Bab 3

25 7 0
                                    

"Sa! Bangun Sa!"

Di depanku, Naja-dengan wajah cemas, keringat nampak di kening dan pelipisnya-membangunkanku.

"Kenapa Sa? Sakit? Payah! Baru jalan sedikit udah pingsan!" Ucap Naja sambil mengambilkan air mineral dari carrier miliknya.

"Nih minum dulu" menyodorkan botol air mineral itu kepadaku.

"Kamu kenapa Sa? Kuat nggak naik ke atas?"

"Nggak tau. Tadi kepalaku pusing. Kuat kok Ja. Pusingnya udah hilang" jawabku sambil membenahi posisi dudukku.

"Beneran nih?"

"Iya. Udah ayo keburu gelap" ucapku meyakinkan Naja.
 
Kami melanjutkan perjalanan menuju Goa Ontobego. Matahari mulai condong ke arah barat. Mengisyaratkan ia hedak kembali bersembunyi. Makin sedikit penduduk yang terlihat lalu-lalang. Setengah jam kemudian kami sampai di pos pertama Goa Ontobego.

Di Benakku, Goa Ontobogo ini dikelilingi pepohonan besar dengan mulut goa dirambati lumut-lumut dan tumbuhan paku. Penuh kesan wingit nan angker. Namun nyatanya Goa Ontobogo berada disebuah celah bebatuan tak jauh dari pepohonan pinus. Rimbunan pohon pinus ini memberi kesan dingin nan asri. Terkadang bau dupa semerbak tercium disekitar pos ini. Karena memang banyak peziarah yang meletakkan dupa sebagai tanda penghormatan.

Di depan Goa Ontobogo terdapat sebuah pondok kayu untuk persistirahatan peziarah ataupun pendaki. Di dekatnya ada sebuah cungkup yang dibangun warga sekitar dengan patung Naga sebagai simbolnya. Cungkup berarsitektur jawa itu berdiri megah dengan altar berlantai keramik di sisi kirinya berukuran enam setengah meter. 
Sebelum meneliti sektiar Goa Ontobogo, Naja menceritakan asal mula tempat ini.

"Jadi Sa, nama goa ini diambil dari salah satu tokoh pewayangan kuno, Sang Hyang Antaboga alias Sang Nagasesa. Sang Hyang Antaboga ini berwujud ular naga dan dipercaya sebagai penguasa dasar bumi. Ia punya kemampuan menghidupkan orang mati yang kematiannya belum digariskan. Karena ia punya pusaka sakti yakni air suci Tirta Amerta" tegasnya sembari mengambil buku catatan lusuh miliknya.

"Nama Antaboga berarti Kelokan Tanpa Batas. Kata An berarti tidak, Anta berarti batas, dan Boga berarti kelokan. Jika disatukan menjadi Kelokan Tanpa Batas, atau bisa difahami dengan naga yang besarnya luar biasa" ucapnya lalu beranjak pergi mendekati Goa Ontobogo.

Saat Naja meneliti, beberapa kali ku perhatikan patung Naga yang ada di dalam cungkup. Entah kenapa setiap kali aku menatap patung itu, seketika pening menyerang kepalaku. Dan setiap kualihkan pandangan, pening itu hilang. Seperti seolah-olah patung itu menolak untuk kutatap. Setiap pening itu datang, aku selalu ingat suara yang memberiku bisikan di tengah jalan tadi. Siapa yang membisikkan hal itu? Apa mungkin Naja?

"Woy Sa! Ngelamun terus! Udah ayo lanjut" ucap Naja yang sudah muncul di sampingku.

"Udah selesai tugasmu?"

"Udah, ayo cepet keburu gelap" ucapnya sambil berjalan mendahuluiku.

***

Jalan menuju pos kedua ini cukup menguras tenaga. Walaupun tanjakan belum terlalu curam, namun jalan yang sedikit basah serta stabil menanjak naik memperberat langkah kami.

Beberapa kali Naja melihat kearahku-dengan wajahnya yang masam-untuk sekadar memastikan bahwa aku tak tumbang lagi. Hawa dingin tetiba menusuk kulit. Perlahan kabut tebal turun menyelimuti hutan ini. Seperti kapas yang diterpa tiupan angin. Kabut ini berhasil menyempitkan jarak pandang kami. Dan sukses mendinginkan suasana.

Beruntung kemudian kami tiba di pos kedua. Pos ini bernama Tampuono. Tempat ini lebih ramai dari pos pertama. Banyak pondok dan warung disini. Kami tiba disini menjelang petang.

Seorang lelaki bertubuh tegap mendatangi kami. Wajahnya oriental dengan kulit kuning langsat, matanya bulat , rambut pendek bertopi.

"Salam kenal mas, Surya dari Mojokerto" ujarnya sambil berjabat tangan denganku dan Naja.

"Kalau mau istirahat, gabung di pondokan kami aja, ayo saya antar" ajaknya sambil menunjukan jalan.

Karena kami hanya berdua, aku putuskan untuk bergabung dengan rombongan Surya. Lagipula Naja juga tidak keberatan. Surya membawa kami menuju pondok kayu bercat biru dibagian depannya. Pintu pondok ini berderit saat dibuka.

Di dalam pondok sudah ada tiga teman Surya. Yoga, Toni, dan Iwan. Mereka berempat adalah teman kuliah yang sudah sering mendaki puncak Arjuno. Di luar pondok ini ada bekas api unggun dengan arang yang sedikit menyala, sepertinya belum lama api itu padam. Pondok ini dikelilingi oleh pohon-pohon kecil berlumut. Dengan tanah yang cukup luas.

"Sa, kita nginap sini saja. Besok kita lanjut."

"Oke. Aku lihat-lihat dulu ya. Kamu ikut?"

"Nggak, aku mau istirahat" ucap Naja sambil membuka Sleeping Bag miliknya.

Begitulah Naja. Ia jarang tertarik dengan hal-hal yang tidak berhubungan dengan hidupnya. Sikapnya tak berubah sama sekali. Masih sama persis ketika pertama kali aku bertemu dengannya.

===============================

Selamat membaca teman-teman. Jangan lupa vote, comment dan share ya..

Jangan lupa menunggu bab Selanjutnya. Tidak kalah seru. Perjalanan Aksa & Naja baru saja dimulai. See you..

Info : Update setiap Selasa & Jumat. Setelah Maghrib.

Nendra Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang