Satu

109 14 2
                                    

Pemandangannya tampak tidak asing. Di luar sana, di balik jendela, tampak bangku dari kayu ulin yang sangat dikenalnya. Angin bertiup kencang dan suaranya makin menggelegar menghantam dinding barak di dekat dermaga. Suara itu terdengar makin mengerikan karena barak-barak reot memiliki seng-seng timah yang sudah berkarat. Ia kehilangan identitas waktu. Ia tidak begitu yakin di luar sedang siang atau malam. Semuanya tampak gelap, gelap yang tidak biasa.

Dermaga itu persis berada di depan rumahnya, tetapi perasaan terancam aneh ini membuatnya serasa berada di suatu tempat asing dengan makhluk-makhluk yang dapat menerkamnya tiba-tiba. Sekeliling rumahnya gelap. Meski terlihat lebih kuno, tetapi ia yakin ia sedang berada di dalam rumah nyaman miliknya. Tidak ada lampu penerangan, hanya sebuah lilin di atas pegangan perunggu duduk manis di depan jendela besar transparan. Ia meraih satu-satunya cahaya di ruangan itu.

Seiring gerakan tangan yang mengarahkan lilin ke luar jendela, angin kencang mereda sangat cepat, seperti seseorang langsung menutup pintu masuk. Ia mendekatkan wajahnya ke jendela. Hening, sepi, sunyi; hanya terdengar detak jantungnya saja. di luar sana, terlihat sesuatu bergerak-gerak di sekitar dermaga kayu. Ia menyipitkan matanya, berharap bisa melihat lebih jelas. Jantungnya semakin mendebar. Dirinya merasa dicekam sesuatu yang entah apa.

“Deg-deg-deg.” Terasa jantungnya akan melompat keluar. Keringat dingin membasahi dahi, meluncur bebas sampai hilang di balik kerah bajunya.

Ia tahu diluar ada sesuatu yang bergerak di antara semua suasana hening ini. Ia pun membuka knop pintu berbahan tembaga –terasa dingin begitu bersentuhan dengan kulit pucatnya.

Trekkk ….

Engsel pintu berderit begitu terbuka. Ia melangkah ke luar tanpa alas kaki, dirasakannya bebatuan yang telah disemen rapi itu sedikit basah begitu menyentuh kaki.

Ia mendekatkan lilin ke arah deretan kapal di dermaga. Sesuatu itu terlihat samar bergerak-gerak, tapi ia masih tidak mengetahuinya. Ia mengambil beberapa langkah lebih dekat. Angin kencang kembali berembus, mengancam nyala lilin. Ia pun menarik lilin itu, mendekatkannya ke dada dengan tangan melindungi sekeliling api.

Suasananya masih gelap, dingin, dan mencekam. Dari balik kapal, sosok itu mulai terlihat. Sosok itu berpostur bungkuk, berjalan terpatah-patah dengan kedua lengan terkulai lemas. Ia yakin apa pun yang ada di depannya sekarang bukanlah hewan, melainkan manusia.

Hello!” Ia bersuara agak keras, berharap semoga sosok aneh itu meresponnya.

Tidak. Sosok itu tetap tertatih-tatih dengan posisi membungkuk, berjalan lambat dan setiap langkahnya terus memberikan perasaan terancam baginya.

“Hello? Siapa di sana?” suaranya mulai bergetar. Ia mengambil beberapa langkah mundur teratur.

Sosok itu semakin dekat, sampai-sampai cahaya temaram lilin mengenainya. Ia tahu sekarang. Sosok itu bukanlah manusia atau sekarang tidak lagi. sosok itu memakai kemeja dan celana krem robek-robek dengan banyak rumput laut tersangkut pada kaki, tangan, dan badannya. Pakainnya basah kuyup seperti baru saja tenggelam di laut. Kulitnya tidak putih, pun pucat. Kulitnya berwarna hijau kelabu dan wajahnya bengkak seperti mayat yang tewas tenggelam. Matanya putih dan abu-abu. Ia bahkan ragu jika mata abu-abu itu berfungsi.

Sosok itu makin mendekat.

“Jangan mendekat!” teriaknya.

Ia melangkah mundur, berusaha masuk kembali ke rumahnya. Angin bertiup sangat kencang dan sosok itu mulai menampilkan deretan gigi-giti kuning dengan beberapa noda hitam menjijikkan. Ia berusaha menekan rasa takutnya, memutar knop pintu tembaga itu secepat mungkin.

“Kenapa ini tidak mau terbuka?” bisiknya. Keringat dingin semakin mengalir deras.

“Siapa pun, tolong!” ia berteriak putus asa. Sosok itu semakin mendekat, mungkin kurang lima langkah.

FAR  [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang