Di permukaan telaga ia melihat sesosok wajah yang berkelibat seiring riak air, permukaan telaga tersebut menampilkan wajah seorang anak gumamnya dalam hati. Berayahkan langit dan ibu bumi dengungnya ke benaknya sendiri, lelaki paruh baya merautkan kembali kumis tipis, jenggot tebal dan cambang semrawutnya. Sambil berdendang, ia menapaki tepian telaga, terakhir kali yang melakukan hal ini adalah seseorang bernama Narcisto yang hidup di jaman sebelum masehi dan ia tenggelam di bayangnya sendiri. Refleksi dirinya di permukaan telaga membuat lelaki paruh baya berdebar takut, ia merasa maut sebentar lagi menjemputnya dan ia dengan lihain
ya mencoba menyiasati kematiannya dengan menorehkan kata demi kata yang dipahatnya di bebatuan. Baginya menulis merupakan sebuah cara rahasia untuk memperpanjang umurnya yang entah untuk apa, ia bagaikan Tuhan bagi dirinya sendiri, berbuat baik agar dapat pahala sendiri dan berbuat buruk dengan dosa bagi dirinya sendiri. Menyelami kedalaman sukma jiwa sebutnya satu hari, tetapi bagi khalayak yang terbiasa melihatnya di pasar, tak lebih dari orang nyeleneh, tidak gila, tetapi juga tidak waras. Bersemayam di tipisnya kesadaran duniawi dan ketabahan atas takdir yang dihadapinya, lelaki paruh baya menempuh perjalanan spiritualitas yang tak biasa, yakni berkhayal di dunia nyata dan berterus terang di dunia impian. Ia masih saja butuh nasehat, padahal begitu banyak yang mengingatkannya untuk menentukan pilihan, jadilah da'i atau jadilah resi, daripada terlunta hidupnya.Dibacanya ayat kehidupan seolah - olah ia tahu segala ia berdiri di tengah pasar berdakwah, masuk ke tempat prostitusi memberi petuah, tidur diemperan tetap dengan doa untuk ayah ibunya, sang langit dan sang bumi. Satu kali pamong praja menertibkan pasar dan menemukan lelaki paruh baya masih tertidur sambil berteriak - teriak, dibujuknya oleh pamong praja itu untuk ikut ke rehabilitasi mental, karena kasihan teman minum kopinya tersebut membiayai seluruh pengobatannya. Tak banyak yang dialaminya di rehabilitasi mental selain wajah - wajah cantik ibu dokter dan pola hidup yang teratur, membingungkan bagi dirinya adalah bagaimana setelah keluar dari panti ini. Seorang dokter cantik memberinya setumpuk kertas kosong karena tahu bahwa lelaki paruh baya senang memahat kata dibebatuan, lebih mudah di kertas sebut ibu dokter dan kalau ada yang salah bisa dihapus sebutnya di panti. Karena masuk akal baginya ia menurut, bisa jadi kepatuhannya berasal dari pengobatan yang diterimanya, tetapi setidaknya ia menjadi lebih masuk akal saat ini, tidak lagi bergumam yang aneh - aneh, yang asing - asing ditulisnya di kertas, lagipula bukankah segala yang aneh dan asing boleh dan bisa ditulis, sehingga ia tak perlu lagi dengar cemoohan orang disekitarnya, meskipun tak ada cacian dan makian pada dirinya, tetapi lelaki paruh baya merasa dunia menghakiminya dengan berbagai cara dari berbagai celah.
Sebuah atau sesuatu yang menakjubkan sesungguhnya bahwa ia masih bisa melenggang di dunia hingga hari ini, sebab seharusnya dengan pola hidupnya mungkin ia telah mati beberapa tahun lalu. Tetapi beragam pengalaman hidupnya membuat banyak orang tak berputus asa kepadanya, apa sebab? Karena ia membuka alam bawah sadar lingkungannya bahwa yang disebut alam bawah sadar itu ada. Logika primata yang mengatakan bahwa makan untuk hidup tetap ia lakoni meskipun tak seberapa ia jalaninya, baginya kalau tak perlu makan maka tak usah makan, ia hanya senang minum, sepertinya kalau perkara minum, air di telaga itu takkan cukup bagi dirinya sendiri. Sambil mengajarinya menulis dan membaca, ibu dokter menanyakan padanya, kamu mau jadi apa? Lelaki paruh baya ia ingin hidup normal seperti orang kebanyakan. Meski disadarinya bahwa hidup normal pun memiliki konsekuensinya sendiri, untuk kesadaran atas komitmen kehidupan dirinya, lelaki paruh baya patut diacungi jempol, karena meskipun nyeleneh, ia teguh pada prinsip hidupnya dan hebatnya konsisten. Ia menyadari bahwa standar kehidupan yang layak bagi manusia terlalu tinggi ditetapkan olehnya atau bahkan terlalu biadab untuk dilakoni seseorang apalagi harus dilakoni semua orang. Itu sebabnya ia ingin sekali membuka kotak pandora ini meskipun akhirnya ia yang akan menjadi korban pertamanya, tanpa ia ketahui bahwa tak semuanya indah seperti halusinasinya, tanpa ia ketahui betapa berbahayanya kotak pandora yang coba ia buka.
Untuk pertama kalinya ia berbuat curang, setidaknya kepada dirinya sendiri, dengan mulai menghapus apa yang salah dan buruk serta membiarkan yang baik dan benar tetap ada di naskahnya. Ia tidak lagi serampangan dan mulai teratur pola menulisnya, teratur yang dimaksud adalah yang baik - baik saja, dengan menegasikan keburukan dan kesalahan ia tidak menyadari sebuah konsekuensi bahwa apabila yang buruk dan salah tak terungkap maka tak ada yang waspada dengan penerawangannya terhadap kehidupan. Ia mulai membual dan membuai setidaknya kepada dirinya sendiri, dan mulailah isi kepalanya yang indah - indah tetapi ilusi itu menyeruak di naskahnya. Tetiba kebohongan demi kebohongan ini menjadi sesuatu yang dinikmatinya dan ia telah terlingkuh dalam fatamorgana kehidupan bahwa ia tak lagi melihat nelangsa, ia tak lagi menerawang nestapa. Ia bagai seorang bocah yang melukiskan pemandangan gunung yang tak tahu bahwa gunung tersebut bisa jadi meletus setiap saat, ia menafikan dan menegasikan bahwa keindahan pula berkelindan dengan kepedihan didalamnya. Entah demi apa lelaki paruh baya ini menjadi seorang pembohong, curang dan bersiasat kepada dirinya sendiri, ia tersesat dalam keindahan fatamorgana duniawi sementara Tuhan selalu dan senantiasa mengawasi perbuatannya di dunia dan mengganjarnya dengan kepedihan dan air mata yang tak pernah mengering di antara naskahnya.
Sebentar lagi sensasi ini akan berakhir dan ia akan berpulang, lelaki paruh baya beranggapan bahwa apabila maut harus memanggilnya ia ingin berada dalam keadaan meninggalkan yang baik - baik dari dirinya. Meskipun terkesan berlebihan sebab semua orang punya urusan, ia menganggap dunia yang akan ditinggalkannya harus indah seperti halusinasinya. Seperti mimpinya yang tak berujung, ia ingin kehidupan menghamparkan sawah dan hutan belantara didalamnya, dimana kelopak bunga dan serangga saling bercinta untuk menyemai kehidupan. Ya, lelaki paruh baya ingin mengenal cinta dan dimulainya dari yang ia tahu, yakni penyerbukan kelopak bunga dengan serangga dan lebah mengolahnya menjadi madu dan saripati kehidupan. Terlalu berlebihan sebenarnya, tetapi cinta seperti ini yang ia tahu, sebab kalau sesama manusia ia hanya mengetahui rumah bordil dan prostitusi yang biasa disambanginya, terlintas dibenaknya untuk mengarungi bahtera rumah tangga, tetapi ditepisnya sedikit agar ia tetap menapak pada kesadarannya, bahwa untuk hal sederhana seperti berumah tangga merupakan kemewahan yang diluar jangkauan kesadarannya, setidaknya untuk saat ini. Untuk mengenal cinta ia mempersiapkan dirinya, dimulailah dengan rajin mandi di panti rehabilitasi mental dan tanpa ia sadari karena rajin mandi wajah dan tubuhnya menjadi bersih dan gemilang, ia belum menyadari perkembangan duniawinya karena tak ada cermin di panti rehabilitasi mental.
Sambil menyiasati kematian yang indah bagi dirinya, ia menyisipkan harapan, apabila ternyata ia tetap hidup, ia ingin mengisinya dengan beberapa hal, meskipun akhirnya ia kembali beratapkan langit dan bertapakkan bumi, ia membuat daftar apa saja yang ingin ia perbuat apabila ia tetap hidup. Daftar tersebut berisi tentang hal - hal yang belum pernah dilakukannya semasa muda, memperbaiki begitu banyak hal yang terlanjur rusak diakibatkannya dan juga tak lupa, ia ingin berkarya seperti orang kebanyakan dan dimulailah dengan sebuah naskah yang berjudul nama dirinya. Ia mencoba mengurai arti hidupnya berawal dari namanya sendiri, dijumpainya harapan orang tuanya dan harapan leluhurnya serta di kesadaran paling hakiki arti namanya, ia menemukan kesejatian dirinya, setidaknya dari yang direncanakan orang tuanya. Sebagai sosok yang dianggap gagal, lelaki paruh baya mencoba memperbaiki diri setidaknya bagi dirinya sendiri, baginya apabila ia telah menjadi orang yang baik dan berguna tentunya lingkungan akan berubah anggapannya terhadap dirinya. Meskipun anggapan orang lain bukanlah urusannya, tetapi bukankah siapa kita dapat kita dapati dari refleksi kehidupan yang kita dapat dari lingkungan. Sudah hari ke 11 ia di panti rehabilitasi mental, anehnya lelaki paruh baya mempunyai rasa lelah dan bosan juga menggoda ibu dokter cantik, ia ingin segalanya segera berlalu meskipun ia tak mengetahui bahwa hidup di panti rehabilitasi mental jauh lebih baik apabila ia terus berkeliaran di pasar, rumah bordil dan prostitusi tempat ia biasa mangkal. LIN
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia yang Tak Pernah Kembali
General FictionCerita tentang gelandangan korban pornografi