Malam telah larut, dengan bulan bersinar di langit malam yang gelap. Sejak mengetahui bahwa putra mereka, Kazeka Rienne, tidak memiliki sihir sedikit pun. Wirve Rienne, sang Ayah mengajak istri dan putranya untuk pergi meninggalkan desa dan pergi ke rumah Ibu Varese Rienne, Sang Istri di pendalaman.
Sebelum hari pengujian, keduanya telah mengemasi barang-barang dan kereta kuda untuk perjalanan mereka. Semua persiapan telah selesai dan begitu semua orang mengetahui bahwa Kaze tidak memiliki sihir, mereka langsung pergi membawa Kaze yang menangis.
Saat ini, mereka sedang beristirahat di bawah pohon yang rindang. Kaze tertidur di pangkuan Ibunya. Bekas jejak air mata masih terlihat dengan jelas. Varese mengelus lembut surai hitam milik Kaze sembari membaca buku. Sedangkan Wirve menyiapkan tenda untuk mereka.
"Varese," panggil Wirve tanpa mengalihkan fokusnya dari membangun tenda. Varese berdehem untuk membalas panggilan dari suaminya. Buku tersebut dia berikan pembatas lalu menoleh pada Wirve yang berhenti memukul pasak. "Apakah Ibu Varun akan menerima kita? Kamu tahu bukan? Kita telah meninggalkan mereka di sana, dan kembali demi mendapatkan perlindungan."
"Sayang." Sebuah tangan halus yang mulai keriput, namun masih memberikan kehangatan bagi jiwa dan raga. Netra biru tersebut menahan hangat pada Wirve yang tertegun. "Ibu mengerti kenapa kita pergi dari desa. Jika Beliau tidak mengerti dan tidak terima, maka sejak awal kita tidak akan berada di sana. Ayo, makan malam dulu."
"Kaze, bangun. Kita makan malam."
"Uhm... Masih mengantuk Ma..."
"Bangun. Kita makan di luar lho."
"Uhm.... Baiklah..."
Wirve tersenyum melihat interaksi antara Ibu dan Anak tersebut. "Kau benar." Dirinya berdiri dan langsung mengangkat Kaze yang masih mengumpulkan kesadarannya. Senyum cerah termekar diwajahnya saat mendengar pekikan terkejut dari Putra tunggal mereka.
"Ayo bangun dan lihat pemandangan yang ada!!"
"Woaah!! Papa! Jangan tiba-tiba dong!"
Kedua orang dewasa yang ada di sana tertawa begitu mendengar protesan dari Kaze. Pipinya digembungkan sambil mengalihkan pandangannya dari kedua orang tuanya. "Ah~ Kaze merajuk~" goda Varese sambil mencubit pipi bulat putra tercintanya.
"Aku tidak merajuk!"
Suasana hangat menyelimuti keluarga kecil tersebut. Mereka bergembira, walau mendapatkan kenangan buruk pada hari itu. Semua kesedihan yang diterima oleh mereka telah terangkat saat berbincang-bincang dan bermain bersama. Inilah alasan kenapa Kaze sangat senang makan di luar. Mereka tidak kan terhadang oleh meja dan bebas untuk bermain bersama.
Wirve dan Varese tidak masalah jika mereka kekurangan atau apapun. Asalkan mereka bisa melihat senyum dari malaikat kecil mereka. Maka semuanya akan dilakukan demi menjaga senyum manis itu berada di wajahnya.
Kaze tidak masalah jika dia dibenci, diasingkan bahkan tidak memiliki sihir. Asalkan senyuman dan kebahagiaan orang tuanya tetap mekar, maka dia akan bahagia. Dia tidak kan merasa sedih atau terpuruk. Karena obat yang menurutnya paling ampuh untuk semua luka adalah kebahagiaan orang yang dia sayangi.
Mereka memiliki kesamaan. Apapun yang terjadi, bahkan ketika maut datang menjemput. Senyuman kebahagiaan itu tidak boleh menghilang.
***
"Papa, apakah kita hampir sampai di tempat Nenek?" tanya Kaze sambil mengambil tempat duduk di samping Wirve yang mengendarai kuda. Varese tertidur di kereta karena semalaman bergadang untuk berjaga. Meski bergantian dengan Wirve, tapi tetap saja dirinya kelelahan sehingga tertidur pulas selama perjalanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Real Illusion
FantasySelain sihir, derajat adalah hal kedua yang diperlukan untuk mendapatkan perhatian dari orang-orang sekitarmu. Semakin tinggi derajatmu, semakin banyak orang yang menyanjung dan melayanimu. Sebaliknya, semakin rendah derajatmu, semakin banyak 'kesen...