bagian dua

7.7K 811 124
                                    

Rasa memuakkan timbul, jenuh berkepanjangan hingga kepalanya berdenyut lantaran lagi-lagi Jiyeon dihadapkan dengan teriakan akan pertengkaran kedua orangtuanya di ruang utama. Teriakan kasar, carut-marut yang dilontarkan dengan ringan, umpatan tanpa beban, menjadi suguhan yang harus Jiyeon terima. Perselisihan yang benar-benar tidak dapat dihindarkan.

Rahangnya bergemeletuk kasar, maka Jiyeon hanya mendesah tanpa perlu peduli. Membawa tungkainya bangkit dan bergerak menuju meja rias. Nyaris saja tangan itu menggapai earphone guna menyumpal pendengaran, namun satu kalimat yang menggelegar membuatnya mematung seketika.

"Kalau begitu kita bercerai saja!"

Bagaikan hantaman halilintar, menyambarnya dengan lancang, Jiyeon membeku. Dengan bibir yang menciptakan celah kecil dan napas terhenti. Tersendat-sendat, semakin dirundung kekesalan setengah mati yang membuatnya naik pitam. Sebab, kalimat yang sang ayah ucapkan dari luar membuat lidahnya kelu.

Ada hening yang menguasai, Jiyeon menduga jika semuanya telah usai sebelum ada lagi pertengkaran yang menyambangi. Rasa frustasi sudah mengerubungi, pun Jiyeon lekas merampas kasar earphone-nya. Menghidupkan musik dengan menyetel volume yang sudah penuh untuk di sumpalkan ke telinga. Mencoba untuk apatis.

Sebab, walau Jiyeon sudah menaruh afeksi atau bersikap peduli, mereka akan bersikap abai. Memang, pertengkaran kedua orangtuanya dirumah sudah hal biasa yang Jiyeon dengar setiap malamnya. Seakan menjadi lullaby penghantar tidur dengan mimpi-mimpi buruk yang tercipta. Membawa kenyataan pahit ke dalam sana.

Memang, Jiyeon sempat mendengar jika kedua orangtuanya menikah tanpa ada rasa cinta yang hadir dalam hati keduanya. Perjodohan yang sempat terjadi membuat mereka bersatu dalam ikatan pernikahan hingga melahirkan Jiyeon sebagai anak satu-satunya. Jiyeon terlahir tanpa cinta dari orangtua. Sebab, Jiyeon sudah menyadari semenjak ia berusia 14 tahun, kedua orangtuanya seakan membuat jarak dan tidak pernah terlihat bercengkrama sebagaimana mestinya. Ada pembatas tinggi yang membuat Jiyeon berada dalam titik ketidaknyamanan dan berdampak buruk untuknya.

Gelisah sendiri, saat keduanya sibuk diam dalam satu meja makan ketika menikmati sarapan pagi. Tidak ada konversasi penuh kehangatan seperti serial film animasi yang sering ia tonton.

Sayangnya, Jiyeon hanya merasakan kehampaan yang membawanya tumbuh dengan sikap keketusan. Jangan heran ketika Jiyeon bermulut kasar dengan orang-orang sekitar yang tanpa sengaja membuatnya dilanda kesal.

Cukup lama adu mulut terjadi. Kendati Jiyeon sudah menutup pendengarannya sedari tadi, masih ada suara samar dari mereka yang merasuki. Membuatnya jadi geram sendiri. Bernapas kian sulit.

Ini benar-benar memuakkan, sungguh.

Maka, Jiyeon memilih untuk memejamkan erat matanya hingga mengerut. Masih dengan rahang yang mengeras, dan kedua tangan yang saling mengepal. Bersiap meluncurkan kekesalan yang dipendam pada apapun yang terlihat.

Lima belas menit berikutnya, Jiyeon tidak mendengar apapun lagi. Memutuskan untuk membuka penglihatan adalah opsi yang ia lakukan. Dan seketika—

"BEDEBAH!"

Teriakan menggema meluncur lepas dari mulutnya yang bungkam.

Menggigit bibir bawah, lantas Jiyeon mengusak surainya hingga berantakan. Memutuskan untuk menggerakkan tungkai dengan langkah begitu besar, dan dalam satu sentakan membuka pintu kamarnya.

Adalah keheningan yang lekas menyapa, Jiyeon benar-benar tidak melihat presensi kedua orangtuanya. Seakan lenyap dalam satu tiupan angin.

Lekas ia menghela napas dengan memegang kening yang mendadak pening. "Pergi, ya," ungkapnya sambil terkekeh hambar.

Eleutheromania [M] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang