When you asked her to go out and she says yes. This kind of happiness. Lol.
Aku mengulang dalam hati.
Kencan?
Menekan gambar profil seseakun yang meninggalkan komentar di foto unggahan Alvaro. Seorang gadis berambut pirang lurus sebahu. Bulu matanya lentik, bibirnya semerah bucket mawar yang dia genggam. Ketua tim basket putri tidak ada apa-apanya jika dibanding dia. Apalagi aku.
Masih meneruskan kegiatan stalking-ku pada akun gadis tersebut. Di sana tertera tempat tinggalnya. Sidney, sebuah kota di Australia. Jadi, ... beneran kencan? Aku kesal memikirkannya, terlebih lagi di beberapa unggahan foto dan postingan gadis tersebut, ada nama Alvaro meninggalkan jejak meski hanya berupa like.
Dia ‘kan, belum genap dua minggu di Australia, mana mungkin sudah sedekat itu.Kenapa cowok gampang banget berpaling?
Aku sempat ragu memasang status seperti itu, tapi ... peduli setan. Kirim.
Beberapa menit kemudian notifikasi masuk bergantian. Sekian like kudapat. Sesaat kemudian, sebuah komentar juga.
Aku belum sempat membalas komentar dari orang yang bahkan belum pernah kutemui di dunia tersebut.Sebuah pesan masuk.
“Kok, online Facebook? Nggak sekolah?” Begitu isinya. Ya, dari Alvaro yang nomor barunya sudah kusimpan.
Biasanya aku akan mengetik balasan secepat yang aku bisa setelah membacanya; tidak mau dia menunggu, tapi tidak kali ini. Perasaanku malah semakin sebal saat membacanya.
Memangnya kenapa jika aku online jam segini? Apa itu salah? Takut ketahuan kalau di sana lagi jalan-jalan sama cewek lain? Menyebalkan! Dasar cowok!
Badmood-ku bertahan hingga seharian. Akibatnya aku terus mengomel dalam hati. Semua orang, semua yang terjadi, semua yang terdengar olehku, semuanya kukutuk karena menyebalkan, sekalipun tidak ada hubungannya dengan Alvaro.
***
Aku berselancar di Instagram setelah memastikan semua buku pelajaran untuk besok sudah ada di dalam tas. Melihat foto-foto yang diposting akun ber-followers sampai puluhan ribu, GirlMood nama user-nya. Isi feed akun tersebut cukup menarik, tips-tips kecantikan termasuk juga fashion yang memang sedang banyak dicari, tutorial membuat ini dan itu atau istilah populernya DIY, ramalan zodiak, dan quotes harian yang selalu saja bisa menggambarkan perasaanku.
Beberapa hal yang menurutku menarik, kutangkap layar. Kemudian kuposting ulang di status WhatsApp. Ditujukkan kepada laki-laki berstatus pacar—yang sedari tadi sudah menonton, tapi tidak memberi tanggapan.
Apa maksudnya? Seharian aku tidak mengirim pesan, seharusnya dia tahu aku sedang tidak baik-baik saja. Tetapi, kenapa dia malah ikutan tidak mengirim pesan juga? Apa dia sedang bersama gadis pirang tadi?“Kamu kenapa, sih?”
Panjang umur, baru saja dibahas sudah mengirim pesan.“Gpp,” balasku.
“Terus kenapa galau gitu statusnya?”
Kenapa masih bertanya? Gambar-gambar yang kubagikan sudah sangat menjelaskan apa yang kurasakan, tapi kenapa sama sekali tidak peduli? Alvaro benar-benar sudah tidak mencintaiku, ya?
“Nggak usah nanya. Nggak ada urusannya sama kamu.”
“Kamu aktif dari tadi siang, tapi pesan aku cuma kamu baca. Nggak chat, tapi story-nya galau terus. Ditanyain malah sewot balesnya.”
Kemudian, pesan berikutnya menyusul.
“Aku salah apa?”“Habis jalan sama siapa seharian?” Kujawab pertanyaannya dengan kalimat tanya.
“Aku nggak paham, Bestari.”
Oh ... masih nggak mau mengaku?
Aku beralih membuka Facebook. Mengetik nama akunnya di kolom pencarian dan menangkap layar foto unggahan termasuk komentar yang membuatku jengkel sejak pagi tadi. Lalu, kukirim pada Alvaro.
Dia tidak membalas, mengetik pesan cukup lama. Membuatku sedikit cemas karena sudah dipastikan pesan yang dia kirim sangat panjang.“Udahlah. Nggak usah ngomong lagi sama aku,” tulisku karena sudah tidak sabar menunggu.
Aku baru mau mematikan smartphone-ku—yang kubeli dengan menyisihkan uang jajan selama kurang lebih setahun. Alvaro menelepon. Sialnya, tidak sengaja kuangkat karena terkejut tiba-tiba berdering.
“Kamu cemburu, ya?” Suara riang itu ... seperti tidak melakukan kesalahan saja.
“Nggak!”
“Iya, cemburu.”
“Nggak!”
“Iya, kamu cemburu ‘kan, Sayang?”“Nggak. Apa, sih,” sewotku. Menyebalkan, kenapa aku bisa malu saat sedang kesal begini?
“Cie, yang lagi cemburu.” Alvaro tertawa sebentar, kemudian melanjutkan, “Dia cuma temen Facebook, loh. Udah lama itu temenannya.”
Sudah kenal lama, ya? Kenapa kamu nggak pernah cerita? Jadi, selama ini deketnya bukan cuma sama aku?“Oh, udah deket lama. Bagus, deh,” sindirku.
“Astaga! Nggak gitu maksudnya. Coba kamu lihat foto tadi, dia cuma nggak nyangka aku bisa di Australia, satu negara sama dia. Gitu doang, kok.”“Nggak nyangka, terus mau meet up, mau kencan,” tuduhku.
“Nggak. Orang beda kota, jauh juga.”
“Ya terus itu caption-nya?”
Aku bersikukuh, sudah terlanjur marah. Lagi pula, penjelasan yang dia berikan bisa jadi bohong ‘kan? Mana ada maling yang mau mengaku.
“Kamu salah paham.”Alvaro menghela napas. Aku bisa mendengarnya dari speaker handphone.
“Mau dijelasin kayak gimanapun, kalau pikiran kamu masih negatif, ya, percuma. Aku cuma mau bilang, aku sayang sama kamu. Aku udah janji bakal pulang ‘kan? Ini baru beberapa hari, kamu udah marah-marah. Gimana nanti kalau berbulan-bulan, bahkan tahunan? Aku pasti pulang dengan perasaan yang sama buat kamu. Jadi, ... hilangin pikiran-pikiran negatif, ya. Kita harus saling percaya.”
Aku terhenyak mendengar ucapan panjang lelaki yang sudah mengenalku dengan baik tersebut.
“Kamu tidur aja. Udah, jangan galau lagi.”
Dimatikannya sambungan telepon, bahkan tanpa ucapan selamat malam seperti malam-malam sebelumnya.
Aku ... masih belum lega. Apa yang kamu bilang ada benarnya, aku tahu kita harus saling percaya. Kamu memang sudah berjanji akan pulang dan tidak melupakanku. Tetapi, semuanya tidak semudah itu, Alvaro. Gadis mana yang bisa tenang jika berjauhan dengan kekasihnya. Yang dekat saja kemungkinan digantikan, tidak bisa dielak, apalagi di antara kita ada jarak.Sebenarnya, Alvaro memang bukan seorang playboy meski cukup populer sejak SMP. Yang kudengar-dengar, dia selalu dikategorikan sebagai tipe cowok idaman oleh gadis-gadis di sekolah. Tidak heran, selain karena wajahnya yang tampan dan postur tinggi yang membuatnya eye-catching jadi mudah dikenal orang. Alvaro juga punya segudang bakat. Bukan hanya sering ikut turnamen basket, dia juga cukup lihai menggiring bola di lapangan futsal. Ya, walaupun tidak bergabung dalam tim futsal sekolah dan bermain seminggu sekali hanya untuk bersenang-senang. Dalam beberapa bidang pelajaran pun dia termasuk siswa yang dipertimbangkan.
Semua kelebihannya selalu membuatku minder. Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya gadis kalangan bawah yang tidak punya sesuatu untuk dibanggakan. Jangankan bermain basket sepertinya, melihat bola melayang ke arahku saja, aku memekik ketakutan. Posturku juga jauh dari atlet-atlet cantik di sekolah kami. Bakatku apa? Aku sama sekali tidak tahu sampai sekarang. Aku merasa tidak pernah becus melakukan apa pun.
Aku tidak pernah tahu alasan Alvaro mau dekat bahkan menjadikanku kekasihnya. Setiap kali ingin bertanya, membayangkan kemungkinan jawaban apa yang keluar selalu membuatku takut terlebih dahulu. Perbedaan antara kami begitu kentara. Dan itu selalu membuatku khawatir digantikan. Ada banyak gadis yang lebih baik, lebih cantik, lebih segalanya dariku. Aku tidak mau posisiku di hati Alvaro terganti. Jika itu terjadi, aku akan benar-benar sendiri. Aku benci untuk sendiri.
“Maaf.”
***Jgn lupa voteeee!!!!!😙
KAMU SEDANG MEMBACA
🇦🇺 Adelaide To Melbourne 🇦🇺
Ficção AdolescenteJarak adalah alasan terbesar rusaknya suatu hubungan, termasuk kepercayaan. Itu yang dirasakan oleh bestari dan alvaro. Nyatanya aku sudah satu benua denganmu, tapi kenapa selalu merasa kurang? Cinta? Apa yang terlintas dalam fikiran kalian tentang...