Nikki dan Nikko duduk bersila di antara meja belajar mini. Di atas meja tersebut sudah tersaji dua cangkir berisi teh. Kegiatan rutin yang dilakukan Nikki saat di rumah adalah bermain layaknya seorang bangsawan.
"Kak Nikko jadi papa," kata Nikki sambil meneguk teh hangatnya.
"Kenapa tidak jadi kakak saja?" tanya Nikko sambil mengamati rupa tehnya yang terlalu gelap. "Aku kakakmu."
"Ini main rumah-rumahan! Terserah aku dong."
Nikko mulai meminum teh miliknya. "Bukankah kamu tadi bilang ini cuma minum teh? Apa setiap hari harus minum teh? Apa Klaus mau melakukan ini denganmu? Mengapa?"
Nikki jadi cemberut. Dia tidak menyangka tingkah cerewet Nikko melebihi dirinya. Sambil mengerutkan dahi, ia protes, "aku masih SD, kakak sudah SMA! Harusnya yang banyak tanya itu aku! Jangan cerewet, nanti aku hajar loh."
"Kamu jadi suka kata hajar sejak nonton kartun, jangan nonton lagi."
"Tinggal iya'in kenapa sih? Banyak tanya."
"Baiklah, jadi aku harus apa? tehnya sudah kuminum."
"Kan sudah kubilang, aku jadi anak, kak Nikko jadi papa."
"Kenapa tidak kakak saja, aku lebih suka jadi kakakmu."
"Ini pasti neraka." Nikki kesal. Dia merasa seperti berbicara dengan robot. Kakaknya punya kebiasaan mengulang pertanyaan yang sama. Bahkan para ayahnya yang super serius saja bisa diajak bermain rumah-rumahan. "Yang kreatif dong, masa tiap hari jadi kakakku! Aku bosan jadi adikmu!"
"Papa itu ngapain? Melarangmu pacaran? Atau menyuruhmu kerja rodi?" tanya Nikko membayangkan papa ideal. "Apa yang harus kulakukan?"
Dia benar-benar tak tahu gambaran Papa yang baik dan benar. Dua figur papa yang ia tahu sangat parah. Papa Hannah terlalu posesif, Om Edwin, malah terlalu egois.
Sementara itu, ketiga ayah kloningnya seperti terbuat dari batu yang diberi nyawa, tak peka sedikitpun. Lebih jauh lagi, ayah ketiga, ayah yang menemaninya sejak dia bangkit dengan tubuh baru tak pernah mengajarinya bicara.
Intinya semua papa di sekitarnya tidak bersikap sebagaimana orangtua.
"Kalau aku mau sesuatu, langsung turuti, belikan, lalu manjain aku, terus kalau aku lelah, gendong, dan ajak aku jalan-jalan setelah ini, Seperti Ayah Kraz, dia selalu senang mengajakku jalan-jalan!" ungkap Nikki dengan mata berbinar penuh diharap diperlakukan layaknya seorang princess.
Nikko sama sekali tak membayangkan seorang ayah yang menggendong anaknya. Setelah mendengar penjelasan Nikki, dia malah kebayang dengan tetangganya yang sering mengajak anjingnya jalan-jalan. "Oh, begitu."
"Paham'kan? Jadi kita akan ke taman belakang, dan papa harus membuatkanku tiara dari bunga-bunga. Semua ayah itu memperlakukan putrinya seperti seorang putri."
"Kamu memanggilku Papa?"
"Iyalah, masa Kakek! Kesel deh. Tanya lagi, aku benar-benar akan menghajarmu." Nikki menunjukkan tangan kanan yang sudah mengepal. Sedangkan tangan kirinya meremas pinggiran meja hingga remuk.
Nikko masih ingin mengajukan pertanyaan. "Bagaimana cara membuat tiara bunga-bunga? Bunga siapa yang diambil? Kamu mau aku nyuri?"
"Selama ini, aku mengira kalau kak Nila adalah manusia robot serius tak punya hati paling menyebalkan di dunia, tapi, Kak Nikko, selamat, kakak mengalahkan rekornya."
"Nila memang menyebalkan, jangan samakan aku dengannya. Aku baik padamu, coba saja, kamu ajak Nila minum teh, dia pasti akan memasukkan teh sekalian cangkirnya ke mulutmu agar tak banyak bicara. Dan jangan berkata 'menghajar' pada seseorang, itu jahat."