"Jeni?" Anak lelaki yang banyak dipanggil dengan sebutan 'Master' itu tiba-tiba menghentikan langkahku. Dia termasuk siswa terpintar di kelas yang kerap bersaing denganku memperebutkan posisi tiga besar saat pembagian rapor. Jika saja sikap dan tingkahnya tidak kaku, tentu sudah banyak anak perempuan yang tergila-gila padanya. Selain tampan dan pintar akademik, ia juga jago banyak hal seperti desain grafis, menulis, dan bernyanyi. Itulah yang menyebabkan ia dipanggil dengan sebutan "Master".
"Kemarin ikut lomba story telling di SMA 4, ya? Ng.. katanya juara satu, ya?" tanyanya dengan ekspresi gugup. Aku tak mengerti mengapa ia tampak gugup seperti itu.
Aku terkekeh, "Tahu dari mana? Kan belum diumumkan saat upacara?"
Lelaki itu membenarkan letak kacamata, "Ng.. da.. dari si Iki. Se.. selamat, ya!" katanya malu-malu.
"Terima kasih, ya, Master!" kataku tersenyum manis. Lalu mendapati wajah Master bersemu merah. Aku menggeleng sambil terkekeh melihat ia yang semakin tampak gugup, kemudian berjalan keluar kelas.
***
Namaku Jeni. Usiaku menjelang tujuh belas tahun. Beberapa waktu lagi aku akan memasuki usia tujuh belas tahun. Kata orang, usia tujuh belas tahun adalah usia remaja sejati yang menyenangkan dan membahagiakan. Penuh warna, cerita, dan tawa. Jika kau mengenalku di usiaku saat ini, mungkin kau akan berpikir bahwa aku merupakan seorang anak yang cukup beruntung. Banyak teman, aktif di organisasi sekolah, beberapa kali memenangkan perlombaan di dalam maupun di luar sekolah, nilai yang hampir selalu memuaskan, dan lain sebagainya. Menyenangkan, bukan? Memang menyenangkan, jika saja dibalik balutan kebahagiaan itu tidak ada luka yang berdesir perih.
Rumah. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman untuk melepas penat setelah seharian beraktivitas di sekolah, justru menjadi tempat yang ingin kuhindari di masa muda yang katanya penuh warna ini. Bagiku, rumah seperti menjelma menjadi makhluk yang menyebalkan sekaligus menakutkan.
***
'Brakk!'
Ayah menggebrak meja, menatap tajam ibu.
"Apa?! Mau apa?! Mau tampar saya?! Tampar saja! Biar anak-anak lihat!"
Di dalam kamar, aku dan adik pertamaku yang berjarak usia tiga tahun mengumpat di sudut kasur, sedangkan adik kecilku yang masih berusia lima tahun dengan gagah berani memperhatikan dengan seksama pertengkaran ayah dan ibu di ruang makan. Ia seperti tengah menonton pertunjukkan seru dari kedua orangtuanya. Aku dan adik besarku sudah memanggil-manggilnya agar ikut masuk ke dalam kamar, tapi ia kekeuh melihat pertengkaran itu dari jarak yang cukup dekat. Mungkin ia penasaran atau mungkin bertanya-tanya, kedua orangtuanya sedang apa? Aduhai!
Bahtera rumah tangga ayah dan ibuku sudah retak sejak aku duduk di bangku SMP. Retak, ya, bukan pecah. Masih retak dan belum berpisah. Tapi lambat laun keretakan itu semakin menjadi-jadi, dan belum kutemukan perekat yang bisa mengembalikannya. Terkadang, masalah sepele bisa menimbulkan pertengkaran yang hebat antara ayah dan ibu di dalam rumah. Entah sudah berapa piring yang pecah. Entah sudah berapa spatula yang patah.
Aku muak dengan pertengkaran-pertengkaran dan suasana dingin di dalam rumah. Siapa pula yang tidak muak? Perang dingin dan pertengkaran-pertengkaran ayah dan ibu ini sudah berlangsung selama hampir lima tahun. Sungguh, aku tak tega melihat adik-adikku tumbuh dengan caci maki yang menjadi makanan sehari-hari. Aku benar-benar tak tega!
Di usia menjelang tujuh belas tahun ini, aku memilih untuk menyembunyikan semua kisah perih yang ada di dalam rumah. Tak seorang pun teman, bahkan sahabat karib yang mengetahui kondisi keluargaku. Aku selalu berusaha menyimpan rasa pedihku rapat-rapat. Berlagak menjadi remaja paling bahagia yang prestatif di sekolah. Berlagak tertawa, seolah tidak terjadi apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Kembali-Kumpulan Cerpen
Fiksi RemajaKumpulan cerita pendek tentang kehidupan.