Sudah sepekan, hati ini bimbang, saat mulai menyadari ada yang salah dengan diriku. Ini adalah kali pertama aku merasakan debar-debar dalam dada, rasa yang menggelitik sukma saat melihatnya tersenyum atau tak sengaja berpapasan dan saling menyapa.Ia begitu manis dan cerah bagaikan mentari pagi yang menghangatkan bumi, bedanya adalah ia telah sukses menghangatkan hatiku. Entah sejak kapan perasaan aneh ini muncul, tadinya aku tak merasakan apapun saat melihatnya, tak pernah kesal saat tangan kokoh itu merangkul pinggangnya mesra. Namun, kedekatan mereka kini membuatku gerah dan ingin memisahkan mereka.
Seperti pagi ini, saat memasuki halaman kampus dengan hati berdebar dan menggenggam sekuntum mawar merah. Niat hati ingin menyapa Diana, gadis berparas ayu yang telah mengunci rasaku. Namun, saat melewati taman kampus, langkah ini terhenti dengan gemetar. Mawar merah kugenggam erat, sampai tak terasa durinya telah melukai tanganku dan meneteskan darah segar.
Mereka berciuman di taman kampus, begitu panas dan menyesakkan mata, dengan dada bergemuruh kulempar bunga itu dan putar arah menjauhi mereka, menuju kelas. Menghempakan diri di kursi dengan putus asa. Saat pikiran entah kemana, sebuah suara melengking menginterupsi. Menarik jiwa yang berkelana untuk kembali.
"Astaga! Bima! Tangan kamu kenapa? Berdarah kayak gitu kok gak diobatin sih? Duh, untung aku bawa kotak P3K. Sini liat tangan kamu!" seru Laura dengan heboh dan panik.
Dasar cerewet, Laura memang tak pernah berubah, selalu memperlakukan semua orang seperti bayi. Tetapi, dia jugalah teman yang mendampingiku selama ini, gadis yang baik. Pikiran pun sejenak teralihkan dengan memperhatikan tingkah Laura yang tengah mengobati lukaku dengan serius. Ia terlihat dewasa dan perhatian. Sikapnya sedikit menghibur hatiku yang juga terluka.
"Nah, udah beres," ucap Laura tampak lega.
"Lagian, kamu ngapain sih bisa sampe berdarah gini, astaga ... kayak anak kecil deh ," gerutu Laura lagi karena aku diam saja.
"Makasih," sahutku datar, bukannya dingin pada Laura, hanya saja moodku sedang sangat hancur saat ini.
"Iya, sama-sama, lain kali hati-hati deh," sahutnya sambil berjalan duduk di bangkunya.
Selama jam pelajaran berlangsung, pikiran terbang entah kemana, ingin merindukan Diana, tapi jelas aku tak punya hak. Orang ketigalah yang jelas salah.
***
Sore ini langit tampak mendung, kelabu seperti suasana hatiku yang buruk, angin mulai berembus, terasa dingin menusuk kulit. Pelan tapi pasti, rintik hujan mulai turun bersamaan dengan kilat yang menari-nari. Mengiris sedikit demi sedikit dinding hati.
Cinta ... mengapa kau singgah di hatiku? Kau salah memilih tempat dan waktu, tak seharusnya aku menyukai Diana, dia sudah ada yang punya. Yah, sejak sadsr akan hadirmu, seharusnya saat itu juga kupangkas habis rasa itu.
Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Semakin mencoba melupakannya, pikiran justru terus memutar ulang semua memori yang ada. Galau rasanya, haruskah kurebut saja?
Tidak! Dia milik Tegar, kami sudah berteman baik sejak kecil, mana mungkin aku menghianatinya?
Rasa ini sungguh menyiksa, bagai bom atom yang meluluh lantakkan Hiroshima dan Nagasaki. Hancur tak bersisa, perasaanku berkeping terserak karena cinta.
***
Sinar matahari mulai menyingsing, pagi ini dengan enggan aku terbangun. Rasanya malas sekali pergi ke kampus. Namun, tiba-tiba pintu kamar kosku diketuk dengam keras.
"Bim! Oi, Bima!"
Siapa sih? Orang masih pagi sudah teriak-teriak, saat pintu terbuka, muncullah sosok Tegar dengan bermandikan keringat.
"Apaan sih, Gar?" tanyaku kesal.
"Bantuin gue buat tugas dong, kelas pagi ini harus kumpul," jawabnya dengan tampang memelas.
"Sialan! Lo gila? Ini udah jam berapa coba?" tanyaku makin kesal.
"Pliss, bantuin gue ya, Sob? Ntar gue traktir deh," ucapnya membujuk.
"Sialan!"
Pagi itu dengan pikiran ngebut, alhasil aku lah yang mengerjakan separuh lebih tugas itu, Tegar hanya cengengesan melihatku kesal dibuatnya. Setelah selesai, aku pun buru-buru mandi dan bersiap ke kampus.
Pukul delapan pagi kelas dimulai, aku berpisah dengan Tegar karena beda kelas. Saat menuju fakultas seni yang melewati taman, tak sengaja kulihat Diana sedang duduk di bawah pohon sambil membaca buku.
Siluetnya begitu indah diterpa cahaya mentari pagi, ditambah angin sepoi-sepoi yang menerbangkan surainya. Sungguh ciptaan Tuhan yang memesona.
Seketika aku baru ingat kalau Diana tak ada kelas pagi ini, tapi kenapa dia sudah di sini? Kesempatan, melihat Diana sedang sendiri, kulangkahkan kaki mendekatinya. Biarlah bolos kelas pagi ini, asalkan bisa memandangi wajahnya yang cantik. Sudah cukup.
"Eh, Bima?" sapa Diana ramah.
"Boleh gue duduk?" tanyaku basa-basi.
"Oh, duduk aja, btw, lo bukannya ada kelas pagi?"
"Oh, barusan dosennya gak bisa masuk jadi libur pagi ini," jawabku terpaksa berbohong, sebab jika dia tahu niatku, pasti bakal diceramahin.
"Oh, gitu."
"Iya, lo udah sarapan, Na?" tanyaku mengalihkan perhatian.
"Belum sih."
"Mau makan bareng? Katanya nasi padang di depan gerbang enak banget loh," ajakku bersemangat.
"Boleh."
Kami pun berjalan beriringan, beberapa pasang mata tampak memperhatikan, membuatku gugup dan resah, seperti dicyduk satpol pp. Kulirik Diana tampak biasa saja, ekspresinya datar, tapi tetap terlihat manis. Ya, begini saja sudah cukup. Asal bisa melihatnya baik-baik saja, aku sudah cukup puas.
Tak tega rasanya, jika harus melangkahi Tegar yang selama ini sudah menjadi temanku, tapi kenapa sulit sekali rasanya memalingkan diri dari Diana? Dia terlalu memikat. Bagaimana ini?
"Bim, Bima!"
"Eh, iya?" sahutku gugup, tak sadar ternyata aku melamun sedari tadi.
"Lo, mau lauk apa?" tanya Diana.
"Gue rendang aja deh," jawabku cepat.
"Bang, nasi dua pake rendang!" seru Diana lantang.
"Lo, pake rendang juga?" tanyaku kaget karena menu kami sama.
"Iya, rendang kan kesukaan gue," jawabnya santai.
"Oh."
Aku baru tahu kalau Diana menyukai rendang, kebetulan sekali selera kami sama. Pikiran aneh mulai bermunculan di pikiran. Sial, jangan sampai melamun lagi, batinku resah.
Pesanan kami pun akhirnya datang, selama makan hanya denting sendok yang terdengar. Diana tampak menikmati makanannya, sedangkan aku lebih menikmati pemandangannya.
Bagiku, ini adalah saat terlama aku menghabiskan waktu bersama Diana, andai saja dia masih sendiri, mungkin akan lebih mudah didekati, andai saja waktu berhenti seperti ini saja. Kan kunikmati setiap inci wajahnya yang indah bagai cahaya itu.
Diana, andai saja kamu tahu, menahan rindu itu berat, menyukai tanpa bisa memiliki itu seperti orang sekarat, atau lebih tepatnya hati yang tersayat-sayat. Mungkin juga disebut kiamat bagiku. Namun, tak bisa menyerah seperti ini, membuatku lebih tersiksa karena rasa yang mulai berkarat.
"Ada nasi di pipimu," ucapku tanpa sadar seraya mengelus pipinya.
"Ah, makasih," jawab Diana gugup.
"Udah selesai?" tanyaku berkilah.
"Iya, ayo pergi." jawab Diana yang sekilas kulihat pipinya bersemu merah.
Bersambung ...