Bab 4

1 0 0
                                    


Menunggu ternyata bisa sangat membosankan, halte sangat sepi, tinggal aku sendiri yang masih duduk di sini. Orang lain sudah pada pesan taksi karena tak sabar.

Krik ... krik.
Hujan semakin deras saja, angin tampak mengamuk menggoyangkan beberapa pohon dipinggir jalan. Aku masih setia di sini sambil memandangi jalanan yang lengang.

Jiwa iritku meronta sebab hari ini sudah banyak pengeluaran, kutunggu bus yang tak datang-datang, mungkin sopirnya ketiduran, asyik melamun, tak sadar ada yang tengah berlarian menerobos hujan.

"Diana?" ucapku spontan.

"Bima?" tanyanya juga tampak terkejut.

Kulihat bajunya basah kuyup, segera kubuka jaket dan memakaikan padanya. Terjadi begitu saja, dan yang membuatku terkejut, ia pun tak menolak.

"Makasih," ucapnya mengalihkan pandang.

"Sama-sama, lo baru pulang?" tanyaku padanya.

"Iya, kan udah jam lima," jawabnya santai.

Kulirik arloji di tangan, buset, pantas saja pantatku panas, ternyata aku sudah duduk di sini selama dua jam. Mekehangatan memang bahaya! Bisa sampai lupa waktu.

"Kok, lo, tumben belum pulang juga?"

"Gue nungguin bus kagak dateng-dateng," jawabku apa adanya.

Hening, selanjutnya kami terhanyut dalam pikiran masing-masing. Harusnya di saat seperti ini, aku berusaha mendekatinya. Namun, jiwa malaikatku melarangku untuk menggodanya.

Sial, terjadi perang batin yang dahsyat di dalam sini, belum sempat aku mengajaknya bicara lebih lanjut. Bus datang tak tahu malu, tadi ditunggu saja gak datang-datang. Giliran ada kesempatan begini malah datang, apes banget deh.

Kami pun segera masuk dan yang membuatku dag dig dug, ternyata Diana memilih duduk di sebelahku. Seolah dia tengah memberi harapan untuk mengejarnya, padahal masih banyak tempat duduk lain yang masih kosong.

Samar tercium aroma parfum yang dipakainya, lembut dan menyenangkan, masih seperti mimpi rasanya bisa duduk sedekat ini dengannya.

Andai saja waktu berhenti seperti ini, aku rela menukar segalanya demi menghabiskan waktu sedikit lebih lama bersamanya. Sial! Lagi-lagi jiwa iblisku meronta, bagaimana bisa aku melupakannya jika ia semenarik ini?

Sesekali kulihat ia memeluk lengannya, mungkin dia kedinginan karena bajunya basah kuyub. Pelan tapi pasti, seolah iblis tengah merasuki, tanpa sadar kuraih tangan Diana dan mendekapnya erat. Menyalurkan sedikit kehangatan.

Lagi, ada yang terasa janggal saat aku tersadar. Diana tak menolakku, justru ia balas menggenggam. Namun, wajahnya ia palingkan ke sisi lain. Samar, tampak gurat merah di pipinya meski ia berusaha menutupi.

Apa mungkin Diana mempertimbangkan aku? Bodoh, mana mungkin kan? rutukku dalam hati.

Tak terasa tujuanku sudah terlihat, kulepas genggaman itu perlahan. Terasa canggung karena senyumku tak dapat kusembunyikan, pamit, lalu segera turun dari bus.

Diana melambaikan tangan dari balik jendela bus, tersenyum malu-malu. Rasanya menyenangkan! Tapi apa ini tindakan yang benar?

Jiwa iblis dan malaikatku mulai berperang kembali, melangkah masuk dan merebahkan diri di kasur. Sungguh hari yang panjang.

"Ting!" suara notifikasi dari ponselku.

Kuraih benda pipih itu dan mulai menggeser layar, "Diana" nama yang tersemat di sana. Padahal baru beberapa menit yang lalu kami berpisah, ada apa ya?

[Besok siang mau makan bareng? Buat nebus sarapan bareng hari ini yang gak jadi.] ungkapnya dalam chat.

Apa aku boleh menganggapnya sebagai undangan? Apa aku terlalu berharap? Diana, kamu bikin hatiku semakin dilema.

[Boleh, sampai ketemu di gerbang.] Balasku pada akhirnya.

Tadinya kukira ia lupa soal sarapan hari ini, ternyata gagal karena kami sama-sama sibuk.
Ditambah aku bangun kesiangan, payah.

Aku bangkit dan segera membersihkan diri, segar rasanya usai mandi air hangat. Duduk bersandar di tempat tidur dan mulai menyalakan laptop. Mengetik tugas yang belum selesai.

Pukul delapan malam, semua tugas akhirnya selesai. Kini lapar mulai mendera, mengecek stok mie instan, masih sisa satu. Segera kumasak dan makan selagi hangat. Nikmat.

"Ting! Ting!" suara notifikasi sangat mengganggu.

Segera kuhabiskan mie yang tersisa, kemudian meraih handphone dan mengeceknya.

Kini giliran nama "Laura" yang tersemat. Mau apa lagi si putri cempreng ni? pikirku sambil menggeser layar.

[Bim, lo gak lupa kan?]
[Besok jangan lupa! Ulang tahun Tegar!"]

Shit! Aku benar-benar lupa, mana besok ada janji sama Diana. Jangan-jangan dia juga lupa soal Tegar? Eh, tapi mana mungkin kan?

Kuputar otak dan memutuskan mencari hadiah secara online, sudah tradisi bagi kami bertiga untuk selalu merayakan setiap ulang tahun di antara kami.

Kuputuskan untuk memberinya jam tangan mengingat ia selalu lupa waktu, model analog jadi pilihan. Klik pembayaran, yes. Selesai.

Menghempaskan diri di kasur dengan napas lega, akhirnya semua beres. Besok tinggal milih tempat dan eksekusi sama Laura.

Bagusnya kupilih warung lesehan tempat biasa kami kumpul dulu, sekalian nostalgia.
Kuketik pesan tentang ideku pada Laura.

[Iya, gue inget. Pilih tempatnya warung lesehan aja gimana?] Send.

[Sip. Gue setuju.] Balas Laura cepat.

Anak ini online mulu, cepet banget balesnya. Heranku sambil geleng-geleng kepala. Kini, saatnya memikirkan kalimat yang tepat untuk membatalkan janji dengan Diana.

Tik ... tok ... tik ... tok.
Lima belas menit berlalu, tak juga kutemukan kalimat yang pas. Rasanya sedikit tidak rela jika kesempatan ini melayang. Jarang-jarang aku bisa bertemu Diana.

Sudah kuputuskan! Aku akan tetap menemui Diana, baru setelah itu merayakan ulang tahun. Lagi pula makan siang kan cuma sebentar, pasti bisa. Semangat mulai membara lagi.

Tak sadar aku senyum-senyum sendiri membayangkan rencana besok, semoga semua berjalan lancar.

Sudah pukul sepuluh malam, tetapi kantuk tak kunjung datang. Sepertinya, aku benar-benar terkena insomnia. Kualihkan pikiran dengan melihat sosial media.

Ku-scroll terus membaca status alay dan beberapa artikel, tak sengaja aku menemukan sebuah foto yang membuatku terdiam cukup lama.

Foto yang dengan telak menyadarkan akan statusku, bahwa akulah orang ketiga. Orang yang tak diharapkan kehadirannya. Bagaimana bisa dengan egoisnya mengharapkan dia? Dia kekasih sahabatku.

Dalam foto itu terlihat jelas, Diana memeluk Tegar dengan tersenyum lebar. Dia tampak bahagia, dan kurasa mereka memang saling mencintai.

Andai saja, aku yang lebih dulu bertemu denganmu. Andai saja perasaan ini tumbuh lebih cepat dari Tegar. Mungkin, saat ini dirikulah yang bersamamu, memelukmu.

Segera log out dari sosial media, rasanya hatiku remuk redam. Lagi-lagi rasa bersalah itu muncul acapkali aku tak ada kegiatan dan seorang diri.

Kuambil obat tidur di nakas, menatapnya sedikit lama, kemudian kutelan dua sekaligus. Malam ini aku tak ingin bermimpi, tak ingin memikirkan apapun, ingin segera menutup mata dan melepas kepahitan hidup.

Cinta yang datang terlambat ini sungguh menyiksaku, sudah terlambat, salah tempat pula, benar-benar apes percintaan tahun ini.
Setengah jam berlalu, rasa kantuk mulai menyergap.

Mata terpejam, kini, kenyataan pahit itu akan hilang untuk sesaat. Biarlah mencintaimu, menjadi rahasia terbesarku untuk saat ini.

Bersambung ...

The Secret Of BimaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang