"Mama! Papa!" jerit seorang anak kecil dengan senyum cerahnya berlari kecil menuju sepasang suami-istri yang merupakan kedua orang tuanya. Kedua orang dewasa tersebut tersenyum hangat saat putra tunggal mereka terlihat begitu bahagia pada hari ini.
Sang Ibu berjongkok dan menyambut pelukan hangat sang Putra. Sang Ayah tersenyum melihat keakraban antara ibu-anak di hadapannya. Tangan besarnya mengusap surai hitam milik anaknya yang masih tidak ingin lepas dari pelukan sang Ibu.
"Aku pulang."
"Selamat datang, Kaze."
Kaze melepaskan pelukannya dan tersenyum manis kepada kedua orang tuanya yang sangat dia sayangi. Tangan mungilnya digenggam dan dituntun oleh Ayah dan Ibunya untuk pulang ke rumah sederhana mereka, meninggalkan halaman sekolah dasar.
"Bagaimana dengan pelajaran hari ini, Kaze?"
"Begitu menyenangkan! Tadi Bu Guru mengajarkan kami cara menulis dengan benar sambil bermain. Bahkan tadi..." Anak yang baru menginjak usia 5 tahun tersebut terlihat begitu ceria saat menceritakan kejadian yang dia alami selama bersekolah. Ayah dan Ibunya sesekali mengajukan komentar dan tertawa karena tingkah lucu putra kecil mereka.
"Oh ya!" Kaze menghentikan acara berceritanya dan menoleh pada Ayahnya. "Papa, apakah nanti Aku akan memiliki sihir seperti milik Papa dan Mama?" tanyanya dengan polos. Dia tidak menyadari bahwa kedua orang tuanya terperanjat saat mendengar pertanyaan tersebut keluar dari mulut Kaze.
Hati mereka menjadi resah, tidak ingin pangeran kecil mereka merasa sedih atas keadaan dirinya. Senyum palsu ditunjukkan agar Putra mereka tidak mengetahui perubahan ekspresi mereka. "Tentu saja kamu akan mendapatkan sihirmu sendiri, Kaze."
'Maafkan kami, Kaze.'
'Kami hanya tidak ingin kamu bersedih atas keadaanmu.'
Kaze tersenyum lebar, tidak menyadari perubahan ekspresi kedua orang tuanya. Dirinya tertawa senang saat membayangkan betapa menyenangkannya saat bermain dengan sihir seperti yang dia lakukan bersama kedua orang tuanya pada saat piknik. 'Pasti akan sangat menyenangkan.'
***
Pada hari ini, Kaze yang berumur enam tahun akan menjalankan uji tes nilai sihir di balai desa. Bukan hanya diringa yang kan diuji, ada anak-anak lain yang seusia dengannya. Keadaan balai desa begitu ramai dan bising. Semua orang bersenda gurau sembari menikmati hidangan yang disediakan. Banyak orang yang datang untuk melihat seperti apa nilai sihir yang dimiliki oleh para anak desa.
Kaze tidak diperbolehkan untuk pergi jauh-jauh dari sisi orang tuanya. Wajah keduanya begitu pucat dan terlihat risih bercampur khawatir. Namun Kaze yang masih terlalu polos tidak mengerti akan keadaan kedua orang tuanya. Walau dia bertanya 'ada apa?' berkali-kali, jawaban yang diterima akan tetap sama.
"Kami tidak apa-apa, Kaze. Hanya gugup untuk melihat nilai sihirmu."
Walau ingin membantah, karena sedari tadi kelakuan keduanya terlihat berusaha menyembunyikan Kaze dari orang lain. Tapi dirinya tidak ingin melakukan itu, apalagi terhadap orang yang dia cintai dan sayangi. Sehingga anak bersurai hitam tersebut hanya menerima perlakuan mereka, meski tidak terlalu menyukainya.
Manik birunya melirik pada gerombolan anak-anak seusianya yang dibalut oleh pakaian mewah. Mereka adalah anak-anak dari keluarga yang terpandang, keluarga bangsawan, atau yang mengetahui sihirnya sebelum dites. Semuanya diperlakukan spesial. Tidak seperti mereka yang berada di kasta bawah dan tidak memiliki kelebihan apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Real Illusion
FantasySelain sihir, derajat adalah hal kedua yang diperlukan untuk mendapatkan perhatian dari orang-orang sekitarmu. Semakin tinggi derajatmu, semakin banyak orang yang menyanjung dan melayanimu. Sebaliknya, semakin rendah derajatmu, semakin banyak 'kesen...