A/N: Ada catatan di akhir cerita bagi yang kesulitan menerjemahkan dialog jawa. Jangan lupa untuk terus mendukung denga cara vote dan comment ya^^
"Hiduplah dengan kesederhanaan sembari menebarkan kebermanfaatan."
-----؋ترؠ-----
Hiruk pikuk Stasiun Tugu semakin menambah dentuman di dalam dadaku mengingat bahwa kereta yang akan membawaku ke kota yang terkenal dengan kebudayaannya itu akan berangkat 5 menit lagi, sementara aku baru saja tiba di gerbang stasiun. Segera kupercepat langkahku sembari menenteng totebag tosca berisi perlengkapan pribadiku yang akan dibutuhkan selama berada disana nanti.
"Perhatian... Sebentar lagi kereta Prambanan Express dengan nomor 360 akan segera diberangkatkan dari Stasiun Tugu dengan pemberhentian akhir di Stasiun Solo Balapan. Terimakasih"
Mendengar pengumuman tersebut semakin kupercepat ayunan langkah kakiku menuju gerbong kereta. Namun alih-alih sudah masuk di dalam gerbong, aku masih belum menemukan bangku kosong yang dapat kutempati. Maklum saja suasana liburan masih sangat kental saat ini. Kebanyakan penumpang adalah mahasiswa yang hendak bertolak ke tanah kelahirannya. Tak kunjung mendapatkan bangku di gerbong pertama, aku segera beralih ke gerbong selanjutnya. Setelah menyisir habis tiga gerbong kereta, aku baru menemukan bangku kosong yang membelakangi laju kereta.
"Hmmmm... tak apalah daripada harus berdiri satu jam," gumamku.
Kusapa sepasang suami istri yang sudah berumur di depanku dengan senyuman. Setelah duduk, segera kusimpan totebag dan tas yang kubawa di bangku sebelah, mengingat tak ada orang yang duduk di bangku tersebut. Setelah itu kuputuskan untuk mengkhatamkan novel yang baru saja kubeli dua hari yang lalu. Terhanyut dalam kesyahduan romansa cerita yang disajikan membuatku sedikit terlena dengan lingkungan sekitar hingga kurasakan sentuhan lembut di pundak kiri. Spontan saja aku mendongak karena terkejut.
"Astaghfirullah," ucapku lirih saat menjumpai sosok lelaki sedang berdiri di sebelah bangku kosong tadi. Lantas begitu mendapati sebuah pena yang terselip di antara jari jemari tangan kanannya membuatku lega seketika.
"Maaf Mbak, boleh saya duduk disini?" ujarnya sembari menunjuk bangku kosong yang telah terisi dengan barang-barangku.
"Oh iya, Mas. Boleh-boleh," jawabku sembari memindahkan barang-barangku ke bawah bangku kereta.
"Terimakasih, Mbak," ujarnya dengan garis senyum di wajahnya.
Aku merasakan ada keanehan di dalam dadaku saat melihat senyumnya. Oh ayolahhh, kenapa ini terjadi tiba-tiba. Bahkan aku saja tidak mengenal sosok lelaki disebelahku ini. Segera kukembalikan perhatianku pada lembaran tebal yang sedang kupegang. Kembali hanyut dalam imajinasi yang tertuang dalam tulisan tersebut.
"Nyuwun sewu, Bu. Monggo dipun duduk, Bu. Biar saya saja yang berdiri,"
Sayup kudengar suara tersebut ditengah penghayatanku dalam menikmati bacaan. Kualihkan penglihatan ke sumber suara. Ternyata lelaki yang berada di sampingku tadi tengah mempersilahkan seorang Ibu tua dengan pakaian yang cukup sederhana untuk duduk di bangkunya. Aku tersenyum kecil melihat perlakuannya ke Ibu tersebut.
"Nyuwun pangapunten, Nduk. Nyuwun nderek lenggah nggih," ujar Ibu tersebut kepadaku sembari tersenyum ramah.
"Nggih, Bu. Silahkan," balasku sembari tersenyum.
Kusapu pandanganku ke sekitar bangku kereta mencari sosok lelaki tersebut. Ternyata Ia sedang berdiri di lorong dekat bangku yang tadi ia duduki sembari memainkan ponselnya. Dalam diam aku tersenyum kagum melihatnya. Kupikir pemuda yang mau membagikan kursinya ke orang asing hanya ada dalam cerita fiksi yang sering kujumpai. Namun, hari ini aku meralat pikiran tersebut. Ia, seorang pemuda dengan PDH yang melekat di badannya, mau memberikan tempat duduknya kepada seorang Ibu tua yang membawa beragam barang ditangannya.
Kusimpan novel yang sedari tadi berada dalam genggamanku ke dalam tas. Kurang etis saja rasanya jika aku membiarkan Ibu tersebut termenung sendirian sementara aku asyik hanyut dalam pikiranku. Ibu itu menoleh kepadaku dan menyapaku hangat. Tak lama kemudian, mengalirlah kata demi kata yang dipaparkan Ibu tersebut kepadaku. Kami bercerita hangat layaknya orang yang sudah lama kenal karena Ibu tersebut sangat ramah kepadaku.
Kereta kembali berhenti, rupanya kami baru saja memasuki Stasiun Maguwo. Sepasang suami istri yang sedari tadi duduk didepanku pamit dan bersiap untuk turun. Lelaki yang tadi duduk di sebelahku segera menempati bangku yang telah kosong ditinggal si empunya. Ia kembali tersenyum kepadaku. Ohh bukan bukann.... aku meralatnya. Dia tersenyum kepada kami, 'Aku dan Ibu disebelahku'. Kemudian, ia kembali tenggelam dalam genggamannya sembari sesekali merespon dengan ramah saat ditanya Ibu tua disebelahku. Sementara itu, aku malah semakin asyik tenggelam dengan beragam kisah yang Ibu itu ceritakan. Aku takjub dengan apa-apa yang ia lontarkan. Bukan hanya dengan kisahnya, tetapi juga dengan setiap kata yang beliau ucapkan. Pemilihan diksi yang tepat membuat aku semakin takjub dengannya. Ya... Ibu ini memang berpenampilan sederhana, tetapi menurutku masih meninggalkan kesan elegan. Apalagi dengan keramahan dan kecerdasan yang beliau miliki, semakin membuatku kagum saja dengan Ibu ini.
"Nduk, hidup ini hanyalah titipan dari Gusti Allah. Buat apa berlomba-lomba untuk memamerkan apa yang hanya titipan dari yang Maha Kuasa. Hiduplah dengan kesederhanaan sembari menebarkan kebermanfaatan. Hidup bukanlah tentang apa yang orang pandang, melainkan tentang kebermanfaatan apa yang telah kita berikan untuk orang-orang disekitar kita," pesannya kepadaku menutup pembicaraan sembari tersenyum hangat.
MasyaaAllah... hatiku mencelos mendengarnya. Merasa ditampar dengan cara yang sangat elegan. Benar, buat apa merasa sangat ingin dihormati dan disanjung oleh orang lain. Tohh nantinya saat apa yang dimiliki telah sirna, semuanya akan kembali pada kondisi semula. Harta yang kita miliki hanyalah titipan dari Allah swt. Semuanya akan kembali lagi kepada-Nya. Semua yang kita pamerkan hanya akan habis dengan sia-sia, sementara apapun kebermanfaatan yang kita tebarkan akan meninggalkan lebih banyak lagi manfaat bagi orang-orang sekitar.
Rasulullah saw. pernah bersabda, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia," (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadist ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami' No. 3289). Sesungguhnya ketika kita berbuat baik kepada orang lain, maka manfaatnya akan kembali lagi kepada kita.
"Nduk," panggil Ibu itu yang kembali menyadarkanku dari lamunan.
"Nggih, Bu?" balasku.
"Ibu ajeng mandhap rumiyen nggih," ujar Ibu tersebut.
"Nggih, Bu," balasku sembari melempar senyum.
Lelaki dihadapanku langsung sigap membantu Ibu tersebut membawakan barang-barangnya. Meskipun sang Ibu sempat menolak, tetapi pada akhirnya lelaki tersebut berhasil menawarkan bantuannya. Sebelum pergi, Ibu tersebut menatap kami secara bergantian yang membuatku mengernyit bingung.
"Kalian berdua cocok," ujar Ibu tersebut diiringi senyuman.
Kalimat yang dilontarkannya sukses membuatku terperangah beberapa detik. Bukan hanya aku, lelaki itu juga ikut terperangah hingga hampir menjatuhkan barang yang dibawanya. Tak lama kemudian, ia membimbing Ibu tersebut untuk segera turun karena kereta akan kembali diberangkatkan sebentar lagi.
Aku kira Ia akan berhenti di stasiun ini juga. Namun, tak lama setelahnya ia kembali muncul dan duduk di hadapanku. Suasana yang tadinya hangat mendadak berubah menjadi dingin. Baik aku maupun lelak itu sama-sama tak mau memulai pembicaraan kembali. Suasana diantara kami menjadi canggung ditengah hiruk pikuk keramaian dalam gerbong kereta. Aku kembali mengeluarkan novel yang tadi sempat aku biarkan beristirahat sebentar. Ia pun kembali mengeluarkan benda pipih itu dari saku celananya. Kami kembali hanyut dalam dunia masing-masing.
"Ohh.. Allah. Kenapa dadaku kembali berdesir saat mengingat perkataan Ibu tadi."
NB:
Nyuwun sewu, Bu. Monggo dipun duduk, Bu= Permisi, Bu. Silahkan duduk, Bu
Nyuwun pangapunten, Nduk. Nyuwun nderek lenggah nggih= Maaf, Nak. Saya duduk disini ya.
Nggih, Bu= Baik, Bu
Ibu ajeng mandhap rumiyen nggih= Ibu turun dulu ya
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumangsa
FanfictionSeorang wanita yang masih belum siap untuk merasakan jatuh cinta tiba-tiba dihadapkan oleh takdir yang nampak terbungkus rapi. Tapi siapa sangka kado yang nampak indah dari luar ternyata memiliki beragam kejutan di dalamnya. Apa yang harus ia lakuka...