R£D SHOES

29 10 3
                                    

Red Shoes
.
.
.
.
.

Mary mencoba menghilangkan kebosanannya dengan pergi ke perpustakaan, gadis kecil itu mulai mencari buku fairy tale dari penulis kenamaan dunia.

Sedikit berjinjit, akhirnya Mary mendapatkan buku yang ia cari, little girl and the red shoes. Mary pun mengambil buku itu dan mencari tempat yang nyaman untuk membaca. Disudut bookshelves tua ia pilih.

Gadis kecil itu tersenyum, ia melihat ke arah kakinya yang dibalut sepatu merah cerah mengkilap ditambah kaos kaki putih berenda yang ia kenakan, tampak cantik. Judul buku ini juga sama seperti dirinya

"Sedang apa kau disini, Mary?" Ucap kakek Andy tiba-tiba sedikit membuat Mary terkejut.

"Aku ingin membaca buku ini, pasti isi buku ini bagus. Sama seperti sepatu merah punyaku kek. Ini sepatu pemberian ayah. Ayah membelinya saat ia pergi ke Denmark. Sepatu bagus, disini mana ada."  Ujar Mary dengan bangga.

"Kakek punya kisah jauh lebih menarik dari buku ini, mau dengar?"

Mary mengerutkan dahinya, kakek Andy adalah storyteller yang hebat. Ceritanya hampir tak pernah membuat orang bosan.

"Baiklah, kek. Aku mau dengar".

.
.
.
.

Tak bisa berhenti berdansa...
Tidak bisa...
Berhenti...
Berdansa...

Drew terus saja berdansa tanpa henti sejak pagi tadi hingga menjelang siang ini. Dengan sepatu merah mengkilapnya, Drew berdansa dan terus berdansa. Tapi tenanglah, ini bukan cerita Red Shoes yang penulis fairy tale kenamaan HC Andersen ceritakan. Yang sang tokoh utama tidak bisa berhenti berdansa karena ulah sepatu merahnya, kutukan. Tapi ini kisah Drew, seorang gadis remaja miskin yang menginginkan sepatu baru untuk pesta dansanya.

Darimana sepatu merah tersebut Drew dapat? Mencuri? Ia bukan Robin Hood. Atau menjual kacang ajaib untuk membeli sepatu itu? Ia juga bukan Jack. Drew mendapatkan sepatu merah mengkilap itu dari ayahnya.

.
.

Dengan perasaan senang dan bangga, Drew memasuki ballroom yang luas. Berbalut dress merah dan memakai pita untuk mengikat rambut pirangnya yang panjang. Drew mulai berdansa, tak menghiraukan yang lain, ia paling menonjol sekarang.

Beberapa saat kemudian, lomba dansa pun dimulai.

Melihat sepatu dan penampilan peserta lain yang nampak biasa saja membuat Drew semakin percaya diri. Semakin lama, tarian para peserta semakin bagus. Drew tetap pada posisinya, berdiri angkuh dan yakin ia yang akan menang.

Namun tubuhnya tiba tiba tersentak ketika melihat seorang peserta memakai sepatu merah mengkilap persis yang ia pakai. Drew semakin jengkel tatkala peserta yang memakai sepatu yang sama dengannya menari jauh lebih baik dari dirinya, lebih indah.

Drew menatap sinis peserta itu. Ia mulai kesal, kenapa ada orang yang sama dengannya. Ia pikir selama ini hanya ia yang bisa berdansa dengan lebih indah, berpenampilan lebih menarik terutama dengan sepatu merah nya yang mencolok. Drew pun lebih memilih pulang karena semua audiens disana sudah terpusat kepada gadis peserta itu. Drew pulang dengan wajah kesal. Tak tahan ingin merengek kepada ayahnya.
.
.
.

"Ini tidak adil, ku pikir  ayah memberikan sepatu untuk membuatku lebih cantik dan menonjol dari yang lain". Ucap Drew marah.

" Ayah hanya ingin membuat mu senang". Ucap ayah Drew sambil terus memotong batang kayu dengan kampaknya.

Drew cemberut kesal, dibukanya sepatu merah itu dan ingin dibuangnya.

"Ayah memotong kayu eek semaleman  lalu menjualnya untuk bisa membeli sepatu itu".

Drew hanya diam. Ayahnya yang sudah tua tidak bisa mengerti keinginannya.

"Tapi aku ingin terlihat lebih, ayah. Ku pikir hanya aku yang pandai berdansa disini, ku pikir hanya aku yang mempunyai sepatu merah ini. Kenapa ada orang lain yang lebih dari ku?" Ucap Drew masih dengan intonasi marahnya.

Ayah Drew membulatkan matanya, tak pernah disangkanya bahwa anaknya bisa tumbuh menjadi orang yang sombong, menganggap dirinya lebih dari yang lain.

"Jika sepatu merah itu yang membuat dirimu sombong, maka buanglah". Ucap ayah Drew sambil tersenyum. Tak apa jerih payahnya untuk membeli sepatu itu sia sia asal anak kesayangannya tidak berubah menjadi angkuh.

Drew kembali melihat sepatu merah mengkilapnya, kemudian ia melihat ayahnya yang masih terus memotong kayu dengan peluh yang membanjiri. Dadanya menghangat. Ayahnya tak pernah mengajarkan Drew untuk menjadi sombong.

"Dasar sepatu sialan". Hardik Drew

Ayah berdehem keras, tanda ia tak suka dengan ucapan anaknya. Drew hanya bisa menyengir kecil.

"Aku minta maaf, ayah. Terima kasih telah membelikan aku sepatu merah indah ini. Aku akan menjaganya sebagaimana aku menjaga hati ku dari perasaan sombong".

Ayah Drew tersenyum kemudian memeluk anaknya dengan hangat.

.
.
.
.
.

"Selesai". Ucal kakek Andy.

Mary berdehem kecil, merasa tersindir. Gadis kecil itu mulai paham kenapa kakek Andy bercertlita tentang hal ini.

"Aku pernah sombong". Ucap Mary sedih.
"Kakek juga. Jangan kita ulangi lagi ya". Ucap kakek singkat sambil tersenyum.

Mary ikut tersenyum dan memeluk kakek tercintanya.

Ada banyak orang yang lebih hebat darinya yang mempunyai sepatu merah yang lebih bagus dari sepatunya dan Mary mensyukuri itu.

Nursery Rhyme (Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang