Bab 4

14 3 0
                                    

Setelah meletakkan barang-barang, aku keluar pondok untuk melihat-lihat sekitar pos kedua ini. Gunung bukanlah tempat favorit yang sering kudatangi. Kalau bukan karena Naja, aku tidak mungkin menapakkan kaki di gunung. Hasrat ingin tahu Naja yang sangat tinggi sering membawaku dan Naja untuk mendaki Gunung. Sekadar menikmati perjalanan atau untuk tujuan tertentu seperti kali ini. Walau demikian, aku jadi suka mendatangi Gunung. Mereka punya kesan tersendiri, termasuk Gunung Arjuno kali ini. Walaupun aku masih berada di pos kedua, namun suasana dan pemandangan sudah sangat indah.

"Mas, pertama kali kesini?" Tanya Surya yang tiba-tiba muncul di depan Pondok.

"Iya mas, pertama kali lewat Tambak Watu. Ini mau lihat-lihat pos dua".

"Oh iya, ayo saya temani, biar tidak tersesat"

"Oke mas" aku mengikuti Surya yang berjalan mantap di depanku. Ia seperti sudah hafal dengan tempat ini. Dengan sigap kedua kakinya melangkah melewati jalur di pos ini.

Kami berjalan santai melewati jalanan yang ada di sekitar pos kedua hingga sampai di sebuah jalan yang terbuat dari semen. Di kanan kirinya dibangun taman-taman yang rapi dan bersih. Di ujung jalan ini terdapat sebuah petilasan bernama Petilasan Eyang Abiyasa. Surya bilang bahwa nama Abiyasa diambil dari tokoh pewayangan berwujud begawan yang sakti mandraguna. Petilasan ini terkesan hening dan tenang

"Disini sering dipakai ziarah dan semadi mas" tutur Surya sambil mengajakku ke tempat kedua. Tak jauh dari petilasan Eyang Abiyasa, terdapat sebuah sendang bernama Sendang Dewi Kunthi.

"Katanya kalau minum air sendang ini bisa memberikan keluhuran jiwa dan selalu ingat Hyang Kuasa loh mas" ucapnya sambil menatap sendang itu.

"Tapi saya nggak pernah coba sih" timpalnya sambil tersenyum ringan. Walau baru beberapa saat mengenal Surya, aku sudah bisa menyesuaikan diri dengannya. Surya adalah orang yang ramah, tak heran banyak orang yang mudah dekat dengannya.

Tempat terakhir yang ditunjukan Surya adalah sebuah Petilasan yang terletak di depan sebuah warung yang bernama petilasan Eyang Sekutrem. Petilasan ini memiliki wujud yang cukup berbeda dengan Petilasan Eyang Abiyasa.

Petilasan ini dinaungi pepohonan besar yang membuatnya terkesan wingit dan angker. Petilasan ini dibangun dari beton berukuran dua setengah kali dua meter. Dengan lantai dan dinding berlapis marmer. Di dalamnya terdapat sebuah arca dari batuan andesit setinggi tujuh puluh sentimeter. Aku meminta izin pada Surya untuk memasuki petilasan itu. Kemudian Surya masuk kedalam warung untuk menungguku.

Setiap kali pandanganku jatuh ke arah petilasan Eyang Abiyasa, perasaan yang aneh muncul membuatku tidak nyaman. Namun rasanya ada sesuatu yang menarik batinku untuk masuk ke dalamnya. Kendati hatiku ragu, aku tetap melangkah memasukinya.

Lantai marmer berwarna putih tulang ini terasa dingin dan lembap. Di depan arca , terdapat sebuah sesaji dan dupa yang sudah setengah padam. Sepertinya tempat ini terakhir dikunjungi dua hari yang lalu, ucapku dalam hati. Kemudian aku duduk di samping arca sambil sesekali melihat ke arah warung. Aku perhatikan arca ini lamat-lamat. Ada yang aneh dengan arca ini. Lama kelamaan, rasanya arca itu bergerak. Bergetar kekiri kanan. Diikuti dengan lantai yang mulai bergerak perlahan, berputar seakan hidup. Tiba-tiba kepalaku seperti dihujani pukulan bertubi-tubi.

Rasa sakit ini muncul kembali, kepalaku terasa sangat sakit. Aku berusaha keluar dari petilasan ini, namun rasanya tembok-tembok itu bergerak menghalangiku.

Makin lama sakit dikepalaku makin tak tertahankan. Kedua kakiku lemas tak berdaya. Rasanya lantai dan tembok petilasan ini bergerak sangat cepat. Bergoyang, bergetar hebat seakan ingin melumatku hidup-hidup. Di tengah pandanganku yang makin kabur, kuliat Surya keluar dari dalam warung. Sakit kepala ini membuatku tak berdaya. Tiba-tiba terdengar dentuman keras di belakangku. Bangunan ini hidup! Dia bergerak! Dan dia akan memakanku! Pekikku dalam hati. Aku panggil Surya sekencang mungkin. Berharap ia bisa mendengarku. Kemudian rasanya tubuhku diremukkan perlahan lahan. Pandanganku gelap. Makin tak bisa mendengarkan apapun. Tubuhku jatuh tersungkur di tengah petilasan.

***

"Aksa... Tolong aku..!!!!!!"

Suara itu. Suara itu berdengung di kepalaku. Gelap yang menyelimutiku perlahan menghilang. Di depanku samar-samar kulihat seorang wanita, dia menangis, wajahnya tampak diliputi ketakutan yang mendalam. Tangannya seakan ingin menggapaiku. Sinta. Aku berusaha bergerak mendekatinya.

"Aksa, tolong aku Aksa.. tolong.. Aksa!!!!!" Wanita itu menghilang! Semuanya gelap! Kemana perginya? Di mana dia? Sinta? Sinta!! Sinta!!! Teriakku sambil bangkit dari sleeping bag milikku. Mataku membelalak. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhku. Bukan lantai dan tembok berlapis keramik, namun dinding dan atap kayu. Aku sudah kembali ke Pondok.

"Ya Ampun Sa.. tumbang lagi?!" Tanya Naja sambil menatapku cemas. "Gimana Sa? Kita balik aja ya. Daripada kamu kenapa-napa"

"Enggak Ja. Aku sudah baikan kok. Kita lanjut saja ya" ucapku meyakinkan Naja.

"Yasudah tapi kamu jangan memaksakan diri, kalau tidak kuat kita berhenti saja. Atau kita langsung pulang saja"

"Setuju"

"Oh iya Sa, ngomong-ngomong siapa Sinta? Sejak kamu pingsan sampai di bawa kemari, kamu menyebut nama Sinta terus?" Ujarnya sambil menatapku penuh curiga.

"Itu... aku tidak tahu. Oh iya, mana Surya?"

"Beli minum sebentar ke warung".

Benar saja, tak lama kemudian Surya kembali sambil membawa segelas teh hangat. "Kamu tadi kedinginan mas, masuk ke petilasan tidak pakai alas kaki soalnya. Lantainya kan dingin" sambil meletakkan teh disamping Sleeping Bag milikku. "Istirahat saja ya mas. Biar besok bisa kuat ke atas" ucapnya lalu meninggalkanku di dalam pondok.

Malam harinya aku hanya tidur di dalam Sleeping Bag. Sedangkan Naja, Surya dan Ketiga temannya berada di luar menyalakan Api unggun. Rasa sakit sore ini masih terbayang-bayang olehku. Sebelum aku terbangun, rasanya aku berpindah tempat. Aku tiba-tiba jatuh disebuah bukit dengan pemandangan sebuah kota yang indah. Bangunan di kota itu berdiri megah berlapis emas. Tepat di depan bukit itu, seorang wanita menangis menghadap wajahku. Sinta. Ia adalah Sinta. Ia seakan meminta pertolongan kepadaku. Tapi aku tak mengenalnya. Siapa Sinta ini. Dan kenapa belakangan ini aku sering mengalami hal aneh tentang Sinta? 


-----------------------------------------------------------------------------------

Selamat membaca teman-teman. jangan lupa vote, comment, dan share ya. Terima kasih. 

Update setiap Selasa & Jumat, setelah Maghrib. Happy Reading.. 

Nendra Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang