I. If We Lose, We Lose Together

739 65 37
                                    

---6 Tahun Lalu, San Francisco

"Ketika mendinginkan larutan tembaga sulfat yang dipanaskan, proses apa yang terjadi?"

"Kristalisasi?"

"Re-kristalisasi."

Mendengar suaranya pada potongan 're', aku mendesah.

"Aku menyerah." Kepalaku jatuh di atas buku Kimia Fisika yang tidak lezat untuk dipandang, namun ketika mengintip lalu mendapati dengus diiringi senyumnya, aku yakin pipiku bersemu.

"Ini hanya sedikit materi pemisahan, Chuuya," sungguh kebiasaan menimpa kepalaku dengan buku catatan itu harus dikurangi. "Kau menyerah pada materi mudah seperti ini? Aku tidak mengerti kenapa kau mau masuk sekolah sains."

"Aku tidak pintar jenius sepertimu, Dazai."

"Karena itulah aku jadi kerepotan mengajarimu disini."

Andai saja bisa menjawab jujur, aku akan dengan senang hati mengatakan 'karena kau bilang akan masuk sini, aku juga ingin ikut denganmu' namun tidak bisa.

Dazai Osamu adalah cinta pertamaku sejak kelas dua SMP hingga sekarang kami duduk di bangku SMA. Sejujurnya aku tidak suka sains. Lebih baik menekuni minat mempelajari musik dibanding menghitung berat mol dan kecepatan benda jatuh, tidak masuk akal dan sangat tidak menarik.

Tapi aku begitu suka pada Dazai sampai punya tekad bodoh menyimpang dari minat lalu mempelajari hal memuakkan. Mati-matian belajar selama musim panas dan musim dingin, lalu dengan banyak sekali keberuntungan bisa masuk ke kolom deret siswa yang diterima di sekolah yang sama dengan Dazai Osamu.

Tepat ketika aku mendapat kesempatan bersama dengan dia, sebelum aku mengatakan suka, itu adalah patah hati pertamaku.

Ternyata usaha mati-matian pagi siang malam selama empat musim tidak cukup ketika tahu kalau ternyata motivasi Dazai masuk ke sekolah ini adalah seorang guru kenalannya. Usaha konyolku terasa lebih konyol lagi karena mengejar seseorang yang mengejar orang lain, bukan?

Kepalaku menoleh ke arah pintu kelas yang dibuka. Oda Sakunosuke, guru yang disukai Dazai, muncul.

"Dazai, kau sibuk? Oh, Nakahara juga di sini." Respon Dazai selalu cepat ketika pria itu bertanya, sementara aku hanya bisa memaksa otot wajah untuk tersenyum. Benar-benar kesal dan marah. Baik waktu itu maupun sekarang, tidak ada tempat istimewa untuk namaku di hati Dazai. Aku tahu, semesta tidak bisa berhenti membuat senyum yang tertuju pada orang selain diriku.

"Aku butuh bantuan di lab fisika modern. Nakahara, kalau kau tidak sibuk kau bisa bantu aku."

"Maaf, aku harus belajar kimia fisika untuk ulangan hari senin." Aku mengangkat buku tebal itu berusaha meyakinkan penderitaan akan kebodohanku.

"Oh,, baiklah semangat kalau begitu. Ayo Dazai."

"Aku datang, Odasaku."

Kemudian, seperti biasa, tanpa berpamitan bahkan melirik, Dazai pergi dan meninggalkanku terpuruk bersama buku kimia fisika menyebalkan ini. Aku dengar mereka teman sejak kecil yang berbeda enam tahun. Jarak yang tidak masuk akal, tapi begitulah adanya. Mereka saling mengenal lebih lama dibanding aku yang kenal Dazai di SMP. Dari poin itu saja aku sudah kalah saing.

"Aaahh......"

Aku menghela napas kuat-kuat ketika langkah mereka tak lagi terdengar. Andaikan saja perasaan itu hanya sebuah tulisan di kertas hitam, aku ingin punya kemampuan menghapus sakit hati, menghapus perasanku pada Dazai, atau sekaligus merobek kertas itu lalu membakarnya tanpa sisa. Apapun asal bisa terlepas dari posisi cinta sepihak.

Dust FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang