mind.2

13 4 19
                                    

Kelas 4

Ahhh, rasanya berisik sekali kelas hari ini. Kepalaku terasa pusing sekali.

Aku menjatuhkan kepala ke meja, nyut-nyutan mendengar suara dari berbagai arah.

"Gawat, aku belum ngerjain PR!"

"Dia kenapa gitu, sih? Udah gila kali, ya?"

"Hidungnya pesek sekali."

"Uhh, hari ini pun Kean ganteng bangett."

Berisik, berisik sekali! Aku menutup telingaku, memukulnya beberapa kali, kemudian menenggelamkan kepala.

"Sora, ada apa?"

Aku menoleh, melihat Nadia, salah satu teman sekelas di sebelahku.

"Hmmm ... Gak tahu, rasanya hari ini kelas terlalu berisik!" Aku memukul telinga lagi.

"Berisik? Padahal ini termasuknya pada diem, lho! Apalagi masih pagi."

"Bukan, bukan gitu, Nad," aku menggeleng-geleng. "Kamu gak dengar suara lainnya? Dari tiap orang?"

Anehnya Nadia malah gemetaran. Sepertinya dia menangkap maksud berbeda dari kalimatku tadi.

"Sora indigo?!"

"Maksudmu apa?" Nadia memasang tampang serius.

"Aku penasaran sekali, apa Sora bisa mendengar suara hantu?"

Aduh, anak ini malah salah tangkap. Menambah masalah saja.

"Gapapa, deh."

Untungnya jam pelajaran sudah dimulai. Semua segera duduk di kursi masing-masing, termasuk Ran yang segera duduk di sebelahku.

Dari kelas 1 sampai kelas 4, aku selalu beruntung (atau sial) karena sekelas terus dengan Ran.

Dari pikirannya, sepertinya Ran, sih, biasa saja.

Lagi-lagi karena sudah terbiasa, kami selalu memilih untuk duduk sebangku.

Ran bukan anak cowok yang nakal atau usil. Bukan juga anak cowok pendiam sok cool seperti Ian. Sifatnya lebih ke lembut dan polos.

Benar-benar sifat alami anak yang masih belum paham masalah hidup.

Poin utamanya, Ran tidak pernah memiliki pikiran buruk tentangku. Kebanyakan temanku selalu bicara kata-kata manis, tapi aku tahu kalau apa yang mereka ungkapkan bukan kejujuran.

Disaat seperti itu, hanya Ran yang tulus berteman denganku.

Mungkin itu sebabnya aku suka dia.

***
"Pagi, anak-anak!"

"Pagi, Bu Riskaaa!"

Aku langsung duduk tegap. Aku suka wali kelasku, Bu Riska. Guru-guru lain tiap mengajar selalu diberi kalimat manis, beda dengan isi hatinya.

Hanya Bu Riska yang selalu tulus untuk mengajar kami.

"Gimana, sehat, kan?"

"Sehat, Bu Riskaa!"

"Bagus, dong! Hari ini pelajaran pertama bimbingan konseling. Nahh, kebetulan kemarin Bu Riska kepikiran pertanyaan-pertanyaan yang seru. Dijawab, yaaa!"

"Siap, Bu Riskaaaa."

"Nah, Andin, tolong bagikan kertas ini, ya."

Andin si ketua kelas tersenyum sopan, segera membagikan kertas apalah itu.

"Dih, males banget sih, Buuk."

Aku tertawa miris mendengarnya.

Saat kertas sampai di meja, aku membuka lipatannya.

RestartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang