Takdir Cinta 03

13.8K 983 18
                                    

Perkiraan Abim salah besar, ternyata dugaannya di awal adalah hal yang paling benar. Ia pikir setelah Ibunya memperkenalkan dirinya dengan anak dari salah satu temannya itu hanya berakhir perkenalan biasa, karena memang setelahnya tidak ada hal yang spesial atau yang aneh dari ibunya. Bahkan sedikit pun pada akhirnya Abim tidak berpikiran macam-macam, karena semua berjalan santai sampai pada akhirnya tamu undangan dan beberapa saudaranya pulang. Dan disitu-lah Abim merasa aneh, saat dirinya dan kedua adiknya tengah menata kursi di ruang tamu.

"Mas Abim, habis ini ibu minta tolong ya?" Suara Ida membuat Abim sejenak meninggalkan kegiatannya.

"Minta tolong apa bu?" Tanyanya.

"Tolong anterin tante Liana ya nanti, kasihan enggak ada yang jemput."

Abim hanya mengangguk mengiyakan ucapan ibunya, "Habis Ashar sekalian aja ya bu, gapapa kan?" lanjutna memberi tawaran.

"Ya udah gih kalau gitu mandi dulu aja sana sekalian sholat. Udah mau ashar juga ini. Biar itu diterusin Billal sama Dilfa."

Mengiyakan semua perintah ibunya, Abim segera menuju kamar untuk bersiap membersihkan diri, tidak butuh waktu terlalu lama ia menyelesaiakan mandinya dan bersiap. Setelah kumandang adzan ashar Abim segera menunaikan sholat lalu setelahnya bersiap untuk mengambil, dompet, ponsel dan kunci mobilnya.

"Sekarang bu? Tante Liananya mana?"

"Sebentar, anaknya masih di kamar mandi."

Sejenak Abim terdiam, dan tidak lama kemudian saat anak dari tante Liana yang baru saja keluar dari kamar mandi itu membuat Abim menghembuskan nafasnya. Tidak tadi tapi sekarang, itulah yang ada di pikirannya. Wah ibunya memang pembuat rencana yang sangat baik.

"Ayo mas, itu tante Liana sama Annisa udah siap." Seketika Abim bangkit dari lamunannya.

"Oh! Kalau gitu Abim jalan dulu ya bu. Assalamualaikum."

"Jangan mampir-mampir mas, nanti langsung pulang ya?" Lanjut Ida setelah menjawab salam dari putra sulungnya itu.

Dan disinilah Abimana Al Rasyid berada, di ruang tengah lantai satu berasama ibu dan Ayah yang sudah menunggu kedatangannya setelah mengantar Liana dan Annisa beberapa waktu yang lalu.

"Gimana mas?" Tanya Ida dengan nada yang heboh.

"Apanya yang gimana?" Tanya Abim yang pura-pura tidak paham, padahal seribu persen ia sangat paham dengan maksud dari ibunya.

"Ck, gitu pura-pura enggak ngerti. Suka ga?" Goda Ida pada putra sulungnya.

"Apa sih bu?" Lagi, Abim masih berkilah. Ia hanya malas dengan bahasan pernikahan, padahal sudah sering kali ia mengatakan tidak dalam waktu dekat.

"Bim." pundaknya di tepuk oleh sang ayah. "Dulu itu ayah pas seusiamu udah punya kamu lo." terang pak Rasyid.

Abim masih terdiam mendengarkan, walaupun kadang ia malas dengan bahasannya tapi Abim masih sangat menghargai Ayah dan Ibunya. Mendengarkan semua apa yang dikatakan ayah dan ibu walaupun tidak jarang yang bertentangan dengan pendapatnya, bahkan menolak pun Abim masih menggunakan bahasa yang halus dan sopan. Tidak sampai hati ia melukai hati orang tuanya.

"Gini lo Bim." Pak rasyid kembali membuka suara. "Bukannya Ayah sama Ibu itu untut kamu ini itu macem-macem atau pun ngatur kamu. Kami tahu kamu udah gede, udah dewasa juga. Tapi sebagai orang tua, ayah sama ibu itu pengen lihat anak-anaknya sukses."

"Kan Abim..."

"Sik, Ayah belum selesai ngomongnya."

Seketika Abim terdiam lalu menunduk, menautkan jemarinya dan berusaha mendengarkan dengan seksama apa yang akan ayahnya katakan. Abim tahu, bahwa Ayahnya itu tidak terlalu banyak biacara, tapi sekalinya berbicara pasti bisa panjang dan akan dalam. Dan Abim siap untuk mendengarkan itu semua.

"Ayah sama ibu udah liat kamu sukses sekolah sampai sarjana, bahkan kerja nyambi S2 kamu juga sanggup. Trus pekerjaanmu juga udah sukses, udah bisa beli mobil sendiri, trus sekarang mau dapat promosi naik jabatan." Pak Rasyid menjeda kalimatnya sambil menepuki ringan pundak Abim.

"Ayah sama ibu juga pengen lihat kamu sukses jadi kepala keluarga Bim. Memang kamu nggak kepengen nikah apa?"

"Ya pengen yah." jawab Abim lirih. "Tapi ya enggak sekarang-sekarang juga. Lagi pula Abim juga baru di promosiin, belum cukuplah yah kalau buat modal nikah." lanjutnya menjelaskan alasan yang ia rasa sedikit lebih rasional dan masuk akal.

"Cukup nggak cukup itu tergantung Bim. Kalau kamu merasa nggak cukup terus ya sampai kapan pun enggak bakalan cukup. Manusia itu memang nggak pernah merasa cukup, tapi mau sampai kapan begitu terus? Sampai kapan kamu merasa cukup?"

Abim hanya diam.

"Siapa tahu nanti setelah kamu nikah apa yang kamu bilang belum cukup itu akan tercukupi Bim. Nikah itu ibadah, nggak ada yang namanya ibadah itu menyesatkan."

Masih terdiam, Abim hanya memainkan jemarinya. Diamnya bukan hanya sekedar diam, raut wajahnya menunjukan bahwa ia sedang berpikir dan mempertimbangkan ucapan ayahnya.

"Mas, ibu juga enggak maksa mas harus nikah sama siapa. Ibu membebaskan mas mau nikah sama siapa aja, yang tadi itu kalau mas mau aja. Ibu enggak maksa."

Abim masih nampak berpikir untuk menanggapi ucapan ayah dan ibunya. Sesekali ia mengusap wajahnya dan nampak berpikir.

"Ya udah kalau gitu," Pak Rasyid kembali membuka suara. "Kamu minta petunjuk, malamnya di rajinin lagi, yang belum tepat waktu di tepatin, yang sunah-sunah di usahakan. Apa pun yang kamu lakukan itu merupakan wujud gambaran dari jodohmu nanti, makanya kalau mau dapat jodoh yang salehah ya kamunya kudu jadi saleh dulu."

"Ayah sama ibu selalu doain yang terbaik buat mas. Di pikirin baik-baik omongannya ayah tadi ya mas."

Perbincangan malam itu berakhir dengan perasaan campur aduk di benak Abim. Disisi lain apa yang dikatakan ayah ada benarnya, namun disisi lainnya lagi jiwa idealis masih menguasi. Bahkan bayangan untuk pernikahan saja kadang-kadang masih membuatnya bingung. Konsep pernikahan yang sebenarnya dan yang seharusnya bagaimana saja ia masih rancu. Pikirannya masih belum sejauh itu, mimpinya masih banyak yang belum terwujud.

Dalam tidurnya Abim merasa tidak tenang, sudah berkali-kali mencari posisi senyaman mungkin tetap saja ia masih merasa gelisah. Denting jarum jam yang memecah kesunyian malam membuatnya semakin gelisah, dalam kegusaran Abim segera terbangun dan beranjak dari kasurnya. Setelah mengambil wudhu Abim merasa sedikit lebih segar walaupun hatinya jauh dari kata tenang. Melaksanakan sholat malam, Abim meminta pentunjuk pada sang Maha Kuasa. Segala bentuk doa ia panjatkan, berharap kegelisahan yang sedang ia rasakan menghilang dan digantikan dengan ketenangan batin.

***
.
.
.

Ditulis : 03Mei 2020
Publis : 05 Mei 2020

_________________________________

Sampai jumpa di Takdir Cinta 04

Jangan lupa klik bintang dan komen2nya

.
.
.

Part ini memang paling pendek, jadi harap maklumi ya, sudah mentok! Kalau di panjangin lagi jadi ga seru nanti....

Untuk updatenya aku tidak jadi setiap hari jumat. Untuk update bisa sewaktu-waktu karena aku ada kerjaan deadline tgl 20. Jadi untuk selanjutnya bisa cepat atau lambat tergantung pada pekerjaanku yaa..

Terima kasih untuk yang sudah klik bintang dan komen2, tunggu bagian 4 nya yaaaa

Takdir CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang