ibumu harus nyariin."

"Gak mau, Paman! Mira pengin ikut, hiks, hiks." Dengan masih menangis gadis itu duduk selonjoran sambil menghentak-hentakkan kakinya naik turun di atas tanah.

Gemas melihat kelakuan itu, orang yang disapa Paman mengangkat tubuh Mira lalu ditaruh dalam gendongannya.

"Mira, dengerin Paman ya! Mira itu perempuan, gak boleh nangis masa Mira cengeng nanti sama dong kayak temen-temenmu. Perempuan harus kuat. Biar gak mudah dimainin laki-laki. Paman cuma pergi sebentar, pasti Paman pulang lagi ke sini buat nemenin Mira ngaji lagi. Nanti Paman bawain cokelat sama permen yang banyak kalau Mira udah lancar ngajinya. Gimana?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku Mencintaimu, RapunzelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang