Bab 2: Pelarian Alex

29 2 0
                                    

Di saat surga yang seharusnya mampu memberikan ketenangan kepada penghuninya, tiba-tiba menjadi neraka yang mengerikan. Sekali pun surga itu masih menawarkan fasilitas-fasilitas mewah.

Mariana menatap jam dinding di dapurnya. Ia sedikit terkejut ketika mendapati jarum panjang berada di angka enam. Ternyata sudah 30 menit lebih dirinya memanggang bolu. Wanita itu segera memakai sarung tangan anti panas dan bergegas mengeluarkan tiga loyang bolu dari oven. Dia takut jika telat mengangkat, bolu buatannya bisa gosong. Begitu keluar, aroma bolu-bolu itu menyerbak memenuhi dapur. Rika yang berada di ruang pun langsung menuju dapur ketika hidungnya mencium aroma wangi yang begitu khas. Benar-benar sudah menembus lambungnya untuk segera mencicipi bolu tersebut.
"Hmm... Aromanya harum,Tante! Menggoda Rika untuk memakannya." ujar Rika yang baru saja tiba di dapur.
Mariana tersenyum di balik cadar mendengar ucapan Rika yang seperti menggoda. Dia mengeluarkan bolu-bolu itu dari loyang. Lalu, memotongnya menjadi beberapa bagian kecil. Rika mencomot satu bolu di atas piring. Aura wajahnya berbeda saat bolu tersebut berhasil membius mulutnya. Tekstur bolu yang lembut dipadu dengan manisnya coklat membuat Rika ketagihan. Ia pun mencomot satu lagi, kemudian melahapnya dengan nikmat.
"Baru pertama ini aku makan bolu seenak buatan ibu dulu. Tante tahu nggak? Rasanya itu lembuuut banget. Pas masuk mulut ya, seolah-olah aku serasa terhipnotis. Benar-benar top deh!" puji Rika sembari mengacungkan jempol tangan.
Mariana yang mendengarnya hanya tertawa kecil sembari memasukkan potongan bolu tersebut ke dalam beberapa kotak berukuran sedang. Setiap pack berisi 15 biji.
"Bisa saja kamu, Rik. Mana ada bolu yang kayak gitu?"
"Jelas ada lah,Tan! Buktinya, tadi aku sudah mencicipi."
"Hhhh... Sudah-sudah! Nanti tolong bantuin tante ya, membagikan bolu ini ke rumah-rumah tetangga!"
"Siap, Tacans..."
"Kok jadi Tacans, Rik?"
"Tante mah ketinggalan zaman. Tacans itu artinya tante cantik..!"
Lagi-lagi, Mariana dibuatnya tertawa. Dia menggelengkan kepala menghadapi sikap Rika yang tak bisa berubah.
"Dasar anak muda!" sindir Mariana. Rika hanya tertawa geli. Melihat Mariana tertawa membuat hatinya bahagia. Setiap di dekat Mariana, pikiran gadis itu selalu tertuju pada orang tuanya. Ia benar-benar rindu akan belaian mereka. Tak terasa sudah hampir sepuluh tahun mereka pergi. Sampai kapanpun Rika tak akan bisa melupakan mereka. Sampai kapanpun.

Tok! Tok! Tok!

Tiba-tiba, terdengar seseorang mengetuk pintu rumah. Mariana dan Rika saling melempar pandang. Kira-kira siapa yang bertamu? Untuk menjawabnya, Rika pun beranjak dari dapur menuju ruang tengah. Belum sampai di depan, ketukan itu kembali terdengar. Kali ini disertai ucapan salam. Di dengar dari segi suara, sepertinya suara orang laki-laki.
Rika mempercepat langkah. Begitu sampai di depan pintu, ia langsung memutar knopnya. Alangkah terkejutnya ia mendapati empat orang lelaki sudah berdiri di teras kontrakan. Di antara mereka, Rika hanya mengenal satu orang berpenampilan lebih mencolok dan bersahaja. Salah satu diantaranya yang mengetahui keberadaan Rika langsung mendekat. Sebelum orang bertubuh tinggi tersebut angkat bicara, tiba-tiba suara Mariana menyeruak dari dalam.
"Siapa, Rik?"


***

Pemuda itu menyambar kunci motor di meja belajar. Kemudian, mengambil jacket kulit berwarna hitam di balik pintu kamar dan langsung memakainya. Dengan langkah tergesa-gesa ia pergi keluar rumah. Cepat-cepat ia menyalakan motor besar miliknya, lalu segera melesat meninggalkan rumah besar itu.
Ia terus memacu motornya dengan kecepatan tinggi, tak peduli banyaknya kendaraan yang memadati jalan raya. Beberapa kendaraan yang jauh lebih besar darinya ia lewati dengan ganas. Sedari tadi wajahnya merah padam. Semburat amarah terlukis di sana. Dalam tubuhnya sedang berlangsung perang dingin antara hati dan pikiran. Salahkah jika ia mencari kebahagiaan lain ketika semua sudah tidak bisa didapatkan dari surganya? Bukankah semua orang juga berhak untuk bahagia, mewujudkan kehidupan seperti keinginan masing-masing?
Pemuda itu sadar betul kalau apa yang tengah dilakukannya seperti adegan-adegan drama. Seorang anak remaja yang pergi dalam keadaan emosi untuk mencari pelarian karena masalah keluarga yang tak kunjung habis. Terlihat sangat pasaran bukan? Tentu kalian sudah bisa menebak bagaimana endingnya. Tapi, sekali lagi dia menyangkal jika apa yang ia alami bukan fiksi. Semua murni berupa kejadian. Di saat surga yang seharusnya mampu memberikan ketenangan kepada penghuninya, tiba-tiba menjadi neraka yang mengerikan. Sekali pun surga itu masih menawarkan fasilitas-fasilitas mewah.
Sejak kecil, hidupnya sudah berlimpah materi. Semua yang ia inginkan selalu terwujud, tidak pernah tidak. Jauh di dasar hatinya, ia sangat mengharapkan kehadiran sosok orang tua yang selalu ada di sampingnya. Buat apa banyak harta jika orang-orang yang dia cintai tidak pernah di sampingnya? Lebih baik hidup sederhana, tetapi bersama orang-orang yang dicintai, pikirnya. Kedua orang tuanya adalah pekerja keras. Siang malam mereka gunakan untuk mencari uang, uang, dan uang. Seolah-olah di mata mereka harta adalah segalanya daripada keluarga.
Bila mengingat mereka membuat ia semakin geram. Ditambahnya kecepatan motor hingga tertera angka 100 km/jam di speedometernya. Berbagai cara sudah ia coba untuk mendapatkan perhatian orang tuanya. Mulai mengikuti balapan liar, bolos sekolah, hingga clubing malam. Semua sudah pernah ia coba. Mungkin ia akan dimarahi, diceramahi panjang lebar apabila sang ayah menangkap basah dirinya sering pulang malam ataupun karena mendapat surat panggilan dari sekolah. Dan, itu pun tak lama. Hanya saat itu saja. Setelahnya, dilepas lagi. Padahal jauh di lubuk hatinya, ia sangat ingin memiliki tempat berbagi ketika berada dalam masalah. Dia ingin kedua orang tuanya mengerti isi hatinya dan mampu menjadi orang pertama yang tahu tentang perkembangannya. Nyatanya, semua itu tak lebih dari khayalan belaka. Sekarang ia lebih memilih surga keduanya sebagai tempat pelarian ketika masalah menghantamnya. Dunia Malam, neraka dunia yang menjelma surga dimatanya.
Motor berwarna merah miliknya berhenti tepat di depan sebuah bar. Bar itu adalah bar terbesar di kota ini. Sudah hampir 2 tahun ia sering berkunjung ke sini bersama teman-temannya walaupun sekedar untuk bersantai. Setelah memarkir motor, ia berjalan memasuki tempat itu. Suara musik berdentum dengan keras menyambut kedatangannya. Di tempat ini, semua orang bersenang-senang menghabiskan suasana malam. Secara fisik tidak pernah tergambar aura sedih di setiap pengunjung. Justru dengan berada di sini mereka mampu melupakan kesedihan yang melanda. Termasuk lupa akan dunia yang fana ini.
Pemuda itu berjalan menuju segerombol remaja yang tenggelam dengan dunia mereka. Mereka tampak menari-nari di atas kursi mengikuti irama lagu. Setelah bergabung, ia menarik kursi yang masih kosong dan duduk di sana.
"Wajah lo kenapa, Lex? Kayak benang kusut aja" timpal pemuda bernama Reno. Sontak, mereka yang ada di sana tertawa terbahak-bahak.
Alex masih bungkam, tidak menggubris candaan teman-temannya. Ia menuang wishky ke dalam gelas kosong di depannya, kemudian meneguknya hingga tandas. Hal itu ia ulang hingga empat kali. Membuat teman-temannya menggelengkan kepala.
"Kenapa, lu? Masalah lagi?" tanya Niko, pemuda yang duduk di sampingnya. Kini semua perhatian terpusat ke arah Alex yang menyandarkan punggungnya ke kursi.
"Dulu kami udah sering ingetin lo, tapi lo nggak pernah mau mendengarkan. Mulut lo mengiyakan. Kenyataannya nggak pernah lo perhatiin! Sekarang lo sendiri kan yang nyesel?" ucap Reno.
" Setiap orang memiliki jalan hidupnya sendiri, Lex. Lo mau ambil jalan kayak kita-kita gini atau jalan lo sendiri, itu hak lo. Kita nggak pernah maksa lo buat ngikutin bajingan seperti kita. Bagaimana pun juga lo yang akan ngejalani, Lex!" kini Niko ikut bersuara. Sedangkan ketiga temannya memilih diam, enggan ikut campur dalam urusan ini.
"Gu-gue, nggak tahu. Semua masih abu-abu, Nik. Kebahagiaan gue ada disini, bersama kalian. Karena kalian, gue mampu mengenal apa itu kasih sayang yang selama ini nggak pernah gue rasain. Tapi di sisi lain, hati gue selalu berontak ketika gue melakukan semua ini. Gue bingung, Nik. Gue bingung!" Resah Alex. Dia meremas rambutnya geram. Lalu, menjatuhkan kepalanya di atas meja. Reno yang melihatnya menjadi prihatin. Ia pun mendekati Alex dan merangkul pundaknya.
"Kita ini kotor! Kebahagiaan yang kita miliki bukanlah kebahagiaan sesungguhnya. Kita bisa bersatu kayak gini karena latar belakang kita sama. Kita ini aib, Lex! Aib! Keluarga kita belum tentu mau menerima kita lagi. Berbeda dengan lo. Dulu lo datang ke kami karena lo tersesat nggak tahu jalan pulang. Dan, sekarang? Lo udah nemuin apa yang lo cari. Jika itu yang terbaik buat lo, ambil aja!u Keburu lo tambah nyesel"
Alex tetap dalam posisi diamnya. Dia tidak bisa berkata lagi. Seakan ada sesuatu yang mengunci mulutnya rapat-rapat. Dalam diamnya Alex berpikir, merenungkan perkataan teman-temannya. Memang benar apa yang dikatakan Niko dan Reno. Dia harus pandai-pandai memilih antara mengorbankan persahabatan yang sudah memberikan semua ini atau keluarga yang tak pernah peduli dengannya? Sekali lagi, keputusan berada di tangan Alex. Bagaimana pun juga dia yang akan menjalani, bukan Niko atau Reno, apalagi teman-temannya.

The Black Veil Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang