Aliya mengetuk dahinya ketika menyadari ia telah melakukan hal bodoh. Baru saja melakukannya dan tidak akan bisa berubah lagi seperti semula. Kecuali kalau ia mau kehilangan keduanya.
Aliya, ayolah apa yang kamu pikirkan. Kenapa kakimu malah melangkah kesini. Kenapa kamu masih mengharapkan Keanu, padahal kamu tau Keanu tidak ada disini. Kalaupun dia ada disini, di Kota Bandung. Kamu tidak boleh menemuinya, dia tidak boleh menemukanmu.
Aliya seperti ditelan keramaian. Sorak-sorai penonton di sekeliling arena pacuan kuda seperti tidak mempengaruhi kemana pikiran Aliya akan bergerak. Sama sekali ia tidak mengalihkan pikirannya terhadap Keanu. Padahal ia tidak melihat adanya Keanu disana, hanya merasakan atmosfer yang sama ketika ia bersama Keanu.
Aliya memasangkan earphone ke dalam daun telinganya menolak penuh suara bising itu mengetuk kedalam lamunannya. Pandangannya lurus, tidak tau kemana. Pandangannya tidak punya arah. Dan sekarang, bukan hanya pandangannya saja yang tidak punya arah. Tanpa Keanu Aliya akan selalu hilang arah, semua orang tau itu.
Cukupkanlah.......... Ikatanmu........
Kalau Aliya tidak pergi ke Bandung, mungkin ia masih bisa beradu kasih dengan Keanu. Mungkin ia masih menemani Keanu latihan berkuda setiap sore. Mungkin ia masih sangat mencintai Keanu dan dapat merasakan kalau Keanu juga mencintainya dengan sangat.
Relakanlah yang tak seharusnya untukmu....
Tapi apa boleh buat? Kalau tidak ada salah satu yang pergi, hubungannya dengan Keanu akan tumbuh menjadi hubungan yang kurang sehat. Bersama Keanu bukan jalan keluar untuk menghindari perpisahan. Mereka hanya akan menunda, memupuk kasih lebih lama lagi yang tentu perpisahan akan semakin sulit diterima.
Dua menit melodi itu ditemani dengan syair yang terus berulang-ulah seolah menjadi mantra kalau dunia tidak berputar untuk satu kepala saja. Ada yang harus menyerah, ada yang harus mengalah, ada pula yang harus putar balik arah.
"Memangnya makna lagunya bisa diterima ya kalau di tempat ramai seperti ini?" pemilik suara yang serak tapi tidak bergetar itu seperti memaksa Aliya untuk lebih mendengarnya.
Aliya menoleh, dan menyadari ada laki-laki memakai kemeja hitam longgar dengan lengan terlipat asal juga celana pendek bahan berwarna coklat susu. Ia juga mengenakan sepatu vans yang senada dengan warna bajunya. Aliya benar-benar memperhatikan seluruhnya.
Aliya terheran melihatnya, "Kamu?"
"Lagunya seperti mantra, tapi kenapa pertahanan hatimu lebih kuat dari mantranya?"
"Kamu....?" Aliya menjawabnya dengan pertanyaan.
"Dan sekarang kamu seperti memaksa semua orang untuk mendengar apa yang kamu dengar," laki-laki ini terus mengungkapkan opini nya."Sebentar, kamu itu.....?" Aliya menautkan kedua alisnya memotong kalimat laki-laki di sampingnya. Aliya manis sekali bahkan ketika dilihat dari dekat. Saya jadi menyesal kenapa belakangan ini harus melihatnya dari jauh, kalau melihatnya dari dekat saja seperti sudah mendapatkan oksigen di seluruh bumi.
Laki-laki itu menatap Aliya singkat lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain, "Oh..Iya saya Maheswara.. Yang mengganggumu di kedai tempo hari.. Dan mengganggumu hari ini."
Aliya tercekat ketika menyadari laki-laki yang sedang menghadapinya ini pernah ia temukan di Kedai Kopi Uda Bosje hari itu. Ia lantas mengangguk, "Oh.. Iya, Aku enggak ingat wajahmu."
"Kamu mau tau nama saya ga?" ia tersenyum ketika mendapati wajah Aliya yang bingung.
"Kalau enggak keberatan, ya beri tau saja," Aliya tersenyum canggung.
Ia mengulurkan tangannya, "Namaku Sakha,"
"Oh.. Halo Sakha," Aliya mengambil uluran tangan Sakha yang ia tidak tau, jantung Sakha bahkan sudah berdetak melebihi ritme.
KAMU SEDANG MEMBACA
adarma ; Mahar, Marah, Maheswara.
Teen FictionTuhan-nya satu. Cinta-nya beda. Enggak bisa kalau sama-sama terus. Enggak bisa kalau enggak ada yang mengalah.