Kadang aku masih tidak mempercayai cerita-cerita dari bibir keriput dan suara yang mulai terbata-bata dari nenekku. Sekarang usianya sekitar tujuh puluh tahun atau mungkin kini telah delapan puluh tahun. Ia tidak pernah tahu kapan ia dilahirkan, “Waktu itu tahun berapa saja nenek tidak tahu” jawabnya ketika aku mulai bertanya berapa umurnya sekarang. Yang ia tahu ketika ia masih kecilpun di sekelilingnya sudah terdapat banyak Londo dan tentunya waktu itu adalah masa penjajahan.
Sejak kecil ia dan kelima saudaranya sudah yatim piatu. Orang tuanya meninggal ketika nenek berumur sekitar lima tahun akibat tidak kuat menghadapi wabah penyakit panas dan kelaparan pada masa itu. Seorang kakaknya pun menyusul meninggal dalam kasus yang sama. Akhirnya nenekku hidup bersama kakak perempuan sulung, seorang adik lelaki dan adik perempuan bungsu. Di sanalah kisah pilunya dimulai.
***
“Lihat teman-teman yang sudah tidak bernyawa itu bukan hal baru lagi bagi nenek. Kadang mereka mati karena makan apa saja yang ada di depan mata. Rebus ulat pohon di batok kelapa….” Ceritanya terputus karena nenek mulai terisak, aku tahu walaupun itu berpuluh tahun yang lalu, tapi bukanlah hal mudah untuk melupakannya begitu saja. Aku menenangkan nenek dan mengatakan bahwa ceritanya tidak perlu dilanjut lebih jauh lagi. Tapi nenek menggeleng dan kembali tersenyum.
“Kadang daun-daun apa saja yang ada di depan mata, yang kiranya bisa mengganjal perut ya diambil. Wajar banyak teman-teman nenek yang mati keracunan.” Sambungnya sambil mengunyah daun sirih di mulut. Sepertinya kegiatan itu adalah hal yang sangat ia sukai padahal menurutku baunya saja sudah tidak enak, tapi sudahlah yang penting nenek bisa bahagia. Aku terkekeh dalam hati.
“Terus dulu nenek pakai baju apa?” Tanyaku yang mulai penasaran.
“Dulu….. Pakaian nenek paling bagus. Mungkin satu kampung itu cuma nenek yang pakai baju itu.” Ia tersenyum lagi, matanya menerawang.
“Yang lain pakai baju karet. Bajunya berat, kalau tengah hari, bapak-bapak telanjang dada.” Ia terkekeh kini memperlihatkan giginya yang mulai rontok.
“Kenapa nek?”
“Bajunya kan karet, melar kalau dijemur, baju karet juga baunya busuk. Jadi lebih baik dilepas saja kan Sa?”
“Iya nek. Pertanyaan Salsa belum nenek jawab.” Aku memancungkan bibirku tanda kecewa, dan nenek selalu tertawa apabila aku berekspresi sejelek itu.
“Nenek waktu itu pakai baju dari karung terigu Sa.” Aku terhenyak, bayangan yang ada di kepalaku amat sangat jauh. “Paling bagus?” tanyaku masih tak percaya. Memastikan nenek hanya berusaha membuat lelucon saja.
“Iya. Waktu itu nenek naik ke Gunung Gede, cari apa saja yang ada di sana untuk ditukar ke Belana (Londo/Belanda). Nenek dapat pasir terus nenek angkut pakai bakul bambu, nah tiga bakul pasir baru nenek bisa punya baju karung. Sebelumnya baju nenek dari karet juga.” Mendengar pernyataan ini aku terdiam. Kepalaku dipenuhi banyak hal, aku tidak habis pikir sebegitu kejamnya kah penjajah memperlakukan bangsaku ini?
“Terus bagaimana nek dengan saudara-saudara nenek?”
“Mereka? Ya seperti itu. Nenek jarang bersama-sama mereka Sa. Apalagi kalau ada penyerangan tiba-tiba dan kita tidak sedang bersama-sama. Nenek biasanya cari dedak untuk ditukar dengan sesendok nasi. Kakak sulung nenek waktu itu mulai sakit-sakitan, walaupun suaminya tentara tetap tidak bisa melindungi kami berempat.” Ia terdiam lagi, kali ini tidak ada raut kebahagiaan di wajahnya. Senyumnya seolah direnggut oleh sesuatu dan tidak bisa kembali.
“Pernah suatu ketika…” lanjutnya “Nenek lagi cari dedak atau pasir di pinggir sungai, tiba-tiba orang teriak-teriak berhamburan mencari perlindungan. Peluru beterbangan dimana-mana, tank besar sudah mengepung desa, pesawat sudah jatuhkan banyak peluru dari langit. Nenek bingung…” ia menyeka air matanya dan memalingkan wajahnya dariku. Ia menangis dan aku tidak tahu harus berbuat apa.
“Nenek langsung ambil bakul pasirnya, lari-lari tanya ke orang yang lewat lihat Asih dan Ujang atau tidak. Waktu itu mereka baru tiga empat tahun. Tapi lengan nenek ditarik ibu-ibu, katanya kita harus segera berlindung.” Pada bagian ini aku tidak kuasa menahan bendunganku, aku terlarut dalam cerita nenek. Tidak sanggup rasanya memikirkan hal-hal itu.
Nenek menceritakan bahwa saat itu mereka bersembunyi di bawah jembatan besar dekat perkebunan teh. Entah berapa lama dan nenek mulai menangis memikirkan nasib kedua adik dan kakaknya yang sedang sakit parah. Di sana terdapat banyak warga-warga bahkan dari luar daerah. Tiba-tiba peluru besar melayang dengan cepat ke arah mereka, semua orang berpelukan dan menangis. Salah seorang kyai pun berdiri dan merapalkan sesuatu, atas kehendak_Nya peluru besar tadi pun tersangkut di rimbunan teh tepat di samping mereka. Sangat tidak masuk akal tapi begitulah yang terjadi.
Menjelang sore, penyerangan dadakan itu mulai tidak terdengar lagi. Orang-orang pun mulai keluar dari persembunyian masing-masing, ada yang dari kubangan air, di bawah jembatan, di dalam lubang tanah, dan lain-lain.
Hal pertama yang dilakukan nenek adalah menemui kakak sulungnya berharap ada dua adiknya di sana. Dan benar saja ada mereka, sedang berpelukan sambil menangis. Nenek menghampiri mereka dan saat itu hal tidak terduga pun terjadi.
Pintu rumah kakak sulungnya ini didobrak oleh tiga orang bertubuh besar dan kekar lengkap dengan senjata di tangan. Tampaknya mereka baru saja mengambil kelapa hijau di belakang rumah. Sontak mereka kaget dan ketakutan.
Kakak sulung nenek yang bernama Ningsih ini langsung bersimpuh di kaki si tentara tadi dan memberi isyarat kepada adik-adiknya untuk mengikuti.
“Tuan, maaf tuan” ucap kakak sulung nenek berbahasa Indonesia karena hanya ia yang mengerti.
“Good. Bagus.” Jawab salah seorang dari mereka sambil mengangguk-angguk.
“Kami lapar tuan. Kami sakit, mohon tuan bermurah hati.” Lanjutnya masih dengan bersimpuh. Ketiga tentara ini seperti berdiskusi dengan berbahasa Belanda dan sedikit bahasa Indonesia. Kemudian mereka keluar dan kembali dengan melempar sepotong roti berkururan paha orang dewasa serta tiga tablet obat.
“Terimakasih tuanku terima kasih” itu adalah makanan pertama mereka yang paling layak, hasil dari memohon-mohon di kaki si tentara. Mereka menghembuskan napas lega, sebab di bawah rumah tersebut merupakan basecamp tentara Indonesia yang berisi persenjataan lengkap. Seandainya tentara Londo itu tahu, mungkin aku tidak akan lahir ke dunia ini.
Akan tetapi pada hari itu juga kakak sulung nenek mulai berkeringat dingin, obatnya tidak bereaksi karena sudah terlalu terlambat. Dari mulutnya mengeluarkan busa hijau.
“Sekar, Ujang, Asih teteh teu kuat deui. Kudu kararuat nya. Maraneh kudu hirup. Teteh mah nitip salam weu ka akang lamun geus uwih ti perang.”
(“Sekar, Ujang, Asih kakak sudah tidak kuat lagi. Harus pada kuat ya. Kalian harus hidup. Teteh cuma titip salam saja untuk abang (suami teteh) kalau sudah pulang perang.”)
“Teteh ulah ninggalkeun Asih atuh.”
(Kakak jangan tinggalin Asih dong)
Semua menangis sedih terutama nenek, kini ia harus melindungi adik-adiknya seorang diri. Tapi ia tidak ingin melihat adik-adiknya semakin sedih. Ia pun menggendong Asih dan menuntun Ujang keluar.
***
Nenek tidak berhenti menangis, aku merasa sangat bersalah karena memintanya bercerita masa lalunya itu. Aku memeluk nenek, sepertinya ia merasakan penyesalanku dan akhirnya berkata “Nenek tidak keberatan bercerita ini ke kamu Salsa. Nenek bersyukur bisa hidup. Seandainya tidak, wasiat teteh (Ningsih) tidak terjalankan dong, mau lanjut lagi ceritanya?” kali ini ia menunjukan wajah cerianya di hadapanku. Aku mengangguk bahagia, nenek memang tidak pernah mengecawakanku.
Di usianya yang entah berapa ini, ia belum bungkuk juga tidak seperti para lansia pada umumnya. Rambutnya belum dipenuhi uban giginya pun baru tanggal satu di bagian depan. Hanya saja yang membuat ia terlihat seperti nenek sejati adalah badannya yang mulai mengurus dan kulit keriputnya yang seperti tidak menyatu lagi dengan daging-dagingnya. Tatapannya sayu, dan ia selalu berkata kepadaku bahwa ia sudah semakin dekat dengan kematiannya.
“Dulu, yang namanya makanan itu susah sekali dicari. Bukan tidak ada makanannya, tapi ya itu dijaga ketat. Petani-petani yang dipaksa tanam kadang bikin siasat, termasuk nenek juga. Karung untuk kacang-kacangan nenek lubangi bawahnya supaya bisa kita punguti. Tapi tidak jarang juga ketahuan.” Katanya sambil tersenyum yang entah karena apa.
“Kalau ketahuan kenapa nek?”
“Ya disiksa.” Jawabnya singkat, padat, dan jelas.
“Nenek paling tidak tega lihat Ujang sama Asih harus ikut ke sana kemari bantu nenek cari pasir, atau kayu bakar untuk ditukar nasi. Kadang nenek harus pura-pura kuat waktu terpaksa ngais (menggendong mengunakan jarik) si Asih.”
Pada bagian ini, aku merasakan otakku sangat penuh. Ingin rasanya aku mengambil nenek di masa lalu agar tidak perlu berjuang mati-matian pada masa itu. Lebih baik menghirup udara kemerdekaan sekarang ini, walaupun terdengar gila berakhir dengan aku pening memikirkannya.
Sepeninggalan Ningsih, nenek dan kedua adiknya secara paksa diangkat anak oleh seorang ibu berumur 40-an. Dengan iming-iming ia akan menjaga penuh Asih dan Ujang tidak akan membuat merak merengek minta sesuap nasi lagi. Nenek yang waktu itu tidak tahu arus berbuat apa hanya mengiyakan tanpa berpikir panjang. Ternyata seperti yang kuduga, ia adalah ibu tua bermuka dua. Nenek dipaksa menikah dengan seorang kakek yang merupakan orang kaya pada masa itu.
Ia tidak bisa berbuat apa-apa, mungkun usianya pada saat itu baru sekitar 11 tahun. Bahkan menstruasi pun nenek belum. Ketika ditanya oleh penghulu nenek dengan polosnya berkata “Ini saya disuruh apa ya?” dengan bahasa sunda halus kepada si penghulu. Ketika itu si ibu angkat langsung mencubit paha nenek dengan sangat keras.
“Sekar teh atos sabara kali heid?” (Asih, sudah berapa kali haid?)
“Teu acan” (Belum pernah), jawab nenek yang berusaha menyembunyikan ketakutannya akan apa yang sedang terjadi. Si ibu bermuka tua dengan kecepatan cahaya pun kembali mencubit nenek sambil membisikan “Atos tilu kali kitu. Awas! ” (Sudah tiga kali. Awas!) ancam si ibu.
“Eh, antos tilu kali pak.” (Eh, sudah tiga kali pak) jawab nenek kemudian yang disambut tatapan heran dari bapak penghulu. Aku meminta nenek menghentikan cerita itu. Karena aku tidak dapat membayangkan kelanjutannya, lagi-lagi kepala ini pening serasa ingin pecah saja.
Memang benar setelah nenek yang masih bocah kala itu menikah dengan kakek tua, kehidupannya dan kedua adiknya menjadi sedikit lebih baik. Akan tetapi ia harus mengorbankan masa kecilnya dan mengorbankan perasaannya. Ditambah lagi dengan rong-rongan si ibu angkat yang selalu meminta sebagian harta dari nenek dengan paksa. Ia selalu meminta balas jasa yang tentunya disertai ancaman yang tidak bisa ditolak oleh nenek yaitu menyerahkan kedua adiknya kepada Londo di daerah mereka. Nenek yang masih terlalu lugu dan polos bagai kerbau dicocok hidung.
***
Nenek menangis sesenggukan, ia menyayangkan adik bungsunya Asih yang bergabung ke dalam organisasi komunis pasca kemerdekaan. Ia harus menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri Asih menjadi pembangkang bahkan kepada dirinya. Ia harus tabah ketika suatu hari Asih datang kepadanya dengan silet dan obat nyamuk di tangan meminta harta nenek. nenek pun berontak, dan penolakan itu membuahkan luka sayatan di pipi nenek dan luka bakar di telapak tangan. Nenek berusaha menyadarkan adik kesayangannya itu, akan tetapi nasi sudah menjadi bubur.
“Semenjak itu nenek berpisah sama Asih, ia pergi ke Kalimantan mengikuti suaminya. Terakhir nenek mendengar kabar Asih sakit keras di sana….” Nenek tidak sanggup melanjutkan ceritanya dan ia meneguk teh tawar di samping kirinya.
“Asih sakit tiga bulan tidak bisa duduk. Kata tetangganya di sana, Asih selalu mengigau ingin pulang ke Jawa sambil memanggil-manggil nenek tanpa berhenti.” Iya benar, Asih meninggal dalam penyesalan. Dan nenek selalu merindukannya. Ujangpun demikian, ia menyusul Asih karena sakit demam parah yang dideritanya enam bulan kemudian.
Hanya nenek yang sampai sekarang bertahan dan beranak cucu. Tuhan sangat baik mengizinkan nenek melahirkan ibuku sehingga akupun dapat melihat dunia. Bagiku nenek adalah sosok malaikat yang kuharap jika ia beristirahat di sisi_Nya kelak dalam keadaan tenang dan bahagia.
“Salsa sayang banget sama nenek.” kupeluk nenek dengan erat.
“Wah ada maunya ini cucu nenek.” balasnya terkekeh dan kami tertawa bersama.
***
Sukabumi, 18 Juni 2018
Nenek menghembuskan napas terakhirnya dalam damai. Ia sempat memelukku erat semalam sebelum tidur kekalnya. Sosok yang selalu menikmati cahaya pagi di beranda rumah dan mengutuk senja yang terlalu cepat berlalu. Bukan tanpa alasan ia melakukan iu, katanya menyaksikan panorama itu adalah rutinitasnya bersama kedua adiknya dulu di atas gunung ketika lelah mencari kayu bakar di sana.
Aku tidak ingin berlarut-larut meratapi kepergian nenek kesayanganku ini. Ia sudah cukup lama menyaksikan peradaban di pulau ini dan sudah saatnya ia untuk beristirahat. Senyum tipis menghiasi jenazah nenek dan rautnya memancarkan kebahagiaan. Pagi ini aku tidak lagi mendapat sapaan hangatnya “Salsa, bangun temani nenek sarapan” Atau “Mau dengar cerita apa pagi ini Sa?” sambil mengacak-acak rambutku.
Ia meninggalkan wadah seureuh dan beribu kenangan di rumah mungil keluarga kami. Terkadang aku masih melihat sosoknya berdiri menyaksikan hiruk pikuk jalanan dari jendela kamarku. Terkadang juga aku masih mendengarnya menyanyikan lagu-lagu sunda di kursi beranda rumah kami.
“Rest in Peace nek. Sampaikan salamku pada keluarga kecilmu di sana.“
Salsa Natalia, cucumu yang cantik(Cerita ini dipungut dari beberapa kisah yang memang pernah terjadi dan tentunya dengan beberapa penyamaran 😂)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tua Bercerita
Historical FictionIa sempat memelukku erat semalam sebelum tidur kekalnya. Sosok yang selalu menikmati cahaya pagi di beranda rumah dan mengutuk senja yang terlalu cepat berlalu. Bukan tanpa alasan ia melakukan itu, ia ingin cintanya abadi dalam lambaian ang...