3 | Rona Kemerahan

160 18 43
                                    

   Pertemuan perdana Park Jimin dan Mama membuatku semakin di landa perasaan tak menentu sebab mama tak menyuarakan apapun lagi selain berkata, 'jangan dekat-dekat dengannya'.

Kupikir ini semacam gertakkan agar aku mengerti kalau Mama sudah tak lagi harus memberikan wejangan-wejangan kepada setiap lelaki yang kerap kali bertandang ke rumah untuk menemuiku.

"Ujiannya di mulai kapan?" Mama bersuara saat aku tengah melahap roti ke dalam mulut.

"Masih 2 minggu lagi." Menyahut dengan suara kelewat kecil, mengundang atensi Ayah untuk menatapku di depan sana.

Anggukan kepala Mama membuat debaran jantungku perlahan kembali normal. Kalau saja hidupku tidak selalu mendebarkan kalau menyangkut perihal nilai dan belajar, aku yakin akan kusukai seluruh mata pelajaran di kertas ujian. Sayangnya aku tidak begitu.

Otakku tidak benar-benar bisa di bilang pintar. Mama, Ayah dan Kakak yang kerap kali mendorongku untuk mendapat nilai sempurna. Mereka itu penuntut penuh atas nilai-nilai akademikku. Memberi empat kali waktu untuk belajar dalam sehari, membatasi penggunaan ponsel, dan melarang menemui kalangan laki-laki di sekolah.

Apa gunanya semua itu?

Toh, aku tidak akan menikahi semua angka-angka konyol itu saat lulus nanti.

Kerap kali semua ini membuatku tertekan, namun jelas tak semua bisa kuberitahu pada dunia bahwa aku lelah. Yang ada semesta menggunjingku lalu aku kalah. Tidak seharusnya aku menyerah, tidak ada saatnya hal itu akan terjadi.

"Nanti biar kakakmu yang mengajari," ujar Mama seraya mencuci piring terakhir. "kemarin nilaimu hampir mendekati sempurna, tingkatkan lagi." Apa yang kurang dari nilai 97? Namun menepis rasa kesalku, lantas aku hanya mengangguk lesu seraya melenggang pergi memakai sepatu seusai melahap habis potongan roti.

"Jangan pulang dengan lelaki itu .. siapa namanya .." Tubuhnya berputar dengan jari menjentik seraya mengingat. "Ah, Park Jimin. Jangan pulang lagi dengannya!" suara mama menggema nyaring memenuhi seisi rumah. Mustahil aku tak mendengar, meski aku berharap tak dapat mendengarnya. Hal itu membuatku enggan bersuara dan menelan ludah kasar.

Mengikat tali terakhir, kemudian beranjak berdiri dan membuka pintu. "Ma, Yah, Sean pergi!"


**

Di lorong kelas, aku mendapati Jung Hoseok menggandeng seorang gadis sambil bertatapan mesra di dekat UKS. Tidak ada malunya. Lorong bahkan mulai di penuhi kawanan murid yang lalu lalang menatap jijik pada mereka. Aku mendelik memerhatikan tingkah lelaki itu yang semakin hari menjadi playboy cap kuda.

Aku pernah curi dengar dari beberapa gadis yang berhasil kepincut pesona Jung Hoseok kalau lelaki itu mendekatinya tanpa ragu sampai mengajak kencan, kemudian tak lama meninggalkan tanpa jejak. Sehari berlalu, mereka bilang Hoseok menggandeng gadis lain. Kemudian penutup percakapan mereka tak lain adalah umpatan kasar yang melayang untuk Jung Hoseok.

"Hei, kuda liar! Jangan pacaran di sini, kau tak malu seisi sekolah menonton tingkah kalian? Sekolah itu bukan kontes adu tatap mata." kataku sembari melewati mereka tanpa mengindahkan gerutuan Hoseok. Belum melangkah jauh aku bersuara agak keras, "Aku memperingatkanmu, Jung Hoseok!"

Gadis di hadapan Hoseok seolah baru menyadari kalau mereka berdua memang menjadi perhatian murid lainnya.

Berakhir meniup poni dengan seringai puas, menggerakan tumit untuk menjauh dari sana sebab tidak tertarik berurusan dengan Hoseok. Lelaki itu seringkali membuatku kesal dengan tingkahnya yang semakin menjadi dan tak terkendali melihat gadis bening. Hoseok tak henti berkata, 'gadis itu berkilauan'.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 18, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BOYFRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang