Malnutrisi Substansi

24 1 0
                                    

Lelaki paruh baya berteriak di antara tidurnya, mengigau, ia enggan terbangun. Mimpi demi mimpi tidur berlalu dan ia masih saja ingin melanjutkan tidurnya. Berjam-jam tanpa mengenal waktu, ia hanya ingin menghabisi waktunya dengan tertidur. Ia yang meratapi entah nasib siapa, beristighfar di antara tidurnya dan selalu saja ingin kembali tertidur. Berteriak tak keruan ia mencoba untuk tidur kembali, karena layar yang terkembang di tidurnya tak pernah berakhir menampilkan keindahan, kelopak bunga, pepohonan dan hutan - hutan belantara. Ia yang tak pernah mengetahui kenapa ini terjadi pada dirinya, yang ia tahu adalah bahwa saraf otaknya telah melampaui batas kemampuan mentalnya. Ia melihat begitu banyak hal yang tak dapat ia pahami, gambaran demi gambaran kehidupan melintasi cakrawala benaknya. Lelaki paruh baya hanya dapat memendam apa yang dirasakannya, tanpa berkeluh kesah, layaknya seorang introvert, ia meredam segala gejolak di hati dan benaknya. Meninggalkan begitu banyak realita kehidupan dan meninggikan begitu banyak khayalan, sambil ditekuninya petuah alim ulama di televisi, ia mencari begitu banyak alasan di dunia ini untuk terus bertahan.

Ya, ia telah bertahan begitu kuatnya hingga tak ada lagi tersisa dari dirinya selain ilusi dan imaji, ia yang tak dapat mengutarakan apa yang dirasakan, ditumpahkannya dalam coretan - coretan naskah tak bermakna layaknya orang yang telah kehilangan akal. Kebiasaannya yang hanya mengikuti perasaan dan gejolak di dalam dirinya membuatnya menjadi sosok yang tak tentu arah, karena Tuhan adalah Sang Maha Pembolak Balik Hati, maka ia biarkan sebagai bagian dari imannya. Entahlah, menurut lelaki paruh baya, ia belum pernah bertemu Tuhan, tapi ia dapat merasakan kehadirannya. Baginya fatamorgana adalah segala ketiadaan dalam sebuah keadaan dan realita adalah segala yang ada dalam sebuah ketiadaan. Bak pesulap ia mencoba menghadirkan realitanya, baginya, apabila tak ia dapatkan untuk ditemui, seseorang akan menemukan realita yang indah tersebut. Lelaki paruh baya mencoba membuka kotak pandora berharap menemukan keindahan yang menggelayuti pikirannya, tanpa mengetahui bahwa kegelapan pun mengiringi keindahan coba ia ciptakan. Bak seorang psikolog, lelaki paruh baya mencoba menyingkap dan membuka peta jalan surgawi yang hanya orang mati tahu jalannya.

Keberuntungan orang mati adalah ia tak lagi perlu menjalani hitam putihnya kehidupan, orang mati berjalan lurus melintasi cakrawala melampaui semesta untuk menemui Rabbnya, sementara kita yang masih hidup masih saja berkelindan dalam baik dan buruk, benar dan salah. Kelak kebenarannya akan sirna di makan jaman, tetapi ia masih saja ingin memastikan bahwa ia benar, padahal kalaupun ia salah, Tuhan akan selalu saja mengampuninya. Rasa takutnya pada kehidupan yang tak sesuai harapannya membuat ia tak menyadari bahwa Tuhan selalu saja membuka jalan baginya untuk mendapatkan yang ia butuhkan. Rendah diri yang membuatnya menjadi terlalu angkuh menghadapi dunia, membuatnya mengalihkan segala realita yang terjadi bagi dirinya bahwa yang sekarang, justru adalah yang terbaik bagi dirinya. Dan tentu saja rasa angkuh ini disertai dengan keras kepala yang tiada taranya, ia tidak saja menerima bahwa sekarang adalah yang terbaik, ia juga tiada mengakui eksistensinya bagi kehidupan, ia yang selalu saja menatapkan wajahnya pada keheningan dan keindahan, menegasikan bahwa ini semua juga beriringan dengan nelangsa dan nestapa. Baginya beginilah seharusnya menjadi orang dewasa, sementara lelaki paruh baya tak memahami bahwa selamanya ia adalah anak dari orang tuanya yang menaruh harapan padanya.

Lelaki paruh baya menetapkan standar yang terlalu tinggi bagi dirinya untuk bertahan, entahlah, padahal godaan yang diterima oleh para Nabi dan Rasul pun tak mampu ia jalani. Semua cobaan yang menghantui perjalanan hidupnya ia lalui dengan kegagalan demi kegagalan, disebut kegagalan, karena ia, lelaki paruh baya tak mampu melampaui dosa paling purba yang terngiang di telinganya setiap hari. Tetapi ia bukanlah seorang pembunuh, melihat seekor lalat matipun ia terenyuh, oleh karenanya, ini yang jadi satu-satunya ibadahnya kepada Tuhan, yakni merawat kehidupan, selebihnya ia bergelimangan dosa, yang kalau ditimbang berat bebannya, tentunya ia layak mendapatkan kehinaan dan kenistaan diakhir hidupnya. Satu - satunya yang ingin ia akhiri hanyalah hidupnya sendiri, tetapi entah kenapa, lelaki paruh baya sangat takut kepada Tuhan untuk satu hal ini. Padahal apabila ia akhiri hidupnya tentunya ini adalah dosa yang sangat bermanfaat bagi dirinya, setidaknya mengurangi beban kehidupan dan kemanusiaan, dan dosa ini tiada seberapa dibandingkan dosa yang banyak telah ia lakukan. Menjalani karantina kehidupan tak pernah sekeras ini baginya, setidaknya membunuh egonya adalah yang bisa ia lakukan untuk sementara waktu ini, entah sampai kapan, begitu banyak entah dalam hidupnya, membuat lelaki paruh baya berperut buncit mengalami malnutrisi substansi yang membuatnya menggali lebih dalam, bahkan terlalu dalam, setidaknya begitu dalam hingga iapun tak dapat berdamai dengan dirinya sendiri.

Malam - malam panjang dilaluinya dalam sebuah sketsa realita kesunyian, dan ia merasa sedang berjuang karenanya. Padahal berjuang itu melawan penindasan, membela yang lapar dan menafkahi si miskin. Tetapi tidak bagi lelaki paruh baya, baginya membunuh eksistensi dirinya dengan ego yang berkepala sebesar octopus membuatnya merasa telah berjuang. Itupun tak cukup baginya, menggeneralisir kehidupan selayaknya kerbau di cucuk hidungnya dan manusia - manusia robot tanpa rasa, sepertinya lebih realistis melihat sepak terjang perjuangannya. Sebab dengan membunuh egonya, justru ia membunuh sesuatu yang sangat manusiawi dari dirinya yakni menggerus hati dan pikirannya menjadi batu karang di tepi pantai. Ia hanya bergeming pada cinta, layaknya pasangan Romeo dan Juliet saling meminum racun untuk membuktikan cinta mereka, haruskah cinta menjadi begitu tragis untuk dirasakan, hingga tiada lagi madu untuk kita persembahkan kepada cinta, yang ada hanya injeksi racun kepada nadi kehidupan. Bagi lelaki paruh baya, tiap orang memiliki racunnya masing - masing yang akan dikeluarkan ketika ia berhadapan dengan mangsanya, baginya manusia dapat menjadi predator yang begitu mengerikan dengan menggoreng daging dan mencincang sayuran. Kemudian apakah manusia tak perlu makan, bukankah kehidupan diciptakan untuk saling bermanfaat satu sama lainnya, bukankah sayuran memang diciptakan untuk dioseng dan ditumis. Bagi lelaki paruh baya yang disebut bermanfaat adalah saling mengasihi satu sama lainnya tanpa harus saling memangsa, entahlah, terlalu banyak entah ini membuatnya masuk ke dalam labirin gagasan bahwa manusia harus bla bla bla.

Lelaki paruh baya memasuki ronde ketiga dari gelas kopinya, ia yang tak ingin dilahirkan ini merasa bahwa ia telah memasuki fase kehidupan yang tak mau ia lakoni. Entahlah, terlalu banyak entah ini, membunuhnya perlahan, kondisi liebes comma ini membuatnya tak mampu ajeg dengan realita yang ada, bahwa begitu banyak hati yang mencintainya dan begitu banyak kasih sayang yang ingin berlabuh dipangkuannya. Ia hanya malas bangun tidur dan ia ingin terus tidur tanpa harus kembali ke dunia ini, yang ia harapkan adalah ia akan mendapati kematian dari tidurnya yang sebetulnya mudah ia lakukan. Itulah, karena terlalu banyak entah dalam hidupnya, ia tak lagi mengenal warna kehidupan yang cocok bagi dirinya. Layaknya mutan yang hanya mengikuti perintah tuannya, sayangnya lelaki paruh baya memiliki jiwa tak bertuan, hingga ia menganggap apa yang dilakukannya adalah takdir Tuhan, yang bahkan terlalu besar bagi dirinya yang fana, ingin ia menyerah tetapi layaknya seorang samurai kehilangan kekasihnya ia melintasi ruang dan waktu serta menjalani apa yang dianggap bermanfaat dan meninggalkan segala yang tak diinginkannya, sementara Tuhan bergerak untuk alam semesta yang bukan hanya dirinya didalamnya, terlalu besar untuk mengakui bahwa ia hanyalah seorang pengkhianat dari imannya dan terlalu kecil untuk mengklaim bahwa ia menjalani takdir Tuhan yang juga mengatur alam semesta beserta isinya, tidak hanya dirinya saja. Ia menilai dirinya terlalu tinggi bahwa ia menjalani sebuah mission sacre, beriringan dengan itu semua ia menilai dirinya terlalu rendah bahwa takdir Tuhan tidak berpihak padanya. LIN

Dia yang Tak Pernah KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang