"Apa yang sebenarnya kau ingin, Dira?"
............
Washington DC, Taman Kota, 08.45
Gadis berambut hitam tebal itu menggenggam balon berwarna-warni ditangannya. Tersirat ukiran khas wanita Jawa pada wajahnya nan ayu. Ia tertawa begitu lepas ke arahku. Aku selalu menyukai tawanya itu. Tawanya lepas dan tidak mengandung unsur kejaiman yang biasanya wanita lain lakukan jika berhadapan denganku.
Dira, dia gadis yang berbeda.
"Untuk apa kau beli balon-balon ini?" Tanyaku saat ia sudah berada sekitar 10 cm dihadapanku
"Entah, aku hanya ingin membelinya"
Jawab Dira."Kau membeli sesuatu tanpa mengetahui untuk apa? Dira, apa kau sehat hari ini?" Aku menaikkan sebelah alisku untuk Dira. Namun Dira hanya membalasnya dengan senyum lembut khas miliknya
"Aran, coba kau lihat anak itu" Dira menoleh ke arah seorang anak penjual balon yang kini semua dagangannya ada ditangan Dira "Ia harus bekerja untuk mencari penghidupan. Aku pernah merasakan bagaimana ada di posisinya. Aku hanya ingin membantunya menjual balon-balon dagangannya dengan cara memborong semuanya" Jelas Dira padaku
"Jika kau ingin membantunya mengapa tak kau berikan saja uangmu padanya secara cuma-cuma. Jadi dia dapat uang dari kau dan dari hasil penjualan balon-balonnya itu. Dengan begitu ia akan mendapatkan penghasilan yang lebih, kan?"
"Tidak, Aran. Jika aku memberikan uangku secara cuma-cuma padanya itu sama saja aku tidak menghargai dia. Itu sama saja aku menganggap dia sebagai seorang pengemis. Padahal sudah jelas-jelas dia itu pengusaha balon keliling. Walaupun masih usaha kecil-kecilan, tapi ia sudah mampu menggerakkan perusahaannya sendiri. Toh, dia juga bisa saja menjadi pengemis, tapi ia lebih memilih untuk menjadi pengusaha balon keliling. Karena apa? Karena dia ingin menunjukkan pada dunia bahwa dia masih sanggup berdiri diatas kakinya sendiri tanpa mengharapkan rasa kasihan dari orang lain." Dira tersenyum ke arahku. Ah, senyuman itu...
Dira. Mengapa wanita keturunan Jawa ini selalu mampu membuka pandanganku terhadap dunia. Bahkan pada hal-hal sepele pun ia mampu menerjemahkannya dengan bahasa kalbu yang hanya dapat kudengar darinya. Setelah tertegun beberapa saat karena mendengar jawabannya, aku pun bertanya padanya,
"Lalu mau kau apakan balon-balonmu itu?"
"Entah, Aran. Aku bingung" jawab Dira dengan entengnya
Aku hanya menghela napas mendengar jawabannya. Gadis asal Indonesia ini memang benar-benar pandai membuatku bingung dengan isi kepalanya yang absturd itu. Sesekali ia dapat terlihat begitu cerdas dan bijak, namun di lain waktu, ia dapat bertingkah sebaliknya.
" Tolong kau pegang balon-balonku ini sebentar"
Dira merogoh isi ranselnya dan mengeluarkan sticky note berukuran sedang dan juga sebuah pulpen.
"Aku akan tulis beberapa harapan di kertas ini dan akan aku ikat pada balon-balon itu. Kau pun sama. Nanti setelah aku selesai menulis harapan-harapanku berikutnya giliranmu yang menulis harapan-harapanmu"
"Terserah kau, Dira"
Dira mulai menari-narikan pulpennya diatas sticky note miliknya. Dia menulis beberapa harapan yang ia bilang sebelumnya. Dari posisiku, aku bisa melihat apa saja harapan-harapan yang ia tulis disana. Dia menuliskan satu kalimat di setiap sticky notenya
Dira harap Ibu selalu bahagia.
Dia harap inu selalu sehat.
Dira harap Aran sehat dan bahagia.
Dira sayang ibu.
Dira sayang Aran.
Dira harap, ayah meninggal istri simpanannya itu.Degh... aku tak menyangka Dira akan menulis kalimat seperti itu di kertas terakhirnya
"Selesai. Nah, sekarang Aran"
Dira mengambil alih balon-balonnya dari genggamanku. Ia menyerahkan pulpen dan sticky note miliknya kepadaku. Akupun melakukan hal yang sama seperti Dira; menuliskan harapan-harapanku.
Aran harap Ayah selalu sehat dan bahagia.
Aran harap Ibu bahagia di syurga.
Aran harap Dira sehat dan bahagia.
Aran harap Aran dan Dira bisa bersama selamanya.
Aran harap Dira tidak insecure lagi.Dira melihat ke arah tulisan ku.
"Aishh... Harapan Aran yang terakhir kok begitu bunyinya?"
"Aminin aja, Ra. Semoga harapan-harapan ini bisa dikabulkan"
Dira hanya manggut-manggut entah pertanda dia mengerti apa maksudku atau hanya menuruti apa kataku, terserah dia dan isi kepalanya saja. Aku tidak mau ambil pusing.
"Aran, Aran yang ikatkan kertas-kertas ini ke tali balon ya, Dira ga bisa, Dira takut balon-balonnya terbang, hehe..."
Kebiasaan-_-
Batinku.Aku pun menuruti permintaan Dira. Setelah semuanya telah selesai, kami pun bersiap untuk menerbangkan balon-balon ini. Aku dan Dira berdiri dan bersama-sama menggenggam tali-tali balon milik Dira.
"Kamu siap, Ra?" Tanyaku
"Siap!" Jawab Dira dengan semangatMelihat Dira yang begitu bersemangat akupun mulai berhitung "Aku hitung ya, satu, dua..."
"TIGA!"
Aku dan Dira pun melepaskan balon-balon itu ke udara. Dira bertepuk tangan dan terlihat sangat bahagia dengan hal-hal sesederhana itu. Melihatnya tertawa lepas seperti itu, dimataku dia terlihat sangat cantik luar biasa. Wajahnya yang manis dan sikapnya yang lugu dan polos menambah daya tarik tersendiri padanya. Untuk gadis remaja berusia 17 tahun seperti dirinya, mungkin terlihat tidak mungkin. Dengan tubuhnya yang mungil dan wajahnya yang kekanak-kanakan membuatnya jauh lebih muda dari umurnya yang sekarang.
Jika gadis-gadis remaja disekelilingku menyibukkan diri mereka dengan bersolek-ria, lain halnya dengan Dira. Ia harus membantu ibunya yang merupakan seorang pedagang limbah besi tua. Acapkali Dira harus berurusan dengan teriknya matahari dan dan panasnya tungku api. Dia juga seringkali membantu ibunya untuk memanaskan besi agar bisa dicetak ulang. Walaupun ibunya mempunyai beberapa orang karyawan, Dira pun tak pernah sungkan dalam membantu bisnis ibunya dengan cara terjun langsung ke lapangan. Sejak ayahnya meninggalkannya, Dira benar-benar ditempa menjadi anak perempuan yang luar biasa hebatnya.
Namun, sayangnya, gadis sebaik Dira harus menjadi korban bullying sejak duduk di bangku sekolah dasar. Ia menjadi bahan olok-olokan teman-teman perempuannya yang lain karena warna kulitnya yang cenderung gelap. Ia juga seringkali menjadi bahan ejekan karena ayahnya menyelingkuhi ibunya.
Tak perlu heran mengapa khalayak umum mengetahui kabar perselingkuhan didalam keluarga Dira. Selama kau masih punya tetangga, selama itu pula hal yang semacam itu bukanlah hal yang tabuh.
Namun walaupun demikian, Dira tak pernah berputus asa dalam menjalani kehidupannya. Walau kadang ia sering merasa sedih, ya tapi bukankah itu hal yang wajar. Lagi pula perempuan mana yang tidak sakit hati setelah mendapatkan perlakuan seperti itu. Namun, itu tidak akan berlaku lama untuk seorang Dira. Ia akan bangkit setelahnya. Itulah yang membuatku kagum pada Dira. Ia tak pernah menyerah pada keadaan.
Dira, u deserve for all, babe.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

KAMU SEDANG MEMBACA
Theirs Beast, My Princess
General Fiction"Semua wanita itu cantik, Dira." aku berusaha meyakinkan Dira yang kepercayaan dirinya sebagai wanita kini mulai menciut (lagi). "Mungkin kau benar, Ran, tapi tidak denganku. Aku berbeda. Mereka menghujatku karena aku tidak cantik seperti mereka, h...