Prolog

59 5 0
                                    


“Aleeex” teriaknya histeris.
Wanita itu mematung di tempat dengan air muka ketakutan. Tatapannya lurus menatap sosok pemuda yang kini terkapar di lantai. Kecamuk hatinya berubah tak beraturan. Detak jantungnya memacu lebih cepat. Rasa takut, cemas, berkolaborasi menjadi sebuah gelombang yang terus mengombang-ambing hatinya. Dia sangat takut jika terjadi sesuatu dengan anak itu. Berbagai pikiran negatif yang mungkin akan terjadi terus bermunculan menghantui. Apakah benar dia harus kembali menerima kenyataan jika sang anak juga ikut pergi  menyusul sang suami? Meninggalkannya sendirian dalam kesedihan yang tak kunjung habis? Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Selama ini dia sudah cukup menderita.  Dan,  ia tidak ingin penderitaannya semakin menjadi karena kepergian anak itu.
Sedikit lemas kakinya mulai melangkah, terseok-seok menghampiri sang anak. Tubuhnya tumbang berada di depan seonggok daging yang entah masih bernyawa atau tidak. Tiba-tiba, hujan dari matanya menetes. Mengalir pelan hingga beberapa bulir airnya jatuh di pipi sang anak. Dia mengusap lembut wajah yang penuh dengan lebam kebiru-biruan. Kemudian tangannya meraih telapak tangan itu, lalu menggenggamnya erat. Caranya menatap saja sangat tidak terima. Sirat kesedihan terpancar jelas di matanya. Akhirnya, ia menempelkan telinganya ke dada sang anak. Tepat di atas posisi jantung. Selain itu, tangannya juga meraba pergelangan tangan anaknya untuk mencari urat nadi yang bersembunyi di balik kulit kuning langsat.
Satu detik, dua detik, tiga detik.
Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan pergerakan pada dada maupun denyut urat nadi. Semua sistem organ di dalam tampak berhenti. Keningnya mengerut. Masih tidak percaya dengan hasil yang diperoleh, dia pun mendekatkan jari tangannya ke hidung sang anak. Disaat yang sama hatinya mendadak hancur ketika sudah tidak lagi mendapati embusan napas yang keluar.  Gerimis yang turun mendadak deras tak terkendali. Apa yang dia takutkan sudah terjadi. Faktanya anak itu memang sudah tidak hidup. Dia sudah pergi selama-lamanya .
Tangisan wanita itu semakin menjadi. Ia menggoncangkan tubuh sang anak seraya berharap jika tubuh itu bisa bergerak kembali. Tapi nyatanya, memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia hanya wanita biasa. Sama sekali tidak memilki kuasa untuk mengembalikan setiap nyawa yang sudah mati.
“Alex… bangun, Nak! Ini Ibu… Jangan tinggalin Ibu, Lex….”
Dia terus merintih, seolah menentang takdir Tuhan yang sudah terjadi. Suaranya terdengar serak karena bersatu dengan isakan tangis. Semua sudah terlambat. Tidak ada yang bisa dikembalikan. Tidak bisa memutar ulang waktu, lalu merubah rangkaian kejadian yang akan terjadi. Semua mutlak ketentuan Tuhan. Seharusnya wanita itu menyadari jika sikapnya yang seperti itu sama saja membuat Tuhan semakin marah padanya.

The Black Veil Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang