In drama version.
~
Hari ini, Shella menangis lagi.
Mata indah dengan genangan air di pelupuknya itu menatap sarapan pagi yang tersaji di hadapannya. Sarapan yang di hidangkan dengan sentuhan Fine Dining itu tidak disentuh, hanya ditatap dengan tangisan. Ethan, laki-laki yang baru 3 hari ini menjadi suami Shella, akhirnya menyadari istrinya hanya menangis di seberang meja.
"Kenapa kamu tidak makan? Seekor kucing mengambil lidahmu?" tanya Ethan dingin, tatapannya sudah berpindah dari menatap istrinya kembali pada makanan di depannya lalu ia lanjut makan.
Tangan lentik Shella meremas fabrik chiffon rok floralnya, berusaha meredam emosi di dadanya. Sungguh, beradaptasi cepat bukanlah bakatnya. Shella ingat, seminggu yang lalu ia hanyalah seorang karyawati biasa yang menghabiskan akhir pekannya dengan menonton drama Korea sambil memakan satu liter es krim. Dia tinggal bersama orang tuanya, yang lebih sayang kepada kakak laki-lakinya yang pengangguran dibanding dirinya yang menjadi tulang punggung keluarga. Meski kelihatannya tidak adil, tetapi Shella sudah berdamai dengan hal itu, yang terpenting baginya adalah dia masih memiliki keluarga.
Namun semuanya berputar 180 derajat ketika orang tuanya ternyata terlibat hutang besar dengan Ethan, seorang kaya yang memiliki perusahaan di New York. Dengan kejam, Ethan menagih sendiri hutang itu ke rumah Shella seperti tidak ada pekerjaan lain yang lebih penting dikerjakan. Lalu Shella yang kala itu baru saja bangun dengan masih mengenakan piyama anak ayamnya, harus dikagetkan dengan orang tuanya yang menawarkan Shella sebagai alat pembayar hutang.
Lebih gilanya lagi, Ethan menerima hal itu dan langsung menyiapkan pernikahan untuk dirinya dan Shella.
Semua terjadi begitu cepat seperti mimpi dalam satu malam. Belum sempat Shella mempelajari Ethan, Ethan tiba-tiba sudah menjadi suaminya. Lalu dirinya dibawa pergi dari rumah orang tuanya untuk tinggal di mansion mewah milik Ethan. Seketika ia menjadi seorang istri dari pria kaya berumur 25 tahun yang dia tidak kenal sebelumnya. Kehidupan Shella menjadi persis seperti impian gadis-gadis pemalas yang hanya ingin hidup mewah tanpa harus bekerja.
Tetapi untuk Shella, ternyata sulit menerima keadaan ini. Setiap hari dirinya masih berusaha berdamai dengan kehidupan barunya, terutama menghadapi sifat-sifat suaminya dan keadaan rumah baru yang mengejutkan.
Memang pernah mampir di telinga Shella kabar bahwa bukan hanya Ethan, tetapi seluruh keluarga Ethan pun orang kaya. Hal itu terbukti dengan mewahnya semua properti ini. Bahkan ketika Shella pertama kali tiba di mansion ini pun, lukisan besar Ethan dan kedua orang tuanya menyambut. Tetapi sampai detik ini, Shella belum pernah bertemu dengan mertuanya sekalipun.
"Jangankan kau, aku saja sepanjang umurku hanya pernah bertemu dengan mereka belasan kali." ucapnya getir, Ethan memicingkan matanya pada sarapan di depannya.
"Bahkan pernikahan kita saja mereka tidak datang, 'kan?" lanjutnya.
Shella mengusap mata dan pipinya yang basah sebelum mencoba menenangkan suaminya, "Ta-tapi orang tuamu sudah mengucapkan selamat pada kita via telefon. Mereka juga minta maaf tidak bisa datang karena sibuk, kamu ingat?"
"Tidak." bantah Ethan langsung.
"Mereka memang tidak pernah ada. Bahkan sejak aku baru mulai bisa berjalan, bicara, ulang tahun, lulus sekolah, atau apalah. Mau dari dulu sampai kapan pun juga, mereka tidak akan pernah punya waktu untukku. Entah apa yang menjadi prioritas hidupnya... yang pasti aku tidak pernah berada di pikiran mereka"
Shella menatap Ethan sedih. Mendengar kata-kata pahitnya pun membuatnya simpati pada Ethan. Sedari kecil hidup di rumah sebesar ini, tidak kenal siapa orang tuanya, hanya hidup dengan pekerja-pekerja rumah yang terlalu takut untuk berteman dengan tuan muda rumahnya, pasti membuat Ethan sebetulnya sangat kesepian.
