bagian 1

71 17 20
                                    

Sungguh Bandung jadi kotanya jatuh cinta. Termasuk untuk Aliya. Rasanya setiap sudut di Kota Bandung mampu membuatnya sadar kalau ketenangan itu bisa didapatkan lewat keramaian. Bandung kan kotanya ramai sekali, banyak yang jatuh cinta, banyak yang beradu kasih, banyak yang merebut renjana.

Kini, Aliya sudah hendak menyebrang di persimpangan Jalan Braga. Dimana, malam minggu Braga bisa jadi salah satu objek yang didatangi kaula muda. Biasanya, mereka sekedar menongkrong di kedai kopi, restoran retro, kedai ice cream, atau bangku trotoar. Tapi Aliya tidak mau, ia tidak mau melewatkan sedikitpun sudut yang ada di sepanjang Jalan Braga. Aliya tidak mau hanya diam.

"Al, udahlah.. Kamu ini mau kemana lagi?" ucap Reino, teman kampus Aliya. Dari awal semester Reino sudah jadi ojek untuk Aliya. Reino menawarkan jasa keliling Bandung yang selalu Aliya pakai setiap malam minggu. Ia hanya minta segelas kopi sebagai bayaran. Ya hitung-hitung menghilangkan bosan.

"Sebentar, No.. Kita kan belum selesai," jawab Aliya tentu dengan senyum yang tak kunjung hilang.
"Selesai apa maksudmu?"
"Ya selesai berjalan,"
"Aliya," panggil Reino.
"Hm?"

Mereka terus berjalan. Reino sebenarnya sudah tidak kuat, tapi apa boleh buat. Bukan segelas kopi yang ia kejar, tapi objek pertemanan. Reino tidak suka menjadi musuh bagi siapapun. Ia ingin menjadi teman untuk semua orang.

"Kamu ini udah 3 minggu berturut-turut ke Braga, Al!" Reino gemas sendiri dengan Aliya.
"Ya...Dan?" jawab Aliya polos.
"Kemarin bahkan kita sudah melewati tiang lampu ini," Reino menunjuk tiang lampu jalan berwarna hijau itu.

Aliya menghela nafas, memberhentikan langkahnya dan melihat Reino gemas, "Ya terus maksudmu apa, Reino?"

"Ya maksudku, emang kamu enggak bosan?" jawab Reino berupa pertanyaan.
"Kan ini juga katamu,"
"Kata aku apalagi, Al?"
"Katamu Bandung itu kotanya jatuh cinta,"
"Terus?" tanya Reino dengan nada khasnya.
"Ya..aku belum jatuh cinta disini,"

Aliya mengerutkan bibirnya dan melihat ke arah bawah ketika menyadari Reino sudah memasang raut wajah marah, kesal, dan seperti ingin menerkam nya hidup-hidup.

"Jadi...?!" Reino memasang raut tak percaya.

"Jadi kamu mengajakku kesini cuma untuk menemani kamu mencari laki-laki yang bisa buat kamu jatuh cinta di Bandung, begitu?!" Reino membuat gerakan tangan seolah ingin mencakar Aliya, mencabik-cabiknya sampai habis.

"Ya, maaf.. Kata semua orang, laki-laki Bandung itu punya pesona sendiri. Kan aku jadi penasaran," jelas Aliya kelewat polos.
"Begini Aliya cintaku, sayangku, negaraku, bangsaku, tumpah darahku.." recok Reino.

Reino berusaha sebisa mungkin tersenyum dihadapan Aliya padahal kalau bukan tempat ramai mungkin ia sudah menoyor kepala Aliya, "Braga ini ramai sekali, Aliya. Kamu mau mencintai siapa disini?"

"Ya, enggak ada yang salah sama perkiraan, kan?"
"Ah sudahlah, ayo," Reino menarik tangan Aliya, ia memimpin jalan supaya Aliya tidak berjalan seenaknya lagi.

"Mau kemana, No?" ia kaget.
"Asal kamu tau menemani kamu itu, membosankan tau!"
"Ya terus kalau bosan kamu mau apa?" tanya nya lagi.
"Bayar upahku,"

Reino membawa Aliya masuk gang kecil yang dimana tidak jauh dari situ banyak motor terparkir, di depan warung kopi. Aliya melihat papan nama warung dari kayu berwarna putih dan ditulis dengan cat kayu berawarna coklat seadanya. Kedai bertuliskan "Kopi Uda Boesje".

Tidak terlalu besar, sederhana tanpa banyak celah, ramai tanpa suara, hangat tanpa jenuh. Itu yang bisa mendeskripsikan keadaan kedai kopi yang ada di hadapan Aliya sekarang.

"No? Ini enggak salah?" Aliya menahan tangan Reino.
Reino terhenti dan menoleh, "Kenapa emangnya?"
"Enggak apa-apa, sih.."

Aliya tersenyum, mendapati genggamannya kini sudah penuh oleh tangan Keanu. Keanu sering sekali membawa Aliya ke tempat seperti ini, ramai oleh anak laki-laki.

adarma ; Mahar, Marah, Maheswara.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang