Tsani

18 6 0
                                    

Bagiku, awal perkenalan kita adalah yang teraneh. Karena saat itu lah yang mengajarkanku, bahwa benci itu beda tipis dengan rasa.

-MAHABBAH

Mata itu menatap sendu, menyiratkan kerinduan dan luka dalam waktu bersamaan.

Bahkan daun yang gugur pun tak mampu menjelaskan bagaimana luka yang dirasakannya.

Tangannya menyentuh perlahan dinding kokoh dengan cat putih itu. Dinding ini adalah bagian dari tempat yang awalnya sangat ia benci. Namun siapa yang sangka? Tempat ini menjadi yang paling bersejarah baginya.

Bahkan kursi dan deretan meja dengan bel di atasnya yang tersusun di ruangan ini tetap terlihat sempurna. Hanya berbeda posisi dan beberapa hal yang dirombak kembali karena rusak termakan usia.

Sungai kecil mulai tergenang di kedua pelupuk matanya.

Rindu,

Sakit,

Dan kenangan yang kembali terkuak mampu membuat tungkai kakinya lemas dan ia tak mampu berpijak.

Ruangan ini, adalah tempat ia dipertemukan dengan seseorang untuk yang pertama kalinya. Kemudian disusul dengan kenangan bodoh lainnya yang ikut berlarian di kepalanya membuat bibirnya mengulas senyum tipis.

Aku mengenalmu disini.

Merasakan kebencian padamu disini,

Dan berakhir dengan rasa yang menyakitiku juga muncul ketika di ruangan ini.

Bahkan hingga kita terhubung, ruangan ini kembali menjadi saksi betapa bodohnya kita saat itu.

Ah, bukan kita, tapi aku.

Ia mendudukkan dirinya di salah satu bangku yang dekat dengan lemari penyimpanan piala. Pelan, tangannya terulur menyentuh lemari kaca tersebut.

Air matanya mulai menetes,

Dulu, saat awal sekali aku mengenalmu

Aku pernah bermimpi untuk meraih apa yang kamu raih

Aku pernah ingin mengikuti jejakmu

Menjadi yang terdepan,

Menjadi yang diperhatikan

Menjadi orang yang penting

Karena prestasi

Kakinya melemas, ia tak sanggup lagi menapak. Kenangan ketika masa pertemuan mereka untuk yang pertama kalinya mampu membuat ia meneteskan air mata. Entah karena apa,

Pertemuanku denganmu, tidak memakai konsep dari mata turun ke hati

Ada yang lebih bagus untuk menggambarkan itu.

Dari gugur daun yang menyentuh permukaan tanah.

Seperti itulah pertemuan kita, benci namun waktu yang menentukan,

Karena bagaimana pun menghindar, takdir Allah itu sudah jelas.

Seperti daun yang gugur.

Tak ada yang tau 'kan kapan ia gugur?

Maka dari itu, seperti itulah gambaran rasa ku padamu saat itu

Benci yang awalnya terlihat nyata, semakin lama semakin semu dan terganti dengan rasa yang tak aku pahami.

Ia melirik sekilas ke arah salah satu bingkai foto yang terpajang manis di dekat ia duduk sekarang. Matanya terpaku, menatap satu potret seseorang yang amat familiar.

Tangan dinginnya bergetar menyentuh permukaan bingkai. Ia menyentuh dengan pelan seakan itu akan pecah begitu saja dan melukai potret yang ada di dalamnya.

Ini lah perbedaan aku dan kamu

Kamu begitu dikenang

Kamu begitu dilihat

Sedangkan aku hanya debu yang menumpang pada kaca cermin yang indah dan sering dilihat manusia ini.


Mata indah itu terpejam, merasakan sensasi yang ditimbulkan saat ini. Sensasi saat ia berusaha mengenang luka yang seharusnya sudah ia kubur dalam-dalam.

Bahkan dari awal hingga akhir cerita kita.

Kamu tak pernah tau,

Rasa iri ini melekat kuat dalam detak jantungku,

Detak itu memompa aliran darahku,

Dan mampu memberi sinyal pada otak ku,

Akan satu hal pasti yang aku sadari dan seharusnya begitu juga dengan kamu.

Kita, terlalu berbeda.

Bibir tipis kemerahan itu tampak bergetar, ia sedang bersusah payah menahan tangis yang hendak keluar saat itu juga. Dengan kekuatan yang tersisa, ia berusaha menarik sudut bibirnya.

Berniat untuk tersenyum tulus pada luka yang kembali menyapa.

Ingat kah kamu? Aku pernah bercerita padamu tentang awal aku melihatmu.

Disitu, aku mengaku benci sangat padamu

Bahkan ketika temanku menyebut namamu, aku memilih menjauh

Karena aku takut, benci itu berubah menjadi rasa,

Tapi ternyata aku terlambat,

Rasa itu mulai ada.

Diawali pertemuan paling aneh,

Aku mengaku memiliki rasa padamu untuk yang pertama kali.

Bahkan dari sebelum kamu melihat keberadaanku.

MahabbahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang