Entah gimana caranya Rahma dengan mudah berhasil keluar dari kawasan Pesantren. Dan entah keberanian darimana ia melangkah keluar Pesantren padahal tau, hukuman apa yang akan ia dapat jikalau nanti ketauan.
Biarlah, biarkan Rahma punya kahayang. Kata orang sunda mah.
"Duh ojek mana ya ojek?" Rahma ngos-ngosan akibat berlari terlalu rusuh. Gimana ngga rusuh, lari menggunakan pakaian serba panjang, kain kerudung yang selalu beterbangan menutupi wajahnya. Ribet deh pokoknya.
Karena merasa lelah iapun singgah sebentar di pondok kecil pinggir jalan. Sambil menikmati pemandangan bangunan rumah yang berjejer tidak rapi di bawah kaki Gunung Geulis. Jalan raya pun tampak ramai bagai tidak pernah mati oleh lalu lalang kendaraan.
Seketika Rahma ingat. Bahwa ini bukan kali pertamanya berada di Jatinangor. Maksudnya, ia sudah tidak asing dengan daerah sini. Karena rumah neneknya tidak jauh dari sini. Tepatnya di Majalaya.
Ingin rasanya ia kabur dan menemui neneknya disana. Mengingat bahwa ibunya sangat nurut dengan ucapan neneknya Rahma, dan neneknya sangat menyayangi dirinya sehingga tentunya akan mengikuti jalan pikiran Rahma.
Tapi.. mengingat apa yang terjadi beberapa bulan lalu membuat Rahma bergidik dan mengurungkan niat itu. Kejadian dimana Rahma melihat dengan mata kepalanya sendiri saudaranya dibacok dengan clurit oleh sekelompok begal ketika mereka pulang dari Pasar Malam.
Memang pada saat itu sedang rawan begal disana. Salah mereka karena melawan ucapan orang tua yang telah melarang untuk pergi ke Pasar Malam menggunakan motor.
Beruntungnya, saat begal tengah mengarahkan clurit pada saudaranya, Rahma berhasil menendang motor si begal hingga jatuh beruntun dengan motor begal lainnya di belakang. Namun rupanya ujung clurit begal berhasil mengenai kepala belakang dekat telinga saudaranya Rahma. Membuat dirinya harus operasi penanaman bahan lain pada bagian belakang kepalanya, sedikit pada telinganya juga. Karena itu, saudaranya gagal seleksi AKPOL.
Karena itulah ia sedikit trauma ketika melewati jalan menuju sana lagi.
Sudah cukup istirahatnya, kini Rahma harus memutar otak agar dia dapat sampai ke Jatos tanpa harus berlelah-lelah jalan sejauh 3 km. Dilihat-lihat pun tidak ada kendaraan bermotor yang tampak seperti ojek lewat jalan ini.
"Geus atuh terima heula nu ieu da keudeung. Eta tah di jatos." Ucap salah seorang mengagetkan Rahma.
Rupanya suara itu berasal dari belakang Pondok tempat istirahat Rahma. Di belakang sana memang terdapat rumah besar kosong yang kini dipakai untuk garasi mobil pick up.
"Baturan aing rèk ngangkut ka Kopo jam sapuluh. Bisi telat, èra geus nga-dp." Ucap salah satunya dengan logat sunda kental.
"Heug atuh da keudeung ka Jatos mah. Tah ka apartment Bollywood."
"Pinewood kèhèd! Bollywood wèh pikiran tèh!" Geplakan lap melayang ke ia yang berkaos putih lusuh dan celana pendek jeans yang di lututnya sudah berlubang.
"Oh ganti ngaran?"
"Ti baheula ge Pinewood! Geus ah lieur ngobrol jeung manèh mah. Hayu berangkat wè!"
Ia pun berjalan ke bangku kemudi. Dan satunya ke bangku sebelahnya.
Bukan Rahma kalau tidak memiliki ide gila. Dia lari dengan cepat dan sembunyi-sembunyi menaiki belakang mobil pick up itu.
Bruk!
Badan Rahma terpentok kerasnya badan mobil akibat terlalu rusuh. Gimana ngga rusuh, mobil sudau maju perlahan namun kaki Rahma masih menjadikan ban sebagai naikannya ke mobil itu.
Bunyi gebrakan itu membuat si sopir menghentikan mobilnya. Beruntung ada sarung mobil untuk menutupi badan Rahma dari pengelihatan mereka.
"Alah siah èta naon?" Ucap Ucup. Dia yang memakai kaos putih lusuh itu.
Saat si pengemudi hendak turun dan memeriksa, ia ditahan oleh Ucup. "Ulah. Keun wè. Ceuk sopir lain gè di dieu mah sok loba gangguan ku makhluk teu kasat mata."
Akibat keduanya memang penakut. Akhirnya niat untuk memeriksa pun diurungkan.
Beruntungnya Rahma.