Sadar diri Rain. Itu memang faktanya jadi jangan sedih.
________________________________________Adam berdiri tepat dihadapanku. Menatapku dengan pandangan tak terdefinisi kan tapi Adam senyum. Manis banget.
"Tapi manis," lanjutnya lagi dengan mencolek daguku pelan.
Ays. Gak tahan. Aku tersenyum lebar menatap Adam. Tuh, kan. Aku itu manis. Dimana-mana cewek kalo dipuji pasti bakalan senang. Termasuk aku.
Duh, aku jadi salting.
Aku dan Adam berhenti didepan salah satu pintu kelas. Diatas kelas itu tertulis bacaan X Mia 1. Jadi ini yang akan menjadi kelasku untuk 3 tahun kedepan? Semoga aku bisa beradaptasi dengan baik.
Aku mengikuti langkah kaki Adam yang sedang berjalan menuju guru yang sedang mengajar.
Bisikan demi bisikan terdengar oleh telingaku. Membuat aku bergerak risih. Hilih. Mereka itu lagi bisik-bisik tetangga apa lagi mau ngerumpi sih. Masa bisik-bisik sampe kedengaran sih.
"Eh, itu bukannya cewek yang dikerjain sama rombongan kak Ray bukan sih?"
"Lah, dia tadi pagi perasaan gue pergi sama kak Ray deh?"
"Iya, dia memang pergi sama kak Ray. Tapi, kata kak Ray dia yang mau numpang."
"Kok gak malu ya?"
"Dia kan ukhti gak ada urat malu."
"Urat malunya udah putus kali."
Setelahnya aku mendengar mereka cekikikan sembari menatap cemooh padaku.
Pengen Marah, nangis, nimpuk mereka. Jengkel banget rasanya. Tapi aku mencoba untuk sabar. Pada akhirnya aku memilih untuk diam dan diam kembali.
Btw, Adam sudah kembali duduk di bangkunya.
"Rain, silahkan perkenalkan diri." Intruksi seorang guru berperawakan cantik tersebut.
"Iya, bu."
"Oh iya, sebelumnya perkenalkan nama Ibu Mega. Ibu mengajar matematika dan sebagai wali kelas kamu."
Aku hanya tersenyum menanggapi Ibu Mega.
"Udah boleh perkenalkan diri bu?" tanyaku.
"Silahkan."
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh perkenalkan nama saya Rainha Asyifa. Salam kenal semuanya. Semoga kita bisa berteman dengan baik."
Singkat kan? Aku sengaja tidak menyebutkan aku pindahan dari sekolah mana ataupun tempat tinggalku dimana.
"Ada yang ingin bertanya," lanjut bu Mega.
"Saya, bu."
Seorang cowok dengan kumis tipis mengakat tangannya. Manis.
"Silahkan Rio."
Ouh, Rio namanya.
"Pindahan dari mana?"
Pertanyaan yang paling aku hindari. Aku harus gimana?
Pengecut? Aku hanya diam. Ya, aku memang pengecut.
Hening beberapa saat. Hingga Rio kembali berseru.
"Suaranya berapa mahal sih. Sampe-sampe pertanyaan gue gak dijawab. Bisu mendadak lo,"
"Rio, jaga bicara kamu," tegas bu Mega.
"Habisnya, bu. Masa gak dijawab."
"Mungkin itu privasi Rain, Yo. Jadi, lo jangan hina dia dong." celetuk seorang perempuan. Cantik, berhijab, ada lesung pipit.
"Ya, kan dia bisa ngomong kalo misal itu privasi bukan cuman diam aja. Kayak gak ada mulut tu cewek. Kesan pertama masuk sekolah aja udah gak respect gue sama ni cewek."
Sedih banget kan. Hari pertama masuk sekolah penuh musuh.
Baru saja perempuan tadi ingin membuka kembali suara. Namun, intruksi dari bu Mega membuatnya harus kembali menelan ucapannya.
"Sudah, sudah. Jadi, Rain kamu duduk di sana," ucap bu Mega sembari menunjuk sebuah kursi kosong.
Huft, untung aku duduk sendirian.
"Iya, bu."
Duh, aku gugup. Hari pertama aku kembali bersekolah. Semua tatapan tertuju padaku. Ada yang menatap sinis ada pula yang menatap tidak minat.
Aku duduk tepat didepan perempuan yang tadi membelaku. Semoga kelak bisa jadi teman.
Dapat aku rasakan aku tidak akan mendapatkan banyak teman seperti yang ayah dan bunda katakan. Tidak terlalu berharap sih mendapatkan teman banyak. Karena aku tahu, mereka berteman karena alasan tertentu. Manusia memang makhluk sosial, pasti akan perlu bantuan orang lain. Tapi, aku seperti membangun tembok tak kasat mata. Aku terlalu tertutup.
Bu Mega pun kembali melanjutkan pelajaran yang sempat tertunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainha Asyifa
Teen Fiction"Aku yakin sebenarnya orang-orang yang membenciku saat ini akan menjadi orang-orang yang paling menyayangiku suatu saat nanti." -Rainha Asyifa "Tidak ada alasan untuk membencimu." ...