Sepasang kaki kupaksa lari menerobos perempatan jalan yang ramai sore itu, mengejutkan beberapa pengemudi mobil dan pengendara motor yang sedang melintas. Suara klakson saling bersahutan.
“Setan! Cari mati, ya?!” maki seorang pengendara mobil yang hampir menabrakku.
Aku tidak peduli saking semangatnya, karena sebentar lagi tiba di tujuan. Seratus meter dari perempatan ini, ada tanah lapang. Kerap kali dijadikan tempat bermain anak-anak,warga sekitar,kadang juga sebagai tempat pertandingan sepak bola antar desa saat hari kemerdekaan tiba. Kabarnya, kali ini akan ada pasar malam dadakan digelar di sana.
Orang-orang bergerak lalu lalang di sepanjang jalan. Beberapa bergandengan tangan menyeberang, sebagian melangkah di antara mobil-mobil santai tanpa beban, padahal macet membuat kendaraan saling berimpitan selama berjam-jam.“Lama banget, deh!” Salah satu temanku menggerutu.
Dengan napas tersengal kujejakkan kaki ke arah pintu masuk, tempat sebuah tenda berdiri. Di dalamnya dua perempuan duduk, melayani orang-orang yang tengah antre membeli tiket kora-kora.
“Maaf, ya. Kalian, sih, ninggalin.” Napasku masih tak beraturan karena lelah.
Aku sudah berlari lebih dari satu setengah kilometer dari rumah. Berusaha mengejar teman-teman dengan sepedanya.“Kita udah nungguin lima belas menit, loh, malah dibilang ninggalin.” Dia membantah.
“Tapi, kalian pakai sepeda. Aku jalan, capek banget, tahu.”
Kemarin, anak nakal di kelas yang sering mengejekku, namanya Alan, bercerita tentang pasar malam dadakan ini. Katanya, hanya berlangsung dua malam. Yang berarti ini adalah malam terakhir. Karena itu, Nadya temanku, yang dari tadi mengomel, mengajakku dan dua teman lagi ke sini. Aku sempat menolak. Bukan karena tidak ingin, tapi ayah atau ibu tidak akan mengizinkanku pergi karena cukup jauh dan aku tidak punya sepeda.
Lalu, kata Salma : dia yang paling tinggi di antara tiga teman dekatku,
"bestari ini pendek dan kecil, sudah pasti enteng, jadi aku tidak keberatan kalau membocengnya sampai ke pasar malam."“Udah, udah. Ke sini mau main, kan? Malah berantem.” Ini dia biang keroknya. Karena dia, aku harus lari-lari.
Tadinya, rencana kami sudah sangat matang. Nadya dengan sepedanya akan dbonceng Syifa. Dia itu sedikit manja, maunya dibonceng karena Syifa agak gempal. Sedangkan aku bersama Salma. Ya, meskipun tadi saat minta izin, Ibu sempat melarang karena tidak punya uang. Akan tetapi, aku terus merengek agar dibolehkan pergi. Berapa pun uang yang mereka berikan, aku tidak akan meminta lebih, itu janjiku. Karena iba, akhirnya dibolehkan. Namun, masalahnya bukan di situ. Saat mau berangkat, Salma yang seharusnya bersamaku malah sudah duluan bersama anak lain. Menurut penjelasan Syifa, ayah Salma memberi izin jika dia diantar kakak sepupunya, Alvaro. Anak laki-laki kelas lima, setahun lebih tua dari kami berempat. Mereka sudah berangkat duluan. Terpaksa, deh, aku harus jalan kaki.
Aku mendengkus kesal.
“Ya udah. Ayo, naik bianglala!” ajak Syifa memperbaiki suasana.
Alvaro sudah berada di antrean tenda karcis bianglala. Salma sendiri tidak boleh jauh-jauh dari si kakak sepupunya itu. Sementara dia membeli lima tiket untuk kami, aku diajak kedua temanku yang lain untuk membeli arum manis.
“Nggak, ah. Aku masih capek. Mau nungguin di sini aja,” tolakku, memilih menunggu bersama Salma. Meski sebenarnya uangku tidak cukup.
Ibu memberiku dua lembar lima ribuan, seharga permen kapas itu. Sedangkan harga tiket wahana yang paling murah saja lima ribu, termasuk bianglala.
Aku mengobrol tentang ini dan itu dengan Salma, sambil mengamati apa saja yang dijajakan para penjual dadakan. Ada sate yang aromanya membuatku mengecap lidah, baju-baju warna-warni yang kata orang harganya murah, bakso dan sosis bakar besar sekali, dan masih banyak lagi. Tapi, mataku sangat tertarik pada arum manis merah yang tampak sangat menggoda hingga tidak begitu fokus pada omongan Salma.Sesaat kemudian, sudah waktunya naik bianglala. Pria penjaga setengah baya mencekal tanganku untuk membantu masuk ke sangkar tempat Salma sudah duduk di dalamnya, kemudian disusul Alvaro. Jadi, kami bertiga berada di sangkar yang sama. Nadya dan Syifa entah di sangkar yang mana.
Aku duduk tenang di samping Salma, berhadapan dengan Alvaro. Menikmati pemandangan di luar jeruji besi yang sudah berkarat itu saat sampai puncak dan berhenti sejenak. Tenda-tenda pedagang, sekolah kami, perempatan jalan yang masih macet, kubah masjid dekat gang rumahku, semuanya terlihat jelas. Lalu, aku teringat satu hal. Ini sudah gelap dan aku harus jalan sendirian saat pulang nanti.“Habis ini aku pulang duluan, ya. Nanti kalau kalian tinggal kemaleman, aku nggak berani.”
Sangkar kami bergoyang dan melanjutkan putaran ke bawah.Aku sudah melihat Nadya dan Syifa berdiri menunggu kami saat turun dari bianglala. Selanjutnya, kami akan naik kora-kora. Tapi, kurasa aku tidak akan ikut mereka. Sisa uang akan aku belikan minum karena haus sekali dan aku harus cepat pulang.
“Ah! Nggak seru! Bestari cemen! Pasti sebenernya takut naik kora-kora, kan?” protes Nadya saat aku mengatakan tidak mau naik kora-kora karena harus pulang.
“Kalian naik kora-kora aja. Bestari aku anterin pulang,” usul Alvaro.
Aku baru saja mau melangkahkan kaki, tapi terhenti mendengarnya.
“Loh? Nanti Salma gimana?” Pertanyaan Syifa persis seperti apa yang mau aku tanyakan.
“Ya ... balik lagi habis nganterin Bestari. Nanti jemput Salma. Masa Tari harus jalan lagi, sih? Kasihan, loh.”
Mereka meng-iyakan tanda sepakat. Kemudian, Alvaro benar-benar mengantarku pulang. Dia sempat mengajakku berhenti di tenda pedagang permen kapas untuk membeli satu.
“Nih! Kamu pengin banget ‘kan. Dari tadi sebelum naik bianglala, aku lihat kamu nggak kedip, malah sampai ngiler liatin ini terus.”
Hal kecil, rasa itu, siapa sangka bisa membuatku sedekat sekarang ini dengannya.
***Jangan lupa vote, coment, dan follow ya gaes!! Supaya aku bisa semangat ngelanjutin cerita nya sampai finish!! Makasih.
Ig:Cicicahyaaa
KAMU SEDANG MEMBACA
🇦🇺 Adelaide To Melbourne 🇦🇺
Teen FictionJarak adalah alasan terbesar rusaknya suatu hubungan, termasuk kepercayaan. Itu yang dirasakan oleh bestari dan alvaro. Nyatanya aku sudah satu benua denganmu, tapi kenapa selalu merasa kurang? Cinta? Apa yang terlintas dalam fikiran kalian tentang...