Pukul dua dini hari.
Aku sudah mencoba tidur sejak lima jam lalu. Membolak-balik badan, mencoba semua posisi yang kuanggap nyaman. Namun, malah terjaga sampai selarut ini. Sesekali melirik ke arah handphone yang tergeletak begitu saja di sampingku. Tidak ada tanda-tanda sesuatu yang sudah kutunggu tiba. Sedari tadi hanya ada beberapa pesan dari grup kelas, anak-anak mengutuki guru Matematika killer—yang sudah menjelang ujian akhir semester, tapi masih saja memberi banyak tugas. Hanya kubaca, tidak tertarik untuk ngobrol bersama mereka. Agaknya, mereka juga tidak pernah menganggapku ada.
Pernah suatu hari aku menanyakan tentang tugas saat minggu sebelumnya aku tidak hadir di kelas. Pesanku hanya dibaca, tidak ada satu pun yang merespons. Grup yang mulanya ramai dengan ocehan canda, tiba-tiba senyap seketika. Itu menyakitkan.“Alvaro ....”
Memikirkan ketidakakrabanku dengan seisi kelas, aku malah ingat si jangkung berhidung lancip itu. Aku tidak tahu apa yang terjadi di sana sampai menyempatkan membaca pesanku saja tidak bisa.
Aku kembali melirik ke arah ponsel, layarnya menyala; memperlihatkan fotoku yang sedang tersenyum ke arah kamera dan Alvaro dengan wajah cemberutnya. Foto yang kuambil sebelum pertandingan basket Alvaro beberapa bulan lalu. Aku memaksa mengikat rambutnya yang kerap kali menutup mata agar tidak mengganggu saat dia bermain. Dia tidak menolak, tapi terus-terusan memasang wajah cemberut. Padahal dia begitu menggemaskan.
Sebuah panggilan tidak terjawab masuk dua menit lalu. Tidak ada nada dering karena memang mode silent kuaktifan.
Nomor asing, tanpa nama.“Malam-malam begini siapa, ya?” Ada sedikit rasa takut dan cemas hinggap di benakku.
Masalahnya, aku tidak mudah dekat dengan orang. Punya teman saja bisa dihitung jari. Jadi, rasanya agak parno jika ada yang menelepon tiba-tiba. Terlebih di malam hari. Ditambah nomornya tidak ada di kontakku.
Mencoba menghilangkan pikiran negatif dan sejenisnya, aku menyimpulkan dua kemungkinan sederhana. Mungkin orang salah sambung atau penipuan berkedok mama minta pulsa.
“Suka mikir nggak bener emang kalau begadang,” gumamku pada diri sendiri.Aku bangkit, berjalan pelan ke kamar mandi untuk mencuci muka karena rasa ngantuk tidak kunjung juga tiba. Mungkin sekali-sekali tidak tidur semalaman bukan masalah. Aku berniat membaca buku pelajaran apa pun, siapa tahu bisa sedikit kupahami walaupun pikiran sedang tidak keruan.
Layar ponselku kembali menyala saat aku kembali masuk ke kamar. Menampilkan sebuah pesan di notifikasi bar. Dari nomor asing yang menelepon tadi.“Bestari, angkat.”
Tahu namaku?
“Siapa, ya?” Kuputuskan untuk membalas nomor asing tersebut.Dua centang biru, artinya pesanku sudah dibaca olehnya.
Kemudian dia melakukan panggilan video.
Tengah malam gini? Yang bener aja.Aku reject, lalu dengan kesal mengirimkan pesan.
“Siapa, sih! Annoying banget, deh. Jangan iseng.”
“Galak banget pacarku.” Dengan emoji tertawa.
Apa mungkin ini ...?Saat nomor tersebut kembali melakukan sebuah panggilan video, aku bergegas mencari headset dan memasangnya. Mengusap layar gawai. Seseorang di sana dengan rambut setengah panjang berantakan dan cengiran khasnya. Alvaro.
“Hai ...,” sapanya.Aku senang dan lega bukan main, hampir saja tersenyum melihat wajah itu, tapi segera tergantikan dengan ego. Menutupi kamera dengan jari tanganku agar hanya gelap yang bisa dia lihat.
“Yah ..., jangan ditutup. Kangen.”Aku tersenyum, tapi dia tidak melihatnya. Biar saja, biar dia berusaha membujukku. Salah sendiri baru menghubungi.
“Bestari.” Aku diam, ngambek ceritanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
🇦🇺 Adelaide To Melbourne 🇦🇺
Teen FictionJarak adalah alasan terbesar rusaknya suatu hubungan, termasuk kepercayaan. Itu yang dirasakan oleh bestari dan alvaro. Nyatanya aku sudah satu benua denganmu, tapi kenapa selalu merasa kurang? Cinta? Apa yang terlintas dalam fikiran kalian tentang...