Bestari daftar kuliah

62 36 0
                                    

Ini bukan kali pertama ponselku tanpa nada notifikasi khusus; tanda sebuah pesan masuk dari kontak paling sering kuhubungi.

Tapi ....

Rasanya sesak. Sungguh, ini sangat sesak.
Alvaro tak pernah pergi tanpa kabar selama ini. Biasanya, kami masih rutin memberi kabar, mengingatkan jika waktu makan atau tidur tiba, juga tak pernah lupa pesan manis di pagi hari meski bisa dibilang percakapan tidak seintens dulu. Aku yang sebelumnya punya banyak waktu senggang, sudah sejak libur semester dua bulan lalu sibuk bekerja di dua tempat.

Awalnya aku masih punya waktu penuh dari pagi hingga sore untuk kuhabiskan berbicara dengan Alvaro. Namun, saat sekolah sudah mulai beroperasi kembali, terlebih pulang sedikit terlambat karena tambahan pelajaran; aku sudah kelas tiga dan harus persiapan menghadapi ujian. Ditambah kerja paruh waktu hingga malam. Sampai rumah belum terlalu larut, tapi di tempat tinggal Alvaro empat jam lebih awal. Tidak mungkin aku memaksanya terjaga, setiap pagi dia sudah rutin bekerja.

Sebaliknya, setiap dia bangun dan punya waktu di pagi hari sebelum memulai aktivitasnya, aku di sini terlelap. Terlalu lelah untuk tidur lambat seperti sebelumnya, karena seharian kegiatanku begitu padat. Waktu kami untuk berbicara berdua semakin terkikis.

Sudah genap setengah bulan, tak ada pemberitahuan, tak ada kabar, tak ada kejelasan. Alvaro tak pernah lagi menghubungi.

Sepi.

Semuanya terasa tidak punya makna. Bahkan sekeras apa pun aku mencoba menyibukkan diri, yang kurasakan hanya sunyi dan tidak ada semangat.

“Murung terus kamu, Bes.”

Mbak Agatha merapikan benda-benda, kemudian dimasukkan ke tas biru tuanya. Perpustakaan sudah tutup, buku-buku juga sudah selesai kurapikan.

“Habis putus, ya?”

“Nggak, Mbak ....”  Aku menghela napas.
Atau mungkin, ya?

“Berantem sama pacarmu? Yang tinggi sipit itu ‘kan? Kok nggak pernah kelihatan sekarang?”

Apa aku harus memberitahunya? Dia sudah banyak membantu, kurasa sedikit terbuka padanya tidak akan menjadi masalah.

“Udah lama ke Australia, Mbak. Kemarin selesai ujian langsung berangkat,” jelasku.

Dia mengangguk tanda paham. “Jadi, LDR-an? Pantes kamu murung gini, pasti sering berantem, ya?”

Aku tersenyum kecut. “Iya ..., tapi mending berantem sih daripada dia ngilang kayak gini.”

“Oh, gitu ....” Dia menyunggingkan senyum entah apa yang lucu.

“Dulu, Mbak juga pernah ditinggal pacar waktu masih SMA. Dia lulus duluan, terus sekolah militer. Jadi, waktu buat Mbak jadi minim banget. Bahkan di tiga bulan pertama, dia sama sekali nggak boleh pake HP, bahkan dijenguk orang tuanya pun dilarang. Kesel banget pasti, gampang marah juga. Padahal sebenernya kangen, tapi malu buat bilang. Ujung-ujungnya, ya, ngambek.”

Aku menyimak ceritanya dengan saksama. Hampir mirip denganku dan Alvaro.

“Aku sama Alvaro juga gitu, Mbak. Susah banget bisa punya banyak waktu buat ngomong, giliran ada waktu, malah berantem.”

“Wajar kalau LDR. Intinya, saling percaya aja. Berantem terus saling nggak kirim kabar itu nggak masalah. Coba pikiran negatifnya diganti ke kemungkinan yang lain. Misal, kalau dia nggak ada kabar kayak sekarang, jangan mikir yang aneh-aneh. Bisa jadi lagi sibuk ngurus kuliah atau HP-nya rusak. Ya ... emang susah buat stay positive, tapi harus. Karena kalau di sini kamu percaya sama dia, di sana dia bisa ngerasain loh.”

“Iya juga, ya, Mbak. Aku emang selalu ngira yang jelek-jelek mulu tentang dia.”

Wanita berkacamata itu tertawa lebar.

“Kamu ini. Udah galaunya jangan terus-terusan. Belajar yang rajin, bentar lagi ujian. Pokoknya harus kuliah, kalau perlu susulin pacar kamu ke Australia.”

Hah? Susulin  Alvaro? Yang benar aja.

***


Toko aksesoris tidak begitu padat hari ini, hanya ada bebrapa pengunjung sejak sore tadi. Jika ada waktu senggang biasanya kumanfaatkan untuk belajar. Aku tidak ikut bimbingan seperti teman kelas lain. Selain karena mahal, aku tidak punya cukup waktu karena harus bekerja. Lagi pula, di mana pun tempatnya jika ada niat, pasti bisa terjadi.

Anak perempuan yang biasanya bergantian shift denganku sering tidak pulang meski waktu berjaganya sudah berakhir. Mau belajar bersamaku, katanya. Seperti saat ini. Dia setahun lebih tua dariku, satu angkatan dengan Alvaro dan dulu bersekolah di Sekolah Menengah Kejuruan. Dia ingin sekali melanjutkan kuliah kedokteran, tapi pengetahuannya minim dan gagal mendaftar di universitas impiannya.

Satu hal yang sangat kusuka dari dia adalah sifat ulet dan pantang menyerahnya. Meski sudah ditolak oleh universitas yang bisa dibilang cukup bergengsi. Dia rela menunggu untuk mendaftar lagi tahun ini. Bekerja paruh waktu hanya karena dia tidak mau bosan terus-terusan belajar selama setahun penuh di rumah. Makanya, dia tidak pernah keberatan untuk tinggal jika aku datang sedikit lambat saat perpustakaan sangat berantakan.

“Jadi, otot lurik, otot jantung, dan otot polos. Oke. Terus perbedannya ... bekerja secara sadar, kalau otot polos nggak sadar. Gini bener, Tari?”

Tiga tahun menghabiskan waktu di Sekolah Menengah Kejuruan, dia pasti kesusahan mengejar materi sebanyak itu. Tapi semangatnya untuk belajar demi bersekolah di jurusan kedokteran begitu besar. Aku jadi termotivasi.

“Aku jadi gampang banget paham kalau belajar bareng Tari. Kamu pinter banget, pasti mau kuliah di mana aja gampang masuknya.”

“Nggak juga ... kebetulan aja kamu belajar yang udah aku pelajari sebelumnya.”

“Harusnya dulu aku ke SMA aja, terus masuk IPA kayak kamu, bukannya ngikutin temen-temenku. Padahal aku nggak ada bakat sama sekali.”

Itu dia. Salah satu alasan kenapa aku tidak begitu suka punya banyak teman adalah karena takut ketergantungan. Secara tidak langsung, teman yang banyak pasti akan memengaruhi. Membuatku melakukan hal-hal yang tidak kusuka demi bisa bersama. Jadi, lebih baik sedikit, tapi tidak pernah merubah siapa diriku sebenarnya. Seperti ... Alvaro.

“Setelah lulus mau kuliah di mana?”

Aku hanya bergumam menanggapi pertanyaan yang belum pernah seorang pun ajukan padaku.

“Jangan bilang nggak kuliah! Sayang banget, kamu ‘kan, pinter. Harusnya tinggal milih universitas. Nggak usah repot-repot ikut jalur seleksi.”

“Aku ... aku mau ke Australia” ujarku.

Tepat setelah mengirim pesan ke sebuah nomor narahubung yang kudapat dari akun Instagram; akun yang sering membagikan informasi tentang beasiswa kuliah di luar negeri.

“Wah, keren banget! Aku juga pengin. Tapi sadar diri, aku kentang.”

Gadis itu tertawa renyah. Apa dia baru saja menertawakan dirinya?

Aku sudah cukup lama mengorek informasi untuk kuliah ke Australia. Namun, tak pernah cukup berani untuk bertanya lebih ke nomor narahubung yang tertera. Tak pernah cukup yakin pada kemampuan diri sendiri. Semenjak menghabiskan waktu dengannya, melihat betapa gigihnya dia berjuang dari nol, aku tertohok. Niatku semakin kuat dan tekad sudah bulat.

“Kenapa?” Aku menatapnya heran.

“Tahun ini aja aku nggak yakin bisa lolos. Mungkin harus ngulang.”

“Seharusnya nggak pesimis gitu. Aku jadi berani daftar beasiswa ke Australia setelah lihat kamu belajar sesuatu yang nggak kamu ngerti sama sekali, tapi kamu nggak pernah nyerah. Apa pun hasilnya nanti, yang penting udah berusaha keras ‘kan?”

***


🇦🇺 Adelaide To Melbourne 🇦🇺Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang