Kuisioner Bunuh Diri

197 21 2
                                    

Aku menyayangkan cerahnya siang hari ini. Langit biru itu sia-sia. Ceria yang biasa dinantikan orang-orang saat melihat langit cerah, tidak sampai padsku. Aku justru berharap jika cuaca saat ini sedikit mendung agar senada dengan perasaanku saat ini.

Aku melewati gedung putih dengan tulisan Rumah Sakit yang besar. Kulihat dari salah satu dari jendela-jendela kecil disana, ada seorang yang dirawat menatap langit yang sama. Matanya menerawang seperti mendambakan posisiku sekarang.

Aku pun sama. Aku berharap kami bisa bertukar posisi saja.

Memar biru di pipiku berdenyut lagi. Rasanya nyeri sekali. Padahal mama hanya memukulku di pipi, tapi rasa sakitnya menembus sampai hatiku. Rasanya aku hancur berkeping-keping.

Kuingat seseorang pernah berkata jika lidah manusia bisa menorehkan luka yang lebih parah daripada pisau. Aku menyesal saat itu hanya mengganggapnya sebagai bualan, sampai aku benar-benar mengalaminya. Kata-kata itu memang benar.

"Mama benci sama kamu!"

"Mama menyesal punya anak seperti kamu!!"

Suaranya terus menggema begitu nyaring dalam kepalaku dan setiap itu terulang, hatiku semakin sakit. Kakiku sampai berhenti karena sesak di dadaku yang tidak bisa lagi kutahan. Air mataku sudah menetes langsung ke tanah karena kepalaku yang menunduk. Lalu saat sakitnua sedikit berkurang, aku melanjutkan langkahku cepat menuju tempat sepi.

Dalam pikiranku bergemuruh banyak sekali protesku terhadap kehidupan ini. Aku pun, jika bisa memilih, tidak akan mau lahir dari rahimnya. Aku tidak akan pernah mau menjadi beban hidupnya. Memangnya siapa yang meminta dia menjadi ibuku? Kenapa dengan gampangnya menyalahkanku setelah dia yang tidak benar kehidupannya? Lebih baik aku tidak lahir selamanya dan tidak menyusahkan siapa-siapa.

Aku menunduk di tengah ramainya orang berlalu-lalang. Tanganku gemetar meremuk dalam kepalan. Tetesan air masih terus jatuh dari mataku dan mengalir ke ujung hidungku dan aku mulai mengutuki diriku lagi.

Sekuat tenaga kini aku berlari. Sungguh sebetulnya aku tidak ingin disini. Sebetulnya aku tidak ingin berada di mana pun. Tidak ingin bertemu siapa-siapa. Tetapi yang kuhadapi justru keramaian yang kubenci hingga aku menubruk orang satu persatu.

Aku berlari hingga menemukan sebuah tenda hitam di belokan sepi. Seingatku belokan ini adalah tempat yang biasa terjadi kejahatan. Perampokan, pemerkosaan, bahkan saat masuk ke belokan ini pun aku masih bisa melihat bayangan diriku sendiri saat diganggu oleh kakak kelasku. Tetapi aku tidak peduli lagi. Jika hal buruk akan terjadi lagi padaku sekarang di tempat ini, maka terjadilah yang paling buruk sekalian! Sampai merenggut nyawaku pun tak apa!

Tapi sayang, gang kumuh ini sepi. Tak ada siapa-siapa. Malah, yang menyambutku justru sebuah tenda lusuh.

Aku menatap curiga pada tenda itu. Sebelumnya tidak ada benda itu. Siapa juga yang ingin berjualan di tempay sepi seperti ini? Tetapi tanpa pikir panjang aku menghampirinya.

Penasaran? Tidak.

Aku hanya tahu, apa pun yang kulakukan sekarang, tidak akan membawaku pada keadaan yang lebih baik. Maka dari itu, lebih baik buruk saja sekalian.

Tenda itu tanpa penjaga. Pintu masuknya hanya dua lembar kain tebal kotor yang membuatku tidak bisa mengintip ke dalamnya jika tidak masuk dulu. Mataku memicing kesal. Tanpa pikir panjang aku menyerbu masuk. Kusibakkan kain penutup tenda itu dan aku sedikit kecewa menemukan apa yang ada di dalam.

Sebuah meja dan kursi menyambutku. Tanpa ada seseorang di dalamnya. Di atas meja itu ada beberapa lembar kertas dan alat tulis. Aku mendekat agar bisa lebih mudah membaca tulisan di halaman pertama kertas itu. Lalu aku tersadar kertas apa itu.

SproutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang