CHAPTER 1. MEMORIES

569 33 33
                                    

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Semilir angin masih terasa dingin membelai kulit. Cahaya matahari belum terlalu menyilaukan. Burung-burung terdengar berkicau sesekali menimpali bunyi dentingan pedang.

Beberapa kupu-kupu mengepakkan sayap warna-warninya, mencoba menyentuh bunga-bunga di sekitarku. Tanganku lincah memetik bunga-bunga alma sambil sesekali melirik ke arah kedua orang yang tampak tengah sengit berseteru.

Desau dedaunan mengalun lembut, sedikit bergoyang, memberitahuku sesuatu. Kepalaku mendongak dan menoleh ke arah dua orang yang masing-masing memegang pedang saling beradu.

"Paman Rylee! Bibi Amory! Ada tamu datang!" teriakku sambil bangkit membawa dua bakul penuh terisi bunga-bunga berwarna biru.

Mereka sontak menghentikan adu pedang. Amory berjalan lebih dulu menghampiri. Rambut panjang sedikit ikal pirang berkucir satu miliknya bergoyang seiring langkah yang mengentak. Mata hijau gadis berumur jauh lebih muda dariku itu berbinar menatap isi bakulku.

"Wah, sudah terisi penuh rupanya," ujarnya. "Kau membantu mengerjakan tugasku, terima kasih, Ellira!"

Aku mengangguk. "Sama-sama, Bibi."

Senyum cerianya seketika hilang. Ia menaruh kedua tangan ke pinggang. "Apa yang kukatakan soal panggilan itu? Aku tak mau terlihat lebih tua! Sebut namaku saja!"

"Itu bukan soal lebih tua atau muda, Amory," sela Rylee. "Ia memang diharuskan menghormati kita dengan panggilan itu. Ibu kita adalah bibi dari Clarabelle, mama Elirra. Ingat itu."

Rambut agak ikal cokelat pirang milik Rylee berayun ditiup angin. Mata cokelat pemuda itu menatapku lembut. "Kau yakin ada tamu yang datang?"

Aku mengangguk. "Yakin, Paman. Tanaman tak akan berbohong."

Rylee membungkuk meraih sebuah selongsong terbuat dari kulit yang tergeletak di dekatku, lalu memasukkan pedang di tangan ke dalamnya. Amory pun mengikuti gerakan pemuda berumur sebaya denganku itu.

Mereka kemudian melangkah santai menuju arah pulang seraya menenteng pedang terbungkus sarung masing-masing. Dengan dua bakul di tangan, aku pun ikut menyamakan langkah.

"Bre'a Rylee! Aku belum kalah darimu! Kita akan lanjutkan duel di lain waktu!" celetuk Amory tiba-tiba dengan suara cukup keras.

Rylee menyunggingkan senyum simpul. "Kau yang menang, Amory."

"Aku tak mau hanya karena aku adikmu, lalu kau mengalah padaku!" protesnya.

Pemuda itu mendesah. "Baiklah, lain kali, setuju? Jangan menangis atau mengadu pada Ayah bila kau kalah nanti."

"Tidak akan!"

"Kau melakukan itu saat dikalahkan Ellira, mengakulah," sahut Rylee sambil menahan tawa.

"Bre'a!" Bibir Amory cemberut.

Aku mengulum senyum melihat tingkah bibi kecilku. "Aku menang karena sedang beruntung saat itu."

Amory tersenyum lebar sambil memainkan alisnya ke arah Rylee. "Kau dengar? Ia sedang beruntung ketika mengalahkanku!"

Rylee menggeleng-gelengkan kepala tanpa menjawab. Langkahnya makin dipercepat. Aku bersama Amory mengikutinya dari belakang.

Mendekati rumah, mataku menangkap beberapa sosok tengah menunggu. Seekor hewan hitam keunguan bersayap lebar menarik perhatianku.

Aku segera berlari meninggalkan paman dan bibiku. Sesampainya di depan rumah Nenek Amelia, aku menjatuhkan dua bakul ke tanah, dan bergegas kembali lari menghampiri hewan yang kulihat. Ia memekik rendah sambil menggoyangkan ekor saat melihatku.

THE BATTLE OF ALVERNS (Aleronn Series 4)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang