Silau, itu yang pertama kulihat. Matahari tampak menyilaukan masuk melalui jendela kaca. Kulirik jam weker di nakas, pukul 07.30."Hah? Udah jam segini!" seruku melompat dari kasur.
Buru-buru meraih handuk dan mandi, lalu bersiap menuju kampus.
"Apes banget, gara-gara begadang semalem mikirin Diana, pacar juga bukan, ngenes ... ngenes," omelku sepanjang jalan.
Tinggal lima belas menit lagi sebelum kelas di mulai. Melihat ke kanan-ke kiri tak juga ada bus lewat. Terpaksa kuklik aplikasi darurat, memesan kang ojol terdekat. Lima menit, akhirnya muncul juga ojeknya.
Langsung melompat ke jok belakang dan memakai helm.
"Gas poll, Mang!" seruku pada kang ojol.
"Asyiap!" sahutnya segera melaju dengan kilat.
Sepuluh menit, tiba di parkiran kampus, segera membayar dan berlari sekuat tenaga, kelas hari ini ada di lantai empat, sedangkan lift tampak antri. Terpaksa aku berlari menaiki tangga dengan ngos-ngosan. Mengabaikan tatapan heran orang-orang yang lalu lalang.
Akhirnya sampai juga di depan kelas, kulirik arloji. The best! Jam delapan tepat, masuk dengan percaya diri. Namun, sedetik kemudian aku melongo tak percaya.
"Kok?"
Kelas keadaan kosong melompong, kugaruk tengkuk yang tak gatal seraya mengatur napas yang masih menderu.
Menghempaskan diri di salah satu kursi, merogoh ponsel dan mengecek notifikasi. Sialan! Ternyata ada pemberitahuan bahwa kelas diundur sampai jam dua siang, bodohnya aku tak mengecek dulu.
"Arrrgh! Apes banget sih! Rugi banyak gue!" Seruku mengacak rambut kesal.
Sudah bayar kang ojol mahal-mahal, lari-larian kayak orang kesetanan, duh, rugi banget. Keluhku dalam hati.
Kusut, aku memasuki lift dan turun ke bawah, tapi saat angka masih lantai dua, tiba-tiba lift terbuka, menampilkan sosok yang terus-menerus membuatku galau dan merana.
Diana, gadis itu tampak manis dengan blazer biru dan celana senada, rambutnya diikat ekor kuda, menampilkan garis lehernya yang aduhai.
Plak!
Mikir apa aku ini! Ya Tuhan!
"Eh, Bima," sapanya canggung.
"Masuk, Na. Mau turun ya?," tanyaku basa-basi.
"Iya, udah ditungguin sama Tegar nih,"
Mak jleb! Rasanya kek diiris-iris di dalam sini saat dia menyebut nama bocah tengil itu. Panas.
"Oh gitu."
Pintu lift pun terbuka, Diana segera bergegas dan melambaikan tangannya.
"Iya, sampai jumpa ya, Bim."
Kupandangi punggungnya yang mulai menjauh, keluar lift dengan lemas, pun perut mulai berbunyi karena tak sempat sarapan. Mengikuti langkah, kantin menjadi tujuan sekaligus pelampiasan hati ini.
Kupesan tiga porsi rendang, tak lupa coklat panas sebagai penenang. Sedang asyik makan, tiba-tiba pundak ditepuk kasar, membuatku tersedak dan segera meraih air minum.
"Gila! Lo makan semua sendirian?" tanya bocah tengil yang menjadi penyebab kegalauan.
"Sialan, gue keselek nih," jawabku kesal.
"Sorry, Brader. Bagi dong, gue laper nih. Kek nya enak," ucapnya ngiler.
"Urusan ama pacar lo udah kelar?" tanyaku penasaran.