Epilogue: Whatever It Takes.

952 65 19
                                    

Demi seluruh ingatan pahit yang mengguncang mental, Chuuya memutar tubuh dan melarikan diri— namun Dazai lebih cepat meraih tangannya.

"Tunggu."

"Lepaskan." Karena menarik paksa, sebuah jejak kemerahan membekas di pergelangan Chuuya. Sekuat itulah tekat pemuda itu ingin bertemu, dan sekuat itu pula tekat Chuuya untuk tidak bertemu.

Tidak menunggu dikejar dan tidak berpikir mengunci gerbang, Chuuya masuk ke rumah. Tentu teman-temannya heran karena Chuuya yang pergi dengan tawa kurang dari semenit lalu kembali dengan raut ketakutan. Atsushi adalah yang pertama berinisiatif untuk mendekat dan bertanya.

"Tidak. Aku hanya merasa udaranya terlalu dingin." Senyuman Chuuya dipaksakan, semua orang tau karena pemuda itu selalu buruk menyembunyikan emosi.

"Nakahara-san?"

"Aku pusing. Kalian bersenang-senanglah, sisanya serahkan pada Yuzu."

Pesta usai dengan buruk tidak seperti bagaimana itu dimulai. Mereka tidak bisa lupa pada  sosok Chuuya yang tadi menaiki tangga. Mereka semua melihatnya, bingung karenanya, tapi terlalu segan untuk ikut serta dalam lingkaran kecanggungan. Berakhir dengan menghabiskan waktu diisi keheningan dan sebuah hiburan garing.

Chuuya selalu disukai. Dia pekerja keras, tanggung jawab, jujur, menyayangi rekannya, dan manis. Mereka menyukai Chuuya tanpa tahu bagaimana rapuh dan pembohongnya dia.

Orang-orang pergi setelah memeluk Yuzu, selaku anak perempuan Bibi Chuuya yang diberi tanggung jawab membereskan semuanya.

Pukul sebelas malam, Yuzu mengetuk kamar Chuuya. Wajah manis gadis itu tidak bisa menutupi ekspresi terkejut —melihat Chuuya bergemul dalam selimut— setelah membuka pintu tanpa izin. Terlebih jawaban dengan suara sedingin angin musim semi yang keluar penuh paksaan, "Sudah berakhir?

"Ya, aku mau pulang." Yuzu menjawab kaku. Selama setahun berteman, bertahun-tahun menjadi sepupu tanpa kontak, mungkin wajar jika ada satu dua sisi Nakahara Chuuya yang tidak ia tahu. Namun wajah menyedihkan yang timbul dalam satu menit serta aura ingin menghilang karena telah mengecewakan diri sendiri, Yuzu tidak pernah menebak kalau Chuuya bisa seperti itu.

"Apa ada lagi?" Yuzu terhentak karena suara rendah kembali menyapa.

"Um.. Ya." Sejujurnya ia tidak ingin mengatakan, tapi ia merasa harus. "Orang yang tadi masih menunggu di depan gerbang."

Tidak ada respon dari Chuuya. Kegelapan tetap menggambarkan siluetnya duduk menerawang di sana.

"Aku sudah memintanya pulang, tapi dia tidak mau sebelum berbicara denganmu."

Chuuya sudah menduga kalau orang itu pasti akan keras kepala dan tetap dengan niatnya. Tapi Chuuya juga tidak ingin menjadi pihak yang harus mengalah —sekali lagi— setelah apa yang membuatnya terluka dan berdarah di masa lalu.

"Biarkan saja." Chuuya menyesal karena Yuzu hanya 'meminta' dan bukan mengusir dengan panggilan sembilan satu satu. "Hati-hati di jalan, Yuzu."

Raut prihatin adalah yang terakhir Yuzu tampilkan sebelum mengucap sampai jumpa dan menutup pintu kamar.

Chuuya kembali dalam renungan. Kenapa pria itu, Dazai Osamu, bisa ada di sini. Chuuya sengaja memilih tinggal di Osaka karena dia tidak pernah membicarakan tentang kampung halaman bibinya pada Dazai. Dazai seharusnya tidak bisa menemukan dia di sini. Terlebih, Chuuya tidak pernah membayangkan Dazai akan mencarinya.

Udara dingin menyusup dari ventilasi memaksa Chuuya menghidupkan penghangat mencemari kesedihan yang membekukan. Kembali ke kasur, hatinya terketuk melihat ke luar jendela kaca dari sibakan sejumput tirai kelabu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dust FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang